JAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota Komisi III DPR RI Almuzammil Yusuf menyatakan keprihatinannya atas terjadinya konflik antara prajurit TNI Batalyon Yonif 134 dengan pasukan Brigade Mobil (Brimob) Polri di Batam, Kepulauan Riau. Kasus ini menurutnya menambah panjang daftar hitam konflik antara TNI dan Polri.
 
"Saya sangat prihatin, sejak 2005 hingga saat ini telah terjadi lebih dari 30 kali bentrok TNI-Polri yang menewaskan puluhan orang dari kedua pihak. Peristiwa ini membuat kekhawatiran di masyarakat meningkat karena kedua aparat negara ini memiliki otoritas untuk menggunakan senjata api modern yang mematikan," katanya seperti dikutip situs dpr.go.id, JUmat (21/11).

Menurutnya konflik oknum dari TNI dan Polri dapat mengancam keamanan dan pertahanan negara. Padahal mereka seharusnya merupakan penjaga garda terdepan. Politisi FPKS ini menilai perlu kebijakan integral agar kejadian serupa tidak meluas dan terulang kembali.
 
"Sejak kasus konflik oknum TNI dan oknum Polri di OKU, Sumatera Selatan tahun 2013 terjadi, saya belum melihat langkah kongkret untuk membuat resolusi konflik yang nyata dan permanen," ungkapnya.
 
Dalam pandangannya konflik yang selama ini terjadi antara TNI dan Polri bukan semata-mata persoalan hukum saja, tapi perlu dilihat secara menyeluruh. "Perlu melihat aspek kesejahteraan prajurit dan koordinasi kerja yang dibangun dikedua aparat ini. Untuk itu, evaluasi di masing-masing pihak penting dilakukan," tegasnya.
 
Komisi I dan Komisi III DPR RI lanjutnya perlu segera mengundang Panglima TNI dan Kapolri untuk berdialog menyelesaikan kasus ini sampai tuntas. "Selain itu, Komisi I dan III perlu membentuk Pansus konflik TNI-Polri untuk mengkaji dan mencari solusi permanen agar konflik tidak terulang," lanjut dia.
 
Tidak kalah penting, terang Muzzammil, penegakkan hukum dan pemberian sanksi harus berjalan adil dan terbuka kepada para pelaku dari kedua belah pihak sehingga kepastian hukum dapat tercapai. "Kita berharap ada terobosan baru dari pemerintahan baru," tutupnya.

Sebelumnya, Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane mengatakan, bentrokan TNI-Polri yang terjadi kedua kali dalam tiga bulan terakhir di Batam menunjukkan makin buruknya hubungan psikologis antara kedua institusi aparatur keamanan tersebut.

IPW, kata Neta, menilai ada tiga penyebab utama dalam kasus bentrokan TNI-Polri di Batam. Pertama, tidak terkendalinya aksi backing membacking, baik dalam bisnis legal maupun ilegal, yang dilakukan oknum-oknum kedua institusi.  Kedua, masih membaranya dendam kesumat antar oknum kedua institusi pasca bentrokan 21 Sep 2014, yang menyebabkan empat anggota Batalion 134 Tuah Sakti tertembak.

Ketiga, penggunaan seragam loreng militer pada anggota Brimob, yang dinilai sebagai wujud arogansi Polri. Penggunaan seragam loreng pada Brimob telah membuat lapisan bawah TNI tersinggung hingga gampang terpicu emosinya jika berhadapan dengan anggota Brimob.

IPW mendesak pemerintah harus segera memerintahkan Kapolri Sutarman agar mencabut penggunaan seragam loreng pada Brimob. "Jika hal ini tidak dilakukan bentrokan TNI-Brimob dikhawatirkan akan meluas ke daerah lain, ujar Neta.

Dengan terjadinya bentrokan di Batam, pemerintah perlu segera mencopot Kapolda Kepri dan Danrem setempat serta mengevaluasi dan mencopot kepemimpinan TNI-Polri. "Bagaimana pun bentrokan ini tak terlepas dari kelenggahan elit-elit TNI-Polri dalam mencermati dinamika di Batam pasca bentrokan 21 September 2014 lalu," katanya.

Bentrokan kedua yang terjadi di Batam, kata Neta, tidak hanya menakutkan masyarakat, tapi juga akan membuat investor asing takut masuk ke Indonesia. Padahal sebelumnya dalam forum APEC dan G-20, Presiden Jokowi mengundang para investor agar masuk ke Indonesia.

"Bagaimana mereka mau masuk jika tidak ada jaminan keamanan di Indonesia, mengingat antar aparat keamanan saja saling tembak dan terus menerus bentrok," ujar Neta.

BACA JUGA: