JAKARTA, GRESNEWS.COM – Salah satu alasan sejumlah partai politik menolak pilkada langsung karena banyaknya sengketa pemilu yang terjadi hampir di setiap daerah. Banyaknya sengketa tersebut juga tidak diiringi dengan penanganan dan penyelesaian sengketa hingga final.

Seringkali sengketa yang menyangkut pidana juga harus mental atau tidak ditindaklanjuti begitu sengketa sampai di kejaksaan atau kepolisian. Hal membuat pilkada langsung digugat untuk diubah menjadi tak langsung untuk mengurangi kompleksitas tersebut.

Terkait hal ini, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nasrullah menjelaskan semakin banyak kontestan atau peserta pemilu memang akan membuat pemilu sulit diawasi. Tentu sulit mengawasi jumlah peserta pemilu dalam pilkada yang cukup banyak karena dilakukan di tiap daerah, ditambah banyaknya masyarakat akar rumput yang terlibat.

"Terlalu besar pemidanaan pada yang bermasalah, tapi sangat sedikit kasus yang terlempar di lembaga peradilan," katanya dalam diskusi di Bawaslu, Jakarta, Jumat lalu.

Agar penanganan pelanggaran dan sengketa bisa ditangani Bawaslu perlu diberikan otoritas agar lebih kuat. Ia mengajukan wacana pada pembuat undang-undang agar institusi pengawas pemilu juga dilengkapi dengan penyidik dan penuntut.

Dengan dua unsur tersebut, Bawaslu bisa dikembangkan menjadi lembaga peradilan pemilu. "Ada kewenangan dari sisi peradilan, wilayah pidana pemilu seperempat dia dapatkan, wilayah etik juga tergantung Bawaslu, pengawasan partisipatif tetap dalam kondisi yang sekarang," lanjutnya.

Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif IndoStrategi Andar Nubowo berpendapat kalau Bawaslu bermetamorfosis menjadi lembaga peradilan pemilu akan menimbulkan komplikasi politik dan hukum. Menurutnya, ada lembaga yang selama ini berhak menangani sengketa pemilu misalnya Mahkamah Konstitusi (MK).

Sehingga ia menilai kalau Bawaslu menjadi lembaga peradilan pemilu maka fungsi dan perannya akan bertabrakan dengan MK. "MK sudah berperan dan berfungsi dengan baik atas sengketa pemilu," katanya pada Gresnews.com, Jumat lalu.

Deputi Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykuruddin Hafidz mengatakan sebenarnya saat ini kewenangan Bawaslu untuk menyelesaikan sengketa pemilu dan sebagai pemutus akhir sengketa sudah ada. Namun untuk wilayah konflik yang lain misalnya pidana, Bawaslu tidak punya kewenangan tetap.

Menurutnya kewenangan Bawaslu memang harus dikembangkan agar proses penyelesaian sengketa pemilu tidak berputar-putar."Kekurangan kita, setelah Bawaslu menyatakan pelanggaran, lalu masuk ke kejaksaan dan kepolisian, kemudian mental,” ujarnya pada Gresnews.com, Minggu (14/9).

Ia menambahkan karena proses yang berputar-putar tersebut, mekanisme penanganan sengketa sebaiknya diputus saja dan diberikan otoritasnya pada Bawaslu. Lalu seluruh pelanggaran pemilu harus selesai di Bawaslu. Untuk itu perlu memperkuat Bawaslu agar punya ketetapan hukum yang final. Walaupun Bawaslu diberikan kewenangan yang semakin kuat, sebaiknya tidak mengurangi tugasnya menjadi pengawas pemilu.

"Sebagai lembaga pengawas, ia harus membuka mitra dengan lembaga pemantau dan masyarakat. Sehingga mekanisme pengawasan Bawaslu harus baik dan melibatkan masyarakat. Ini relevan untuk pilkada," lanjutnya.

BACA JUGA: