JAKARTA, GRESNEWS.COM – Persoalan Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) menjadi perbincangan hangat dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2014 di Mahkamah Konstitusi. Persoalan tersebut dianggap menjadi salah satu penyebab terjadinya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif oleh kubu Prabowo-Hatta.

Dengan adanya kecurangan itu, kubu Prabowo-Hatta menilai pemilu inkonstitusional. Penilaian inkonstitusionalnya pemilu ini kemudian juga menjadi perdebatan sejumlah pengamat. Pertanyaan mendasarnya, jika memang terjadi kecurangan meski tak mempengaruhi hasil pilpres secara keseluruhan apakah bisa pilpres dinilai inkonstitusional?

Pengamat hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar menuturkan dalam konteks ini, pemilu harus dihitung dari sisi kualitasnya. Dia berpendapat, tidak bisa sebuah kecurangan yang terjadi di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) kemudian menghilangkan suara di puluhan TPS lainnya.

Zainal mengatakan, kalaupun MK memutuskan untuk melaksanakan penghitungan suara ulang (PSU) di TPS dimana kecurangan ditemukan, menurutnya MK perlu melihat apakah PSU tersebut akan mempengaruhi pemenang pemilu. "Kalau mengulang di daerah tertentu dan jumlah pemilihnya hanya 1 juta, tidak signifikan mengembalikan hasil," jelasnya di gedung DPD, Jakarta, Rabu (20/8).

Lebih lanjut, Zainal menilai pemilu tidak bisa dianggap inkonstitusional hanya karena adanya satu-dua pelanggaran. Ia menjelaskan, konstitusional tidak tunggal. Menurutnya, ada banyak cara menafsirkan konstitusi misalnya melalui perspektif konsekstual atau gramatikal.

"Jadi kalau hanya dilihat dari satu sisi yaitu karena ada kecurangan lalu menafikkan keseluruhan hasil lainnya, itu keliru dan terlalu kaku menilai pemilu inkonstitusional," ujarnya menegaskan.

Ia melanjutkan terkait putusan gugatan hasil pemilu, MK boleh memilih makna konstitusional apa yang akan dia terapkan. Tetapi yang paling penting menurut Zainal, MK perlu menjelaskan apa alasannya memutuskan hal tersebut.

Ia menilai, MK harus menjelaskan apakah putusan itu ditafsirkan secara tekstual atau kontekstual. "Selama alasan dibaliknya ada bukti dan keyakinannya. Kalau tekstual, tidak usah mengulang pemilu ataupun kontekstual harus mengulang pemilu, dia harus jelaskan alasannya," ujarnya.

Senada dengan Zainal, anggota DPD asal Bali I Wayan Sudirta mengatakan, jika MK memutuskan terbukti terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif, belum tentu pemilu menjadi inkonstitusional. Ia mengatakan kalau ditemukan 1 juta suara yang terbukti didapatkan karena kecurangan apakah bisa mempengaruhi puluhan juta suara lainnya.

"Bahwa ada kecurangan memang, tapi tentu pemilih lainnya merasa tidak adil kalau puluhan juta suara dinyatakan sah lalu diabaikan karena sejuta suara," katanya dalam acara yang sama, Jakarta, Rabu (20/8).

BACA JUGA: