JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kebijakan tim transisi Jokowi-JK untuk membekukan PT Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) disambut baik oleh berbagai kalangan. Alasannya tak lain karena keberadaan anak perusahaan Pertamina yang khusus mengurus soal jual-beli minyak itu malah melahirkan mafia migas.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan Petral selama ini bermasalah karena tidak pernah transparan tentang transaksi minyak mentah dan minyak jadi. Mamit mengungkapkan kerugian yang diterima negara jika dalam transaksi ekspor impor antara Pertamina dengan Petral sebesar US$750 ribu per harinya.

Angka kerugian US$750 ribu muncul dari asumsi dalam setiap transaksinya Petral melakukan penggelembungan harga (mark up) sebesar US$1. "Jadi dengan mark up US$1 saja segitu (total mencapai US$750 ribu-red). Saya tidak kebayang berapa kerugian negara," kata Mamit kepada Gresnews.com, Jakarta, Selasa (23/9).

Mamit juga mengungkapkan ada dua hal yang menyebabkan munculnya mafia migas. Pertama, tentang pembelian impor minyak mentah maupun impor minyak jadi. Menurutnya hal itu menjadi satu peluang bisnis yang memiliki jumlah angka yang besar.

Kedua, ketika pemerintah menjual haknya atas sumber daya alam (SDA) kepada pihak luar. Hal itu terjadi karena kemampuan anak bangsa tidak mampu mengolah SDA. "Ketika dalam proses menjual tersebut mafia migas muncul dalam hal permainan harga," ujar Mamit.

Dia mengatakan, dalam mekanisme pelaksanaannya permainan mafia ini sangatlah rapi. Misalnya dalam skala kecil dalam proses transaksi mengirimkan minyak, dalam pengiriman tersebut terdapat kerjasama antara mafia migas dengan aparat keamanan, nakhoda kapal dan anak buah kapal.

Mamit menambahkan meski tidak berperan secara langsung, kalangan pejabat negara juga ada yang bermain dalam hal itu. Oleh karena itu penegak hukum sangat sulit untuk membuktikan pejabat negara yang ikut ambil peran dengan mafia migas. "Jadi agak susah juga menilai pemerintah ikut terlibat. Rakyat pasti pejabat pemerintah yang ikut terlibat dengan mafia migas," kata Mamit.

Sementara itu, mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) atau sekarang disebut SKK Migas Raden Priyono menyatakan praktek mafia minyak di Indonesia sebenarnya juga melibatkan PT Pertamina (Persero).

Menurut Priyono praktek mafia minyak yang melibatkan Pertamina karena Pertamina lebih memilih minyak dari luar negeri ketimbang dari hasil yang diproduksi oleh Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS). Dia menceritakan pada saat dirinya menjabat sebagai Kepala BP Migas, pihaknya memilih untuk ekspor akan tetapi Pertamina tidak mau terima dari KKKS dengan alasan ingin minyak impor.

Dia menilai praktek mafia selalu berada dibalik importasi minyak. Bahkan gejala mafia minyak sudah terjadi di era Soeharto. Namun importasi minyak mengalami peningkatan pada saat Hatta Rajasa menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Bahkan Priyono menduga keterlibatan Pertamina dalam mafia impor minyak karena ada keterkaitan dengan keberadaan perusahaan PT Pertamina Energy Trading (Petral). Menurutnya hanya Pertamina yang memegang penuh kendali atas Petral. "Itu harus diperbaiki. Laten sekali. Orangnya (mafia minyak) itu saja," kata Priyono.

BACA JUGA: