AKARTA, GRESNEWS.COM - Sebanyak 147 permohonan perselisihan pilkada yang disengketakan ke Mahkamah Konstitusi, prosesnya  tak ada satupun yang menyentuh masalah subtantif, yakni pelanggaran yang dilakukan dengan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Mahkamah Konstitusi sampai saat ini masih terkonsentrasi pada hitungan matematis semata, dimana syarat selisih suara maksimal 2% dari hasil yang ditetapkan oleh KPU. Padahal, seharusnya MK dapat menyidangkan hal yang lebih menyentuh ke permasalahan subtantif dibanding angka semata.

Jika menyimak catatan persidangan dari awal, maka dalil yang disampaikan pemohon rata-rata terfragmentasi dalam dua bagian. Pertama, permohonan yang memenuhi syarat selisih suara maksimal 2% dari hasil yang ditetapkan KPU, maka merekapun hanya menyampaikan dalil kesalahan penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU daerah. Lalu terdapat dalil praktik kecurangan terhadap proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

"Beberapa bentuk kecurangan yang disebut di dalam permohonan adalah, praktik politik uang, penggunaan fasilitas dan program pemerintah untuk kepentingan pemenangan calon kepala daerah, dan politisasi birokrasi," ujar Pengurus Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi ( Perludem), Fadli Ramadhani, di Kantor Peludem, Jumat (15/1) kemarin.

Namun, dari publikasi hasil pemilihan kepala daerah dan sesuai UU 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, hanya ada 23 permohonan yang memenuhi syarat selisih suara tersebut. Kelompok kedua adalah permohonan dari hasil pemilihan yang ditetapkan oleh KPU daerah, selisih suaranya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 158 UU 8/2015.

Dalil awal yang disampaikan kelompok ini bahwa ketentuan Pasal 158 tidak serta merta bisa diberlakukan oleh MK untuk menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Setelah itu, baru kemudian pemohon menyatakan ada kecurangan yang bersifat sistematis, terstruktur dan massif.

Dalam 147 permohonan ke MK, paling tinggi permohonan terkait netralitas penyelenggara pilkada sebanyak 63 kasus. Biasanya penyelenggara tak memberikan form c6 di daerah pemohon.  Selanjutnya, menyusul politisasi birokrasi sebanyak 26 kasus, selanjutnya adanya kesalahan hitung, politik uang, manipulasi DPP, pengurangan dan penambahan suara.

"KPU kabupaten kota merupakan penyelenggara pemilihan yang paling banyak dipersoalkan. Lalu KPPS, PPK, PPS, baru KPU provinsi," katanya.

Ditambahkan Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar, MK sebagai arena proses pengadilan sudah seharusnya meninjau proses apa saja yang harus benar-benar dibuka. "Jika hanya merunut perbedaan suara 2 persen maka praktik pelanggaran pilkada yang informal bisa terabaikan," katanya.

Ia mencontohkan, jika MK hanya berpedoman pada selisih 2 persen pada suara maka kecurangan money politik tak akan bisa dijerat. Tahun 2015 pun dianggapnya sebagai tahun terburuk MK dari segi putusan.

"Putusan jelek, banyak legitimasi politik uang, saya khawatir MK terjerembab di legal formal dan itu akan berpengaruh di konstitusi kita," ujarnya.


TIDAK SUBSTANTIF - Sementara itu Pengamat Politik Ray Rangkuti mempertanyakan substansi hakim konstitusi dalam menyidangkan sengketa pilkada. Pertama, apakah sang hakim mau menyidangkan satu perkara dalam rangka menegakkan keadilan atau menegakkan kejujuran. Atau hanya sekadar menguji kebenaran hitungan jumlah suara.

"Ini akan mengukur kedalaman jiwa dan kognitif mereka terhadap persoalan kebangsaan kita. Faktanya mau menyidangkan yang subtansif atau teknis tak tergantung aturan tapi cara pikir hakim konstitusi," ujarnya.

Ray menyebut, pada periode Ketua MK Jimly Asshiddiqie yang boleh disengketakan di MK adalah suara yang jika diperhitungkan kembali dapat mengalahkan pemenang KPU. Syarat tersebut menurutnya tak berbeda dengan syarat saat ini yakni perbedaan suara sebanyak 2%. Padahal, menurutnya, sidang di MK bukan semata tentang kehilangan suara tapi harus juga menguji proses dan tahapan pilkadanya.

"Betul benar, jurdil tidak? Apa selisih  dan cara mendapatkan suara dilakukan secara wajar? Bagaimana cara mendapatkannya?" katanya.

Selama ini, persoalan yang disengketakan juga tak banyak mengubah hasil yang telah diumumkan oleh KPU. Misal ketika pelanggaran money politik terbukti dan dilaporkan ke Bawaslu, namun hal ini tak membatalkan pemenang. Paling banter hanya menghukum pelaku di lapangan.

"Mk harus uji dengan urusan konstitusi bukan dengan angka. Angka itu levelnya KPU dan Bawaslu," ujarnya.

Baginya, yang terpenting tak boleh ada pemimpin yang terpilih dengan melanggar konstitusi. Bukan masalah selisih suara sebanyak 2 persen. "Siapa yang buat suara anda hilang, itu yang kita kejar," katanya

MK sangat perlu  melihat dan memeriksa alat bukti dan dalil yang disampaikan seluruh pemohon dari awal. Hal ini berguna untuk dijadikan pertimbangan yang komprehensif dalam memutus, apakah setiap permohonan yang masuk dapat dilanjutkan ke pemeriksaan tingkat pembuktian.

MK MERUJUK UU PILKADA - Menyikapi kritik ini Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono sebelumnya mengatakan sah-sah saja, ketika banyak pemerhati pilkada dan praktisi hukum meminta MK menangani sengketa pilkada dengan memperhatikan pelanggaran substantif.

Tetapi, menurutnya kewenangan MK mengadili perselisihan hasil pilkada. Seluruh hukum acara dan penanganannya merujuk pada undang-undang  yakni UU Pilkada.

Namun ia mengatakan, meski begitu, tak menutup kemungkinan jika hakim menilai ada sebuah perkara layak dilanjutkan, perkara tersebut bisa dilanjutkan. Sehingga, MK tidak hanya melihat angka-angka saja.

"Sejauh ini, pintu masuknya tetap Pasal 157 dan Pasal 158 UU Pilkada. Bahwa ada perkembangan, itu masuk otoritas hakim MK untuk mempertimbangkan," kata Fajar.

BACA JUGA: