JAKARTA, GRESNEWS.COM - Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baru saja disahkan DPR. Namun aturan baru tersebut banyak menuai sejumlah kontroversi, mulai persoalan verifikasi faktual calon independen, pemotongan kewenangan penyelenggara pemilu, hingga batasan politik uang. Masalah bertambah pelik mengingat pelaksanaan tiga pemilu akan dilakukan secara serentak.

Agar proses penyelenggaraan pemilu dapat berjalan lancar perlu ada Kodifikasi Kitab Undang-Undang Pemilu. Saat ini undang-undang yang mengatur mengenai pemilu terbagi dalam empat undang-undang yaitu UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Selama ini yang terjadi dengan adanya pemisahan pengaturan pemilu ke dalam empat undang-undang mengakibatkan tumpang tindih, kontradiksi dan duplikasi pengaturan. Dampak lainnya adalah pengaturan tiga jenis pemilu, yakni pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden dan pemilihan legislatif tanpa standar yang sama soal tahapan pemilu.

Dalam UU Pilpres terdapat delapan tahapan. Sementara dalam UU Pileg terdapat 11 tahapan. Lalu dalam UU Pilkada terdapat 10 tahapan ditambah dengan delapan tahapan persiapan. Perbedaan jumlah tahapan ini ternyata juga tidak terlepas dari perbedaan definisi tahapan pemilu dalam UU tersebut.

Masalah lainnya, tidak samanya definisi penduduk, pemilih, dan daftar pemilih dalam empat UU yang terkait pemilu tersebut. Misalnya dalam UU Pileg, pemilih tidak harus memiliki identitas sehingga KPU wajib mendaftarkannya sebagai pemilih. Sementara itu dalam UU Pilkada, pemilih harus memiliki identitas kependudukan. Ketiga, dalam UU Pilkada belum mengatur sanksi pidana jual-beli suara sedangkab dalam UU Pileg dan Pilpres sudah diatur sanksi jual-beli suaranya.

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pemilu serentak untuk pemilu legislatif dan presiden pada Pemilu 2019, kebutuhan untuk membuat kodifikasi undang-undang pemilu semakin mendesak untuk dapat segera dilakukan dan menjadi salah satu program legislasi nasional yang harus segera dilakukan oleh DPR. Gagasan untuk membuat pengaturan atau undang-undang pemilu yang terintegrasi diharapkan dapat menjadi salah satu rekomendasi untuk menyelesaikan permasalahan penyelenggaraan pemilu.

"Pemerintah akan mengajukan UU Kodifikasi Pemilu akhir tahun ini dan kemungkinan selesai dalam waktu dua bulan," kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di Gedung DPR RI, Senin (13/6).

Sementara itu Komisi II DPR memiliki keinginan yang berbeda. "Kami mendesak pemerintah setelah UU Pilkada seharusnya masuk pembahasan Kodifikasi UU Pemilu," ujar Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy di Gedung DPR RI, Senayan, Senin (13/6).

Alasan pemerintah menunda membahas Kodifikasi UU Pemilu ini lantaran sedang fokus pada pekerjaan lain. Pemerintah kini sedang sibuk mempersiapkan agenda penyusunan anggaran seperti APBN-P 2016, APBN 2017, dan evaluasi tahun berjalan 2016.

Ketiga agenda itulah yang diyakini membuat kodifikasi ini tersendat. Sebab seharusnya RUU sudah masuk ke DPR pada Agustus 2016 nanti. Pengesahannya pun sudah ditargetkan rampung pada akhir tahun.

"Jadi awal 2017 yang sudah masuk persiapan-persiapan pemilu kami sudah siap," kata Lukman.

Untuk itu, Lukman menyatakan pemerintah tak boleh mundur dalam pengajuan di bulan Agustus nanti. Apalagi, jika nanti mudur maka masyarakat pun akan curiga terhadap kepentingan-kepentingan di belakangnya.

Dalam penggodokan RUU nanti, Lukman menjelaskan ada beberapa catatan penting yang akan dibahas. Misalnya saja dalam pembahasan norma pemilu serentak pilpres dan pileg. Selama ini, norma tersebut belum diatur dalam UU padahal putusan MK telah menempatkannya dalam pemilu serentak. "Pengaturan teknis pemilu serentak sangat penting karena belum ada aturan yang menaunginya," ujarnya.

TIGA PEMILU SATU WAKTU - Salah satu poin penting pembahasan Kodifikasi UU Pemilu adalah persiapan penyelenggaraan tiga pemilu dalam satu waktu. Dalam revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada terungkap adanya penarikan pelaksanaan pilkada serentak nasional dari semula pada 2027 menjadi 2024 yang tercantum di Pasal 201 Ayat (8).

Artinya dalam satu tahun terdapat tiga pemilihan sekaligus secara nasional, dimulai pilpres dan pileg pada April, pilpres putaran kedua pada Juni/Juli, hingga pilkada serentak yang diselenggarakan pada November. Tanpa ada aturan yang baik dan komprehensif, pemilu borongan itu juga bakal menyulitkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara. KPU akan sulit dalam membuat jadwal karena ruang konsolidasi dan persiapan bagi KPU sangat sempit sehingga rawan terjadi kesalahan teknis yang masif. Di situlah perlunya Kodifikasi UU Pemilu untuk mengatur dan mencegah adanya kesalahan teknis.

Pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis meramalkan pelaksanaan pemilu serentak bakal berjalan kacau. Hal itu disebabkan lemahnya KPU sebagai penyelenggara sekaligus pengawas sehingga pelaksanaan pemilu terus diwarnai kecurangan. "KPU kita itu tidak hebat, ini masalahnya," ujar Margarito kepada gresnews.com, Senin (13/6).

Ia menilai jika tiga pemilu dilaksanakan serentak dalam satu waktu maka akan menjadi kehancuran besar-besaran bagi demokrasi di Indonesia. Kecurangan akan semakin gila dan seluruh kontrol dipegang oleh pemilik modal. Selama pilkada secara langsung kita itu kan kacau. Sebab KPU tidak pernah hebat, cukong tetap saja ada. Negara ini akan diatur seluruhnya untuk beli kertas dan spanduk, "sindirnya.

Ia menjelaskan ada dampak lain bila tiga pemilu dilakukan dalam satu waktu. Misalnya, banyaknya pejabat yang mengisi kekosongan posisi kepala daerah yang selesai pada 2022 dan 2023 saat pejabat mengisi kekosongan hingga 2 tahun. Padahal, sesuai dengan Pasal 132A PP 49/2008, pejabat tidak bisa mengambil keputusan yang strategis, di antaranya melakukan mutasi pegawai dan mengeluarkan izin, kecuali atas izin Menteri Dalam Negeri.

Belum lagi tingkat partisipasi aspek pemilih yang dalam pemilu biasa saja terus menurun. Dengan tiga pemilu dalam satu tahun, hal itu bakal membuat pemilih semakin jenuh dan berpotensi membuat tingkat partisipasi anjlok.

Margarito berpendapat pemilu seharusnya dilakukan oleh DPRD saja, risikonya jika dibandingkan dengan pemilu langsung lebih sedikit dan masih bisa terkontrol. Apalagi sekarang memberikan uang untuk menghadiri kampanye sudah diperbolehkan dalam revisi UU Pilkada. "Ini menunjukkan akan semakin hancurlah pemilu kita," ujarnya.

BACA JUGA: