JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemberhentian Ade Komarudin oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang terkesan sangat terburu-buru dipertanyakan. Pasalnya, Akom sendiri tidak pernah satu kali pun diperiksa MKD terkait tuduhan pelanggaran kode etik. Namun MKD mendadak memutuskan pemberhentian  Ade, kendati ia hanya dinyatakan melakukan pelanggaran sedang.  Percepatan pemberhentian ini disinyalir hanya untuk memuluskan pengangkatan  Setya Novanto kembali menjadi ketua DPR.

Wakil Ketua MKD Syarifuddin Suding berdalih pemberhentian Akom sama sekali tidak terkait dengan Paripurna pengangkatan Setya Novanto sebagai ketua DPR. Pengangkatan Setya Novanto melalui Paripurna berlangsung beberapa saat setelah MKD menggelar rapat tertutup pemberian sanksi kepada Akom.

Ia juga menyebut  sebetulnya ada tiga opsi sanksi yang akan diberikan kepada Akom, diantaranya memindahkan Akom dari alat kelengkapan dewan, diberhentikan dari jabatan di alat kelengkapan dewan atau diberhentikan sebagai anggota DPR.

Dipilihnya opsi pemberhentian dari jabatan alat kelengkapan dewan atau sebagai ketua DPR dilakukan karena posisi Akom sendiri sebagai Ketua DPR. Menurutnya, sanksi ini diberikan sesuai  Pasal 21 kode etik huruf b, agenda persidangan MKD sendiri sudah diagendakan sebelumnya, serta sudah disepakati seluruh anggota MKD. Sementara pada hari yang sama pengambilan keputusan pemberian sanksi Akom itu,  bertepatan dengan Paripurna pengangkatan Setya Novanto.

"Barangkali cuma kebetulan harinya sama," dalih Suding di gedung DPR, Rabu, (30/11).

Ia juga menyatakan pengambilan keputusan ini tidak sama sekali terkait dengan Fraksi Golkar. Anggota MKD hanya bekerja sesuai dengan aturan yang ada di MKD, keputusan ini bersifat Final dan banding yang berarti seluruh anggota dewan termasuk Alat Kelengkapan Dewan bisa dijadikan rujukan.

Terkait belum diperiksanya Akom, ia menjelaskan bahwa MKD sudah melayangkan surat pemanggilan dua kali terhadap Akom. Tetapi, karena alasan kesehatan, yang bersangkutan tidak dapat menghadiri persidangan. Akom sendiri diketahui melayangkan surat penundaan pengambilan keputusan karena harus melakukan pengobatan di Singapura. Suding menyatakan bahwa dalam surat tersebut tidak disebutkan kapan Akom bisa menghadiri persidangan, atas dasar tersebut, MKD memutuskan mengambil keputusan tanpa kehadiran Akom.

"Tidak ada kepastian dari yang bersangkutan, MKD masih ada 6 sampai 7 kasus lagi di masa persidangan ini," ujarnya.

SANKSI UNTUK AKOM - Perlu diketahui, Akom dituduh telah melakukan penyalahgunaan wewenang terkait inisiatifnya sebagai Ketua DPR memindahkan mitra Komisi VI ke Komisi XI. Ini dalam hal pembahasan Penyertaan Modal Negara (PMN) BUMN. Tuduhan kedua diajukan oleh anggota-anggota Badan Legislasi (Baleg) terkait RUU Pertembakauan. Akom dianggap menunda sidang paripurna untuk pengesahan UU tersebut, padahal UU Pertembakauan telah melalui tahap harmonisasi.

Suding sendiri menyatakan bahwa MKD telah melakukan pemeriksaan terhadap kementerian BUMN. Seluruh pihak yang terkait kasus yang menjerat Akom sudah dipanggil dan diperiksa. Proses panjang tersebut dirasa telah cukup untuk dijadikan landasan hakim dalam mengambil keputusan perkara No 62 dan Nomor 66.

"Sekali lagi kami tegaskan keputusan ini tidak ada proses mempercepat apapun," pungkasnya.

Setelah Akom diberhentikan dari Ketua DPR, Setya Novanto pun langsung disahkan menjadi Ketua DPR melalui Sidang Paripurna. Dalam pidatonya, ia mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada fraksi-fraksi dan seluruh anggota DPR yang telah mengangkatnya kembali sebagai ketua DPR RI.

Ia berjanji akan menjalankan amanah sebagai ketua DPR dengan sebaik-baiknya, hal ini sebagai bukti dirinya berbakti kepada bangsa dan negara. Ia juga memohon doa dan dukungan kepada seluruh anggota DPR dan juga masyarakat Indonesia agar dapat menjalankan amanah jabatan ini dengan baik.

"Saya bersama pimpinan DPR lain akan bekerja keras dalam menjalankan amanah ini sesuai harapan rakyat," ujar Setya Novanto dalam pidatonya di gedung DPR, Rabu, (30/11).

Ia juga menyatakan akan meningkatkan hubungan yang lebih produktif dengan lembaga tinggi negara yang lain khususnya dengan Presiden Republik Indonesia dalam rangka memperkuat sistem presidensial. Program-program juga akan dilaksanakan secara bersama-sama, hal ini juga berlaku terhadap fungsi pengawasan dan fungsi anggaran yang juga akan dilakukan demi kepentingan yang lebih jauh untuk kesejahteraan Indonesia.

BACA JUGA: