JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah telah menganggarkan dana cukup besar untuk pengadaan vaksin dan obat-obatan. Sayang realisasi pencairan anggaran yang tertunda membuka peluang kelangkaan vaksin hingga merebaknya vaksin palsu belakangan ini.

Direktur Eksekutif Centre fot Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menyayangkan beredarnya vaksin palsu di daerah Jabodetabek, khususnya Bekasi. Menurut pria yang akrab disapa Uchok itu, beredarnya vaksin palsu dikarenakan mahalnya harga vaksin impor asli. Padahal pemerintah sudah menganggarkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) cukup besar untuk membeli obat-obatan.

Dia mengatakan, realisasi anggaran yang rendah menjadi penyebab kelangkaan vaksin palsu yang membuka keran peredarannya. "Sebetulnya tidak perlu terjadi atau muncul yang namanya vaksin palsu dan mahal kalau Kementerian Kesehatan merealisasi anggaran untuk vaksin asli sejak awal tahun aAtau sesuai perencanaan anggaran," kata Uchok kepada gresnews.com, Senin (18/7).

Menurut data yang dikemukakan CBA, pada anggaran tahun 2016, pemerintah telah menganggarkan cukup besar untuk pembelian vaksin dan obat-obatan Rp 2.865.770.770.000. Namun dari pengadaan barang obat-obatan dan vaksin baru dilakukan pada 10 juni 2016.

Dari total pengadaan sekitar Rp2,8 triliun itu, hanya sebagian kecil yang baru dilakukan lelang yakni sekitar Rp 25.200.000.000. Dengan begitu, Uchok mengaku pesimis jika pada bulan selanjutnya Kemenkes mampu merealisasikan seluruh anggaran yang telah ditetapkan.

"Jadi, untuk 6 bulan ke depan, Kementerian Kesehatan tidak mungkin mampu mencairkan Rp 2.840.570.770.000 untuk beli vaksin," ujar Uchok.

Jumlah anggaran itu sebenarnya lebih besar dibanding tahun 2015. Pada tahun 2015, pemerintah hanya menganggarkan Rp1.461.731.000.000 untuk pengadaan vaksin dan obat-obatan. Angka itu dua kali lipat lebih besar dibanding tahun 2015.

Merebaknya vaksin palsu belakangan ini, menurut Uchok, akibat dari keterlambatan pemerintah mencairkan anggarannya. Seharusnya, pengadaan sudah dimulai Januari awal tahun. Ternyata, realisasinya baru dimulai pada Juni.

Uchok berspekulasi, kelangkaan vaksin dari awal tahun itu dimanfaatkan oleh oknum untuk membuat vaksin palsu dengan harga sangat murah. "Melihat ada tertunda pencairan anggaran dari Januari sampai Juni dari Kemenkes membuat harga vaksin mahal,"ucap Uchok.

Data dari Kementerian Kesehatan (Kemkes) mengalokasikan anggaran triliunan rupiah setiap tahunnya untuk membeli vaksin. Anggaran ini cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah kelahiran bayi di Indonesia.

Di 2016 saja, Kemkes mengalokasikan Rp1,2 triliun untuk membeli vaksin dari PT Bio Farma dengan total sasaran mencapai 23,67 juta jiwa anak-anak. Ini terdiri dari seluruh bayi yang baru lahir 0-11 bulan yang mencapai sekitar 4 jutaan, balita, dan anak SD kelas 1,2,3.

Anggaran Rp1,2 triliiun untuk membeli vaksin sebagai program wajib imunisasi berupa pemberian vaksin BCG, polio, DPT, Hepatitis B, Hib, dan campak untuk seluruh bayi, balita serta anak SD. Anggaran ini juga termasuk untuk alat suntik atau spuit, dan distribusi vaksin sampai ke tingkat provinsi.

Uchok meminta Kemenkes tidak hanya menyalahkan pihak diluar institusi Kemenkes. Seharusnya Kemenkes tidak melempar kesalahan itu dengan memunculkan mafia vaksin, tetapi Kemenkes juga bisa memperbaiki agar realisasi anggaran untuk pengadaan juga diperhatikan.

Lebih jauh dia meminta DPR untuk mengevaluasi terkait rendahnya penyerapan anggaran pengadaan vaksin dan obat-obatan. "Meminta kepada DPR untuk mengevaluasi menteri kesehatan. Dimana penyerapan atau pencairan anggaran untuk vaksin seperti tertunda, terkait soal mekanisme birokrasi," tukas Uchok.

Alvon Kurnia dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan mendesak kepada Kementerian Kesehatan untuk menyerahkan resume medis korban vaksin palsu. Dengan adanya resume medis, akan membuat penindakan terhadap korban lebih mudah dilakukan.

"Penyerahan resume medisnya. Vaksin apa saja yang dipakai kepada korban yang dipalsukan," ujar Alvon kepada gresnews.com, saat dihubungi Senin, (18/7).

Menurut Alvon, resume medis itu sangat penting dalam mengungkap kasus vaksin palsu ini. Dengan adanya resume medis, akan diketahui siapa yang mestinya bertanggungjawab dalam vaksin palsu tersebut. "Kalau ada rekam medis itu, akan diketahui apakah dokternya, atau bidan atau institusi yang bertanggung jawab," kata Alvon.

Bahkan Alvon menyatakan akan melayangkan gugatan terkait vaksin palsu yang telah merugikan pihak korban. Tetapi dia tak memastikan kapan gugatan itu akan dilayangkan. "Nanti itu, setelah ini clear. Pasti kita akan melakukan upaya hukum dalam bentuk gugatan," tandas Alvon singkat.

KISRUH VAKSIN ULANG - Jumpa pers soal vaksin palsu yang digelar direktur RSIA Sayang Bunda, Bekasi, diwarnai kericuhan. Orang tua yang anaknya menjadi korban vaksin palsu meminta rumah sakit bertanggung jawab.

Jumpa pers digelar di gedung bekas minimarket yang berada di samping RS, Senin (18/7). Ruangan yang tidak besar itu dipenuhi oleh wartawan, sekitar 100 orang tua yang membawa anak mereka, Direktur RS Sayang Bunda yang baru dr Teguh (direktur yang lama, HUD, sudah ditetapkan sebagai tersangka karena memesan vaksin di distributor tak resmi yang ternyata palsu), dan perwakilan Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi. Ada juga polisi yang menjaga keamanan.

dr Teguh didampingi Kapolsek Babelan Kompol M Harahap dan Kepala Bidang Pelayanan Dasar Dinkes Kab Bekasi dr Alamsyah memulai konferensi pers. dr Teguh membacakan pernyataan dari Rumah Sakit Sayang Bunda.

Kondisi semakin kacau, para orang tua terus berteriak-teriak. Di luar ruangan, orang tua yang tadinya menunggu memaksa masuk ke dalam ruang pertemuan. Mereka lari mencoba mendekati direktur RS yang sedang membacakan pernyataan sikap. Namun usaha mereka dihalangi polisi hingga terjadi saling dorong. Orang tua menganggap penjelasan yang diberikan pihak RS tidak memuaskan.

"Pokoknya tanggung jawab. Ganti uang kami, ganti rugi, nggak usah banyak omong!" kata salah satu orang tua dengan nada emosi. Melihat suasana semakin tak terkendali, dr Teguh lari ke lantai 2 gedung. Di lantai 2 itu terhubung dengan gedung RS. Massa mencoba mengejar namun dijaga oleh polisi.

Hingga pukul 15.20 WIB para orang tua masih menunggu pihak rumah sakit untuk memberikan penjelasan. Puluhan anggota polisi dan TNI berjaga-jaga untuk mengamankan pertemuan.

"Kami akan mengeluarkan isi rekam medis pasien tersebut sehabis acara ini. Yang kedua, sehubungan adanya vaksin palsu di RSIA Sayang Bunda, Pondok Ungu Permai Sektor 5 Blok A 1, Senin 18 Juli pukul 09.00 telah dilakukan imunisasi wajib untuk 21 anak yang terverifikasi oleh Satgas Penanggulangan Vaksin Palsu tersebut," kata dokter Teguh.

Mendengar penyataan itu, orang tua yang anaknya tidak mendapat vaksin ulang berteriak. Mereka meminta RS bertanggung jawab. "Anak-anak yang lain gimana nasibnya. Kenapa cuma 21 saja!" ucap salah satu orang tua.

"Cuma 21, tapi di sini ratusan. Tanggung jawab! Ganti uang kita, ganti uang kita," ucap orang tua lainnya.

Dokter Teguh lalu meyakinkan para orang tua bahwa RS akan bertanggung jawab. "Kami akan bertanggungjawab dan tadi sudah 21 anak terverifikasi nanti kita tunggu lagi dari satgas, nah itu data sudah di berikan ke Kemenkes jadi yang memberikan itu satgas, kita masih menunggu," kata dr Teguh mencoba menenangkan para orang tua.

Teguh juga berusaha meyakinkan para orang tua bahwa rumah sakit akan secepatnya menghubungi pihak keluarga, memverifikasi dan melakukan vaksin ulang kepada anak-anak yang terkena vaksin palsu.

"Kami sudah pendataan ulang dari Kemenkes dan Satgas Penanggulangan Vaksin Palsu, sudah dikasih ke pemerintah, tinggal diverifikasi, begitu sudah diverifikasi akan dilakukan vaksinasi ulang. Jadi yang memang dihubungi berarti belum, jadi tunggu verifikasi dari Kemenkes," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: