JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kedatangan penguasa Arab Saudi, Raja Salman Bin Abdul Aziz beserta 1500 orang rombongan ke Indonesia menjadi pembicaraan banyak kalangan beberapa hari ke belakang. Setelah 47 tahun sejak 1970, kunjungan ini menjadi yang kedua kalinya raja Arab ke Indonesia.

Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menyambut hangat kunjungan kenegaraan yang berlangsung dari 1 hingga 9 Maret mendatang ini. "Kunjungan ini sangat positif dan perlu dioptimalkan untuk menguatkan hubungan bilateral kedua negara," kata Sukamta kepada gresnews.com, Sabtu (25/2).

Sukamta menjelaskan, setidaknya ada dua agenda besar yang dapat dibicarakan antara Indonesia dan Arab Saudi. Pertama, soal penguatan hubungan bilateral. Kedua, soal tambahan kuota haji. Menurut politisi PKS ini, penguatan hubungan bilateral Indonesia-Arab Saudi diharapkan dapat berdampak pada peningkatan volume perdagangan dan investasi.

"Saya mendengar Arab Saudi siap berinvestasi senilai Rp300 triliun lebih. Ini jelas sangat baik bagi Indonesia. Penguatan hubungan bilateral ini juga bisa dimanfaatkan Indonesia untuk mengusulkan solusi perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi," katanya.

Sementara mengenai soal haji, Sukamta berharap dalam pembicaraan yang dijadwalkan berlangsung pada 1-3 Maret mendatang, pemerintah RI bisa mendorong pihak Arab Saudi untuk memberikan tambahan kuota haji bagi jamaah Indonesia. Menurutnya, andai Arab Saudi memberi tambahan kuota bagi jamaah haji, hal itu akan jadi momen menggembirakan bagi umat Islam di Indonesia.

"Calon jamaah haji Indonesia bertambah dengan pesat. Untuk 10 tahun ke depan, bahkan lebih, pendaftar sudah antri. Sehingga perlu dicarikan jalan agar kuota pemberangkatan tiap tahunnya bertambah. Ini kesempatan sangat baik karena Raja Saudi-lah pembuat keputusan kuota haji tiap negara," terangnya.

Di luar hubungan bilateral antara Indonesia-Arab, Sukamta mengatakan, agenda yang tidak kalah strategis untuk dibicarakan adalah penguatan peran kedua negara di wilayah regional Asia, khususnya di kawasan dunia Islam. Indonesia dan Arab Saudi dinilai Sukamta punya pontensi sekaligus pengaruh sama besar untuk memainkan peran strategis mendorong upaya meredakan konflik dan ketegangan di negara-negara Islam.

Modalnya, sambung Sukamta, Indonesia adalah negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, sementara Arab Saudi—dengan keberadaan Mekkah dan Madinah sebagai kota suci Ummat Islam—demikian dihormati oleh negara-negara Islam.

"Pembicaraan soal ini akan sangat terkait dengan isu terorisme yang katanya akan dibahas oleh kedua negara. Selama ada konflik, kelompok-kelompok radikal seperti ISIS akan terus tumbuh subur. Maka resolusi konflik perlu diwujudkan dan saya optimis kedua negara ini dapat memainkan peranannya dengan baik", kata Sukamta.

Terakhir, Sukamta menilai, peran strategis kedua negara juga dapat dikembangkan hingga tataran yang lebih visioner yakni membangun masa depan dunia Islam yang mampu bersaing di tataran global. "Selama ini, pembicaraan di level regional lebih sering didominasi pekerjaan rumah seperti isu politik keamanan.  Saya kira, dunia Islam perlu punya agenda-setting sendiri, seperti penguatan kerjasama peningkatan sains dan teknologi, pengembangan industri, kerjasama sosial dan budaya. Ini akan lebih konstruktif dan membawa kemajuan," pungkasnya.

POTENSI PENOLAKAN - Meski digadang-gadang menerima penyambutan meriah, nyatanya, ada pula kelompok yang menolak kedatangan Raja Salman ke Indonesia. Salah satunya Aliansi Anti Perang (A2P). Pengacara A2P, Ahmad Taufik, mengatakan bahwa demi menegakkan nilai-nilai konstitusi, Presiden Joko Widodo seharusnya dengan tegas menolak kedatangan Raja Salman ke Indonesia.

Menurut Ahmad, Raja Salman merupakan seorang penjahat kemanusiaan dan war criminal. Koalisi negara-negara Arab yang dipimpinnya bahkan terus menyerang rakyat sipil di Yaman. Ahmad Taufik menjelaskan, hal demikian bertentangan dengan sila ketiga Pancasila, juga bunyi pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia akan turut serta menjaga perdamaian dan ketertiban dunia, seiring berupaya menghapuskan segala bentuk penjajahan dari muka bumi.

"Penyerangan terhadap Yaman berarti menyerang kedaulatan negara. Perbuatan Raja Saudi itu benar-benar biadab. Sudah jelas begitu, mengapa Jokowi masih saja menerima raja yang tangannya penuh darah dan anti kemanusiaan itu," kata Ahmad Taufik kepada gresnews.com, Jumat (24/2).

Selain itu, Ahmad menilai, Raja Salman dan para pengusaha Saudi lainnya merupakan bandar dana bagi sejumlah organisasi yang identik dengan terorisme. "Mulai dari Al Qaeda sampai yang terbaru ISIS," katanya. Tak berhenti di situ, Raja Salman, sambung Ahmad, merupakan pihak yang turut membantu sejumlah kelompok radikal dan pro kekerasan di Indonesia. Dengan kata lain, Raja Salman melalui kelompok-kelompok yang dibiayainya telat turut memecah keharmonisan negara Indonesia.

Disinggung kelompok radikal mana yang dia maksud, Ahmad menjawab, salah satunya adalah Aliansi Nasional Anti Syiah—ANAS—pimpinan Athian Ali. "Ada laporan dari beberapa orang yang ketemu, Arab Saudi kasih dana melalui Athian Ali," katanya.

Ahmad Taufik pun menegaskan, jangan karena persoalan investasi, Indonesia abai terhadap kejahatan-kejahatan yang sudah dilakukan Raja Salman selama ini. "Kalau cuma investasi, Indonesia masih bisa mandiri tanpa perlu menerima dana dari raja bengis seperti itu," tukasnya.


DAYA TAWAR INDONESIA - Sementara itu, Pengamat Kajian Timur Tengah dari Abdurrahman Wahid Center Universitas Indonesia, Libasut Taqwa, menerangkan bahwa kunjungan Raja Arab ke Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia punya daya tawar penting di mata pembesar Kawasan Teluk itu.

"Arab Saudi melihat Indonesia sebagai sebuah negara yang punya peran sentral dalam beberapa isu terkait Timur Tengah, misalnya mengenai isu diplomasi Indonesia untuk Palestina di tataran global. Saya kira, mau tidak mau Arab Saudi harus mengakui ada banyak peran Indonesia dalam hal Palestina," kata Libasut kepada gresnews.com, Jumat (24/2).

Selain itu, lanjut Libasut, pasca Arab-Spring, Arab Saudi membentuk satu koalisi negara-negara Islam namun Indonesia tidak ikut di dalamnya. Dengan penolakan seperti itu, Libasut menilai Indonesia justru menjadi negara yang disegani oleh Arab Saudi alih-alih dikucilkan.

"Isu Suriah atau Arab-Spring itu dimainkan dengan sangat baik oleh Indonesia karena menjadi salah satu negara yang menolak untuk bergabung dalam koalisi yang dipimpin Arab Saudi. Malaysia ikut bergabung, tapi kita tolak atas berbagai pertimbangan. Saya kira itu point penting yang Indonesia ambil terkait konflik di Suriah," papar Libasut.

Posisi geopolitik itulah yang dinilai Libasut sebagai alasan mengapa Arab Saudi menganggap Indonesia punya peran demikian strategis. Di sisi lain, posisi geopolitik Arab Saudi sebagai salah satu negara kuat di Kawasan Teluk, pelan-pelan mulai tersaingi oleh Iran.

Iran, lanjut Libasut, sudah membuka banyak hal terkait jalinan kerjasama dengan Indonesia. Sementara kerjasama antara Arab dan Indonesia hingga saat ini masih berkisar di wilayah-wilayah keagamaan.

"Arab Saudi punya kepentingan besar untuk melakukan kerja sama lain dengan Indonesia, untuk menandingi Iran. Hingga saat ini, harus diakui bahwa diplomasi Arab Saudi Indonesia masih terbatas pada hal-hal yang bersifat religiusitas. Baik itu pembangunan rumah ibadah, maupun beasiswa-beasiswa yang terkait kajian keagamaan," katanya.

Sedang Iran sudah mengembangkan kerjasamanya pada banyak hal. Presiden Iran terdahulu, Ahmad Ahmadinejad, bahkan sudah pernah berkunjung ke Indonesia. Di luar urusan kenegaraan, Ahmadinejad bahkan sengaja mengambil kesempatan untuk berkunjung langsung ke salah satu pusat pendidikan di Indonesia, yakni UI.

"Ini saya kira poin penting yang harus diperhatikan Arab Saudi. Jadi tidak melulu membangun diplomasi di wilayah agama saja, tapi berkembang ke sektor lain, misalnya ekonomi," kata Libasut.

Bahwa Raja Salman dijadwalkan ada di Bali selama 6 hari, Libasut menyebut hal itu akan membawa dampak positif bagi sektor pariwisata. Menurutnya, potensi pengunjung pariwisata dari Timur Tengah ke Indonesia, khususnya Arab Saudi, kian meningkat dari hari ke hari.

Libasut juga menyebut kunjungan Raja Arab benar-benar bakal menjadi kunjungan bersejarah. Terlepas dari fakta bahwa ini merupakan kunjungan pertama sejak 1970, Arab sendiri saat ini agak terpuruk secara ekonomi. Terlebih paska turunnya harga minyak dunia, dan sanksi atas Iran sudah dibuka, persaingan ekspor minyak antara Arab dengan Iran semakin besar. Dengan kondisi demikian, Arab Saudi pun dipaksa untuk membuka suatu kerjasama dengan negara lain yang sama-sama potensial, selain rekanan utamanya, Amerika,

"Ini sudah dilakukan Raja Abdullah tahun 2006. Saat itu, salah satu agenda luar negeri utama mereka adalah mendatangi India dan China. Itu adalah upaya agar mereka tidak terlalu tergantung ke Amerika. Dan saat ini Indonesia ada dalam potensi itu di mata Arab," kata Libasut.

Terlepas dari persoalan itu, Libasut juga menyoroti rencana Polri membangun kerjasama di bidang terorisme dengan Arab Saudi. Libasut menilai kerjasama di bidang itu adalah suatu hal yang percuma. Alasannya, Timur Tengah, tidak terkecuali Arab, justru merupakan sarang bagi para teroris. Alih-alih memberi pelajaran kepada Indonesia, menyelesaikan persoalan terorisme di kawasan mereka sendiri pun mereka tidak bisa.

"Saya kira ini berpotensi menjadi suatu hal yang sia-sia. Mereka sendiri nyatanya gagal menyelesaikan berbagai peperangan yang terjadi di sana. Jadi bisa keliru kalau belajar ke sana," kata Libasut.

Atas hal itulah Libasut berpendapat, dalam kaitannya dengan persoalan keamanan, Indonesia punya standing point sendiri yang bisa ditawarkan kepada Arab, yakni manajemen kehidupan Islam yang relatif lebih damai. Menurutnya, hal inilah yang harus dipromosikan kepada Arab, selain hal-hal lain yang bersifat kasat mata, seperti pariwisata atau industri minyak.

Libasut juga sepakat bahwa momentum kedatangan Raja Salman dapat dimanfaatkan pihak Indonesia untuk melakukan lobi jamaah haji dan isu-isu TKI. Menurutnya, dua hal tersebut seharusnya menjadi instrument utama dalam diplomasi Indonesia-Arab Saudi.

"Soal TKI, saya kira Indonesia harus mulai berani mengintrodusir pendekatan-pendekatan hukum yang lebih aktif dan lebih sesuai dengan kekhasan sistem hukum kita untuk mempengaruhi sistem hukum Arab Saudi. Selama ini penanganan masalah TKI masih sangat timpang," kata Libasut.

Ketimpangan terjadi bukan karena persoalan hukum, namun juga karena adanya perbedaan budaya di kedua negara. Dalam kasus hukuman pancung misalnya, Libasut menerangkan, satu-satunya cara yang bisa dilakukan Indonesia untuk menyelamatkan warganya dari hukuman tersebut adalah dengan melakukan diyat atau membayar denda. Dan itu biayanya bisa sampai miliaran rupiah. Atas hal itulah Libasut berpendapat, penyelesaian kasus-kasus seperti itu harus segera dinegoisasikan, dicari pendekatan yang sama-sama tidak memberatkan kedua negara.

"Nah kita harus punya keberanian untuk mengintrodusir pendekatan hukum baru dalam hal pengelolaan TKI dan penyelesaian hukum mereka, di luar ketentuan adat atau budaya yang berkembang di Arab Saudi," paparnya.

Disinggung mengenai adanya penolakan terhadap kedatangan Raja Salman, Libasut menerangkan, penolakan itu bersifat parsial—dalam arti tidak akan berlangsung dalam bentuk aksi massa dalam ruang lingkup nasional—sehingga dampak penolakan itu pun tidak akan terlalu signifikan. "Bisa dikatakan bahwa penolakan ini agak kultural, yakni soal paham keagamaan—misalnya soal gerakan anti-Wahabi," kata Libasut.

Libasut berpendapat kunjungan Raja Arab memang harus dilihat dari sisi positifnya yang besar. Namun demikian, Libasut juga tidak menafikan bahwa kunjungan Raja Arab ke Indonesia di satu sisi berpotensi melanggengkan gerakan-gerakan radikal di Indonesia yang identik dengan kaum Wahabi Takfiri.

Menurutnya, sulit untuk tidak mengakui bahwa Arab Saudi merupakan salah satu kiblat bagi kelompok-kelompok radikal ini. Atas hal itulah Libasut menyebut, selain menerima kedatangan Raja Arab dengan penuh antusias, pemerintah pun dituntut untuk bisa menjaga NKRI dari adanya serangan impor ideologi radikal asal Arab Saudi.  

"Mau tidak mau, harus diakui secara genealogis mereka punya latar belakang Arab Saudi. Dan jika benar rombongan raja arab ini jumlahnya 1500 orang, artinya mereka akan datang dengan jumlah dana yang besar sekali. Dana itu akan masuk ke kantong-kantong kaum Wahabi di Indonesia, sehingga—dalam tanda kutip—kelompok ini akan merasa mereka telah mendapatkan restu atas perbuatan-perbuatan radikal yang mereka lakukan selama ini," pungkasnya. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: