JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok membuka front pertempuran baru. Bila sebelumnya Ahok kerap berseberangan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kali ini Ahok marah ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pangkal persoalannya, Ahok kecewa hasil audit terhadap Pemprov DKI hanya diberi opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), sama seperti tahun lalu. Tentunya ini status yang kurang menggembirakan dibandingkan status ideal Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Ahok rupanya mencium bau amis di BPK, ia geram sebab selama masa pemerintahan Fauzi Bowo, era sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta justru selalu mendapatkan hasil audit Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Padahal Ahok merasa telah banyak melakukan transparansi dalam pengelolaan anggaran dan layanan publik sehingga lebih baik.

"Saya minta standar BPK harus jelas juga dalam memeriksa. Kenapa zaman Pak Foke itu WTP dengan kasus aset yang sama, sekarang kami sedang perbaiki jadi WDP. Nggak apa-apa, saya mau disclaimer juga nggak apa-apa kok," lanjut Ahok di Balai Kota DKI, Jakarta, Selasa (7/7/2015).

Ahok menegaskan dirinya tidak peduli dengan opini apa yang diberikan BPK RI. Sebab, menurutnya, yang akan memutuskan Ahok tetap maju sebagai gubernur atau tidak nanti adalah warga DKI bukan BPK. "Yang penting duit pelayanan DKI tidak dicolong," ujarnya kesal.

Apalagi, menurut Ahok, banyak daerah yang mendapat predikat bagus yakni wajar tanpa pengeculian (WTP), tetapi kepala daerahnya masuk penjara. "Daerah yang dapat (opini) WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) itu semua apa? Ada kepala daerah dapat WTP, masuk penjara juga toh?" urai Ahok.

DAPAT WTP TERJERAT KPK - Dari penelurusan gresnews.com memang mendapatkan opini WTP dari BPK tak menjamin sebuah lembaga bersih dari praktik korupsi. Ada pula beberapa daerah, laporan keuangan pemerintahnya mendapat opini WTP, namun kepala daerahnya justru terjerat kasus korupsi di KPK.

Misalnya Riau adalah salah satu provinsi di Indonesia yang selalu mendapat opini WTP dari BPK selama 4 tahun berturut-turut. Tercatat, Pemprov Riau mendapat opini WTP sejak tahun 2012. Namun kepala daerah Riau justru paling sering berurusan dengan KPK. Tiga kali berturut-turut Gubernur Riau jadi tersangka kasus korupsi di KPK.

Saleh Djasit yang menjabat sebagai Gubernur Riau periode 1998-2003 menjadi Gubernur Riau pertama yang terjerat KPK. Dia terjerat kasus korupsi pembelian mobil pemadam kebakaran. Setelah itu ada Rusli Zainal yang menjabat sebagai Gubernur Riau selama dua periode, yakni 2003-2008 dan 2008-2013. Rusli juga jadi tersangka KPK di kasus korupsi pembangunan venue PON dan suap terhadap anggota DPRD.

Yang terakhir adalah Annas Maamun yang menjabat sebagai Gubernur Riau periode 2013-2018. Annas Maamun ditangkap saat menerima suap terkait pengurusan perizinan alih fungsi lahan hutan. Dia juga terjerat kasus korupsi pembahasan APBD Riau.

Daerah lainnya Palembang mendapatkan opini WTP dari BPK sebanyak lima kali. Terakhir, Pemkot Palembang mendapat WTP pada tahun 2014. Namun walikotanya, Romi Herton, harus berurusan dengan KPK atas kasus suap pengurusan sengketa Pilkada di MK. Bahkan, Romi Herton yang bersekongkol dengan istrinya itu kini sudah dijatuhi vonis atas kasus suap terhadap Akil Mochtar.

Satu lagi adalah kabupaten Bangkalan menjadi salah satu kabupaten yang rajin mendapat opini WTP dari BPK. Tercatat, setidaknya Pemkab Bangkalan mendapat 3 kali WTP.

Namun, sang kepala daerah justru melakukan korupsi yang cukup masif. Mantan Bupati Bangkalan, Fuad Amin kini harus berurusan dengan KPK. Fuad Amin tak hanya berurusan di KPK karena kasus suap. Bupati dua periode itu juga dijerat karena telah melakukan korupsi dan mencuci uang hasil kejahatannya.

Begitupun pemerintah Kota Tegal pada 2012 mendapat ganjaran opini WTP dari BPK karena laporan keuangannya dinilai memuaskan. Namun, Walikotanya saat itu, Ikmal Jaya malah harus berurusan dengan KPK.

Ikmal Jaya menjadi tersangka di KPK atas kasus korupsi tukar guling tanah aset pemerintah dengan milik swasta. Atas perbuatan Ikmal Jaya, negara dirugikan miliaran rupiah. Kini, Ikmal Jaya tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Semarang.

TERSINGGUNG OKNUM BPK - Ahok mengaku tersinggung saat dirinya merasa mendapat perlakuan sama kala menjadi Bupati Belitung Timur lalu. Di mana, kala itu Ahok diminta merinci uang makan pribadinya sampai pada harga satuan lauk pauk yang disantap.

Seolah sejarah berulang kembali, ia pun diminta melakukan hal yang sama. "Sekarang lebih gila lagi kasus yang terulang di Belitung Timur nih. Uang makan saya yang nggak pernah dikutak-katik BPK, sekarang diincar. Gubernur gaji berapa sih Rp 7 juta, uang makan rumah tangga Rp 50-60 juta. Sekarang diminta oleh BPK, bisik-bisik diminta (merinci) uang cabai berapa, sayur berapa," katanya.

Ia pun menyayangkan hal tersebut apa lagi hal itu hanya diterapkan pada dirinya. "Ini diulang dan sudah pernah diperlakukan sama saya waktu jadi bupati 2005-2006. Oknum BPK (minta rinci) uang makan saya sebesar Rp 3,5 juta, harga cabai berapa, sayur berapa, beras berapa. Gila, hina sekali!" lanjutnya geram.

Untuk itu dia pun meminta agar seluruh pejabat BPK dan lainnya saling transparan dalam hal keuangannya kepada publik. Ahok juga mempertanyakan apakah pernah BPK RI mengaudit semua keuangan para pejabat tinggi negara selama ini.

"Makanya saya mau tanya pejabat republik ini yang kaya raya dari mana bayar pajaknya, pernah nggak BPK periksa semua. Ini saya mau buka, terbuka semua. Kemarin saya nggak dikasih ngomong, sekarang saya sampaikan ini fakta," katanya.

Hal lain yang membuatnya berang adalah tidak diberi salinan laporan audit keuangan tahun 2014 oleh BPK RI. Dalam Rapat Paripurna DPRD yang digelar kemarin, Ahok menyebut BPK hanya menyerahkan satu bundel laporan kepada pimpinan dewan.

"Kalian lihat nggak keanehan kemarin, kamu lihat di video-video tahun lalu coba. BPK kasih 1 copy (salinan) nggak ke gubernur? Kemarin kasih nggak ke saya? Kasih ke saya nggak? Saya nggak dapat," kata Ahok.

Menurut Ahok, anggota V BPK RI Moermahadi Soerdja Djanegara kemarin hanya menyerahkan satu bundel hasil audit keuangan DKI tahun 2014 kepada Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi. Ahok keheranan bukan main.

"Kasih ke DPRD (saja), padahal diberi waktu 60 hari (untuk memberi tanggapan). Ini saja saya belum baca," lanjutnya.

Hal ini membuatnya bertanya-tanya. Sebab, tidak biasanya Gubernur tidak diberi salinan untuk dibaca dan dipelajari lebih lanjut. "Lalu sejak kapan gubernur nggak kasih kata sambutan (dalam Paripurna DPRD)? Ini ada apa? Mau ngajak ribut sama saya?" tanya dia heran.

JAWABAN BPK - BPK pun merespons tantangan Ahok itu. Pimpinan BPK menggelar sidang badan siang tadi. "Dalam Sidang Badan (Majelis tertinggi di BPK), saya sudah sampaikan kepada teman-teman tentang komentar keras yang menjurus kasar dari Pak Ahok. Kita tidak akan menanggapinya," kata anggota BPK Achsanul Qosasi, Selasa (7/7/2015).

Achsanul menyatakan BPK tak akan terpengaruh dengan tantangan Ahok. BPK malah meminta Ahok mengendalikan diri.

"Kita tetap harus saling menjaga peran dan fungsi masing-masing sebagai pejabat negara dan mohon Pak Ahok bisa mengendalikan diri jika ada hal-hal yang belum sesuai harapan Pak Ahok," pintanya.

Sebelumnya Ketua BPK Hary Azhar Azis menjawab sindiran Ahok soal hasil audit era Fauzi Bowo. "Karena memang ini laporan keuangan yang kita periksa data-data tentang pelaporan pelaksanaan keuangan," jelas Hary, Selasa (7/7/2015).

Hary menyampaikan, mungkin saja di era Foke pelaporan keuangannya lebih bagus sehingga BPK di era itu memberi WTP. "Mungkin saja Zaman Pak Foke lebih bagus. Mungkin ya, saya tidak tahu karena saat itu saya belum di BPK," tegas Hary.

Namun Harry tak menanggapi tantangan Ahok untuk buka-bukaan laporan harta kekayaan. "Itu masing-masing saja. Tanya ke masing-masing," jawab Hary.

Hary juga tak menjawab data LHKPN dirinya yang terakhir update pada 2010. "Tanya saja ke masing-masing. Sudah ya," tegas dia.

Memang, sesuai data LHKPN di KPK, ada beberapa anggota BPK yang tidak update data kekayaan mereka. Bahkan ada yang belum lapor. Yang paling update data LHKPN anggota BPK Agung Firman Sampurna pada 2013 dan anggota BPK Achsanul Qosasi pada 2014. (dtc)

BACA JUGA: