JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kall punya harapan mulia untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara poros maritim di dunia. Salah satu cara mewujudkannya dengan melakukan perubahan tata kelola laut di Indonesia. Salah satu bentuk perubahan tata kelola laut yang wajib dilakukan adalah perlindungan laut di Indonesia. Namun hingga saat ini, banyak kebijakan perlindungan laut yang tidak sejalan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Beberapa kebijakan di bidang kelautan dan pesisir dianggap tidak memperhatikan aspek perlindungan lingkungan hidup. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain pemberian izin reklamasi di sejumlah kabupaten/kota di wilayah pesisir Indonesia, masuknya pengaturan kegiatan pertambangan laut dalam (deep sea mining) dalam revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara dan lemahnya kebijakan pengelolaan dan pengendalian limbah di laut.

Meningkatnya jumlah izin pelaksanaan reklamasi di sejumlah kabupaten/kota di pesisir Indonesia menimbulkan pertanyaan akan pembangunan laut yang tidak pro lingkungan. Izin pelaksanaan reklamasi diterbitkan tanpa didahului perencanaan yang mempertimbangkan lingkungan hidup, seperti tahapan inventarisasi lingkungan hidup.

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup (UU 32/2009), melalui tahapan inventarisasi dapat diketahui potensi dan ketersediaan sumber daya alam. Inventarisasi menjadi sangat penting ketika menentukan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam pembangunan di laut.

"Akibat tidak dilaksanakannya inventarisasi lingkungan hidup, informasi yang didapatkan untuk pembangunan di laut tidak akan komprehensif," ungkap Rayhan Dudayev Peneliti ICEL dalam pesannya kepada gresnews.com, Minggu (12/6).

Rayhan menambahkan, akibat minimnya informasi maka pembangunan di laut dan pesisir seperti proyek reklamasi berpotensi merusak ekosistem laut dan juga berdampak menggerus penghidupan nelayan. Dikarenakan inventarisasi lingkungan hidup merupakan salah satu materi peraturan pelaksana yang menjadi mandat UU 32/2009.

Dengan tidak dilakukannya inventarisasi lingkungan, absennya peraturan perencanaan lainnya seperti rencana tata ruang laut dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) juga turut menyumbangkan dampak terhadap eksositem dan nelayan. Rayhan mencontohkan, seperti pada pelaksanaan proyek reklamasi di Teluk Jakarta, dikarenakan tidak adanya perencanaan ruang, rencana reklamasi yang tumpang tindih dengan alur pelayaran dan objek vital nasional seperti pipa gas, kepentingan nelayan dan biota laut sehingga berdampak pada aspek ekonomi, ekologis, sosial dan gender.

Perencanaan lingkungan hidup yang didasarkan dari hasil invetarisasi yang komprehensif, baginya tentu akan berdampak kepada pengambilan kebijakan yang pro lingkungan hidup. "Pemerintah Daerah yang memiliki kebijakan untuk melakukan reklamasi sebaiknya melaksanakan inventarisasi lingkungan untuk mengetahui apakah reklamasi dapat dilakukan atau tidak," ujarnya.

MASALAH PERTAMBANGAN LAUT DALAM - Selain reklamasi, ancaman yang ada di depan mata terkait pencemaran lingkungan laut yaitu Pengaturan Pertambangan Laut Dalam (deeps sea mining). Salah satu materi baru yang dibahas dalam revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) adalah pengaturan pertambangan laut dalam (deep sea mining).

Hal ini merupakan aturan baru, mengingat deep sea mining belum diatur dalam UU Minerba. Pengaturan tentang Deep sea mining awalnya dimaksudkan agar potensi mineral dan baturbara di laut dalam seperti nikel, tembaga, batubara, emas dan lainnya dapat dimanfaatkan.

Tetapi deep sea mining juga memiliki ancaman terhadap lingkungan hidup, seperti halnya kegiatan pertambangan di darat. memerlukan penguasaan teknologi dan penanganan lingkungan hidup yang sangat tinggi. Untuk negara berkembang seperti Indonesia tentu akan menimbulkan kekhawatiran dalam melakukan kegiatan ini.

Potensi kerusakan laut sangat tinggi dalam kegiatan ini antara lain perubahan morfologi berupa perubahan pola arus, ketidakstabilan pantai, dan perubahan pola hidrologi, serta potensi hilangnya keanekaragaman hayati di laut. Oleh karena itu, deep sea mining saat ini hanya dilakukan negara-negara maju yang telah memiliki pengetahuan dan teknologi yang mumpuni.

"Deep sea mining memerlukan penguasaan teknologi dan penanganan lingkungan hidup yang sangat tinggi. Untuk negara berkembang seperti Indonesia tentu akan menimbulkan kekhawatiran dalam melakukan kegiatan ini," ungkap Ohiongyi Marino, Peneliti ICEL, kepada gresnews.com beberapa waktu lalu.

Marino mengungkapkan, bahwa di level internasional pun pertambangan bawah laut masih memunculkan kontroversi dan banyak ditentang mengingat resiko dan dampak lingkungan yang besar. Di Indonesia sendiri hingga kini peraturan pelaksana tentang perencanaan ruang laut belum juga diterbitkan.

Deep sea mining sangat terkait dengan pemanfaatan ruang laut (zonasi), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 dan 44 Undang-undang No 32 tahun 2014 tentang Kelautan (UU Kelautan). Adapun UU Kelautan mengamanatkan bahwa pemanfaatan ruang laut harus sejalan dengan perencanaan laut yang akan diatur dalam Peraturan Pemeritah. Peraturan Pemerintah tentang perencanaan ruang laut ini yang akan mengatur tata ruang dan zonasi untuk kegiatan yang memanfaatkan ruang laut.

"Saat ini tercatat telah ada 17 kontrak deep sea mining di seluruh dunia. Dari 17 kontrak tersebut, mayoritas berada di perairan laut internasional," Kata Marino.

Sebagai negara maritim, Indonesia dipandang sebagai negara yang tidak dapat menjaga ekosistem laut. Saat ini Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia sebagai negara pembuang sampah plastik (kategori limbah padat) ke laut.

Pengaturan mengenai pencegahan dan pengendalian pencemaran dalam UU 32/2009 masih sangat bergantung pada sumber yang jelas. Sementara Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah juga hanya fokus pada sampah berbentuk padat. Hal ini membuat strategi pengelolaan limbah dan sampah yang integratif praktis bergantung pada inovasi kebijakan dari pemerintah.

Jika ditelisik lebih jauh lagi, ternyata peraturan pelaksana tentang pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup di laut belum disesuaikan dengan UU 32/2009. Misalnya saja Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. Akibatnya, pengelolaan limbah di laut dilakukan secara parsial dan tidak koordinatif.

Misalnya pada 2015, Menteri Kelautan dan Perikanan telah mengumumkan rencana tentang program Laut Bebas Polusi, namun belum direalisasikan hingga saat ini. "Padahal kami sangat menaruh harapan kepada KKP, untuk mengendalikan pencemaran di Laut," ujarnya.

BACA JUGA: