JAKARTA, GRESNEWS.COM - Direktur Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia‎ (Sigma) Said Salahudin menilai, langkah Menkumham Yasonna Laoly yang bersikap netral terhadap dualisme Golkar tidak tepat. Pasalnya, sikap menkumham yang tidak mau mengesahkan kepengurusan Partai Golkar dengan alasan masih terdapat perselisihan kepengurusan dinilai politis.

 "Ini cuma ada dua kemungkinannya, Kemenkumham tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti undang-undang," ujarnya kepada Gresnews.com, Selasa (16/12).

Said meragukan Kemenkumham tidak mengerti aturan didalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik (UU Parpol). Di Kementerian itu ada banyak sekali ahli hukum. "Jadi kemungkinannya menkumham hanya pura-pura tidak mengerti saja atas perselisihan kepengurusan yang terjadi di Partai Golkar," tandasnya.

Lebih lanjut, Said menjelaskan bahwa dalam Pasal 24 UU Parpol telah jelas mengatur bahwa penundaan pengesahan kepengurusan parpol oleh menteri hanya dapat dilakukan apabila dikaitkan dengan Pasal 25. Pasal itu menyebutkan perselisihan kepengurusan dimaksud haruslah perselisihan kepengurusan yang memenuhi empat indikator secara kumulatif.

Pertama, terkait dengan bentuk perselisihannya. Wujudnya adalah berupa adanya penolakan untuk mengganti kepengurusan. Kedua, terkait dengan locus dan tempusnya. "Penolakan pergantian kepengurusan harus disampaikan secara resmi didalam penyelenggaraan forum pengambilan keputusan tertinggi partai politik, seperti Munas, Kongres atau Muktamar," jelas Said.

Kemudian indikator ketiga, terkait subjeknya. Penolakan pergantian kepengurusan haruslah anggota parpol yang menjadi peserta Munas, Kongres, atau Muktamar. Keempat, terkait dengan persyaratan jumlah peserta yang menolak. Penolakan pergantian kepengurusan harus datang dari minimal dua per tiga peserta Munas, Kongres, atau Muktamar.

"Empat indikator itulah yang memiliki korelasi dengan ketentuan Pasal 24 UU Parpol yang menentukan menkumham belum dapat mengesahkan perubahan kepengurusan parpol apabila parpol bersangkutan sedang menghadapi perselisihan kepengurusan," katanya.

Menurut Said, atas penolakan menkumham mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Bali dengan alasan yang mengada-ada, dia mulai semakin yakin menkumham punya motif politik untuk sengaja menggantung pengesahan kepengurusan Partai Golkar. "Boleh jadi targetnya adalah memperlemah kekuatan politik Fraksi Partai Golkar di DPR," ujar dia.

Pasalnya, jika Fraksi Partai Golkar di DPR terbelah, dimana akan ada anggota yang pro kepada ARB dan yang pro kepada Agung Laksono, maka hal itu akan berdampak pada melemahnya Fraksi Partai Golkar yang selama ini mengambil posisi sebagai penyeimbang pemerintah.
Kuatnya Fraksi Golkar di DPR adalah kuatnya KMP. "Sepertinya itulah yang tidak disukai oleh menkumham yang merupakan salah satu tokoh KIH," ungkap Said.

Berbeda dengan Said, Direktur Eksekutif Political Comunication (PolcoMM) Institute‎ Heri Budianto menilai, langkah menkumham sudah tepat karena Golkar harus dewasa.‎ Menkumham belajar dari konflik PPP yang keputusannya kemudian dikritik banyak pihak dan kemudian berbeda dengan keputusan pengadilan. "Ini keputusan yang netral dan menunjukkan menkumham peka terhadap persoalan Golkar," katanya kepada Gresnews.com, Selasa (16/12).

Heri mengatakan, jika menkumham menggunakan pendekatan seperti itu maka pemerintah akan diuntungkan dengan tidak dianggap masuk dalam ranah kubu-kubu politik internal partai maupun kubu-kubu yakni koalisi dan oposisi. Bila dilihat secara politik, langkah ini sebenarnya menguntungkan kubu Musyawarah Nasional (Munas) Ancol. "Dengan demikian besar kemungkinan Munas Bali terpaksa akan mengakomodir Munas Ancol," ujar dia.

Dia menjelaskan, secara mekanisme partai politik Munas Bali dihadiri seluruh DPD I dan DPD II. Itu secara politik menunjukkan kekuatan kubu Bali. Namun dengan adanya Munas Ancol dan ditindaklanjuti dengan keputusan Menkumham, maka keberadaan Golkar Munas Ancol secara politik menjadi kuat.‎

"Kuat yang saya maksudnya, DPP Golkar Munas Ancol diuntungkan secara politik dan ini bisa saja memaksa DPP Munas Bali mengakomodir dengan jalan rekonsiliasi," jelas Heri.

Heri melanjutkan, hal ini‎ bisa dilihat dari ketika muncul DPR Tandingan dan akhirnya Koalisi Merah Putih (KMP) luluh dan bersama-sama Koalisi Indonesia Hebat (KIH) bersepakat islah.‎ "Nampaknya dualisme Golkar juga tak akan jauh dari realitas tandingan parlemen tersebut, walau beda substansi," tandasnya.

BACA JUGA: