JAKARTA, GRESNEWS.COM - Isu munculnya kembali paham komunisme di Indonesia kembali merebak beberapa pekan belakangan ini. Penyitaan atribut bersimbol Partai Komunis Indonesia (PKI) terjadi di Medan, Jakarta (Blok M), hingga Maluku. Aparat keamanan dengan sigap langsung mengamankan atribut beserta para pemiliknya.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertahanan, meresponsnya dengan serius bahkan cenderung berlebihan karena berniat melibatkan TNI untuk meredam isu panas ini. Keterlibatan TNI dalam menangani dugaan kebangkitan PKI itu dinilai tidak tepat dan berpotensi akan menimbulkan mandeknya proses demokrasi di Indonesia. Meningkatnya intensitas penangkapan terhadap para oknum yang menyebarkan simbol-simbol partai terlarang, PKI, akan mengkhawatirkan keberlangsungan reformasi yang diperjuangkan.

Mantan aktivis 1998, Ray Rangkuti, menilai, dengan melibatkan TNI dalam menertibkan oknum itu akan mengembalikan Indonesia seperti masa Orde Baru. "Itu yang harus menjadi perhatian serius. "Pemainnya" juga sama yaitu TNI dan polisi," kata Ray.

Langkah itu, menurut Ray, menyalahi dua prinsip dalam demokrasi. Pertama, prinsip kebebasan sebagai warga negara. Kedua, mempergunakan TNI untuk pengamanan. "Tidak boleh. TNI itu untuk pertahanan," terang Ray.

Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu, menyatakan mendukung keterlibatan TNI untuk melakukan penertiban dan menyisir atribut PKI. "Polri saja tidak cukup, ujung-ujungnya tentaralah (turun tangan)," kata Ryamizard di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta Pusat, Jumat (13/5).

Namun, Ray punya pendapat berbeda. "Apa sih yang mengancam dari itu? Negara terbesar penganut komunisme aja runtuh," katanya.

Ray menilai komunisme sekarang tak lebih dari teori kapitalisme. Ray menegaskan, bagi mereka yang benci dengan komunisme agar melihatnya sebagai salah satu dari pengujian kapitalisme. Dengan begitu maka tidak akan ada ketakutan yang luar biasa dari komunisme. "Jangan seolah-olah NKRI akan terancam. Yang mengancam itu kalau koruptor merejalela di mana-mana," pungkas Ray.

Ray juga mengkhawatirkan aksi berlebihan oleh pihak TNI belakangan ini soal pelarangan acara diskusi dan kegiatan intelektual lainnya. Ia meminta, jangan sampai aktivitas intelektual juga dipasung. Kekhawatiran itu disampaikannya mengingat banyaknya pelarangan terhadap acara diskusi, seminar maupun pemutaran film, yang dituding berbau komunisme.

Di Indonesia, larangan paham komunisme/PKI di masyarakat diatur dalam TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966. Aturan tersebut mengatur kedudukan hukum pembubaran PKI dan ajaran-ajaran komunisme. Bahkan, TAP MPRS tersebut diperkuat dengan TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003.

TAK PERLU REAKTIF - Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Ali Munhanif menilai langkah pihak korban tragedi 1965 mengajukan rekonsiliasi itu sah-sah saja dan jangan dipandang sebagai wujud kebangkitan PKI. Seandainya pun dilakukan rekonsiliasi, imbuh Ali, yang mesti dimunculkan adalah bagaimana itu bisa menjadi pelajaran bagi bangsa agar hal tersebut tidak terulang lagi.

Dia juga meminta agar masyarakat tidak terlalu reaktif menanggapi isu kebangkitan PKI karena membuka peluang pihak ketiga memanfaatkan isu tersebut. "Tidak usah terlalu paranoid terhadap isu itu. Dan jangan terlalu over juga tentang isu PKI," terang Ali.

Pemerintah, menurut Ali, telah menegaskan tidak akan meminta maaf atas kasus 1965 tersebut. Justru, konkritnya, dengan melakukan rehabilitasi korban-korban, mengidentifikasi anak-anak korban dari tragedi itu karena tragedi 1965 bukan saja murni pelanggaran HAM berat melainkan juga peristiwa politik. "Karena peristiwa politik, makanya penyelesaiannya politik juga," ujarnya.

Terkait dengan pernyataan Menhan beberapa waktu lalu terkait keterlibatan TNI dan Polri dalam melakukan penertiban atribut dengan partai terlarang PKI, Ali Munhanif mewajarkan langkah Menhan itu.

"Saya kira sangat wajar, mengingat Menhan juga memiliki fungsi pertahanan. Yang penting adalah menggunakan instrumen jelas. Jangan sampai juga memperparah keadaan," kata Ali.

Ali menilai isu kemunculan komunisme dimanfaatkan oleh pihak ketiga untuk mengambil kepentingan dari kekisruhan tersebut. "Pemerintah sedang fokus pada persoalan ekonomi. Dan itu membutuhkan stabilitas politik. Sebagai negara yang mulai mapan sikapi saja dengan dewasa," tegasnya.

SIKAP PRESIDEN DAN POLRI - Merebaknya isu komunisme ini mendapat perhatian dari Presiden Joko Widodo. Presiden memerintahkan aparat penegak hukum agar serius menangani kasus ini namun tidak kebablasan. "Beberapa waktu yang lalu ada masukan juga kepada Presiden yang kemudian seolah-olah apa yang dilakukan tingkat bawah aparat ini dianggap kebablasan oleh sekelompok pihak yang lain. Karena itu Presiden telah memerintahkan ke Kapolri dan Panglima TNI harus tetap menghormati kebebasan berpendapat seperti yang disampaian dalam TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003," tegas Juru Bicara Presiden, Johan Budi, Kamis (12/5).

Kapolri Jenderal Badrodin Haiti memastikan jajarannya menaati perintah presiden. Badrodin memberikan arahan berupa batasan-batasan kepada jajarannya. Salah satunya terkait penyitaan buku yang hanya boleh diambil satu sampel untuk dilakukan penelitian materi isi buku di Kejaksaan.

"Saya pikir kita sudah batasi seluruh jajaran Polri. Pertama kita melakukan penegakan hukum terhadap orang-orang yang diduga menyebar paham komunisme, marxisme," kata Badrodin di Mabes Polri, Jumat (13/5).

Badrodin mengatakan akan mengedepankan penyelidikan dalam menangani soal komunisme. Ini dilakukan dengan cara meminta pendapat ahli soal muatan komunisme dalam atribut, buku, maupun film yang diduga berisi penyebaran paham komunisme.

"Tapi saya berharap juga ketentuan perundangan lain, seperti mengumpulkan orang banyak di sana, pertunjukan, pemutaran film tentu diikuti dengan memberitahukan ke Polri, izin keramaian harus diurus," imbuh dia.

Selain itu, Badrodin juga sudah menyampaikan ke jajaran Polri untuk tidak melakukan penyitaan buku di tempat-tempat seperti toko buku, kampus, maupun percetakan. "Itu yang saya agak riskan, tapi kita juga tidak tolerir adanya pihak ormas atau kelompok lain main hakim sendiri," katanya. (dtc)

BACA JUGA: