GRESNEWS.COM - Public Interest Lawyer Network (PILNET) menolak RUU Pemberantasan Perusakan Hutan yang akan disahkan DPR karena nyata-nyata berpotensi mengkriminalisasi masyarakat lokal sekitar hutan dan justru memberikan hukuman ringan atas perusakan yang dilakukan korporasi besar.

Komisi IV DPR RI saat ini bersama Kementerian Kehutanan membahas RUU Tentang Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H), dan ditargetkan akan disahkan menjadi Undang-Undang melalui Rapat Paripurna DPR pada April 2013.

Koordinator PILNET Wahyu Wagiman di Jakarta, Minggu (31/3), mengatakan DPR RI dan Pemerintah seharusnya melihat kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-VIII/2010, yang membatalkan Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa masalah pendudukan tanah tanpa izin pemilik sangat beragam sehingga penyelesaiannya harus menurut pertimbangan-pertimbangan keadaan berbeda, yang sangat mungkin disebabkan tiadanya batas jelas antara wilayah hak ulayat dan hak individual berdasarkan hukum adat dengan hak-hak baru yang diberi Negara berdasarkan perundang-undangan. Sehingga sanksi Pidana tidak tepat jika hal tersebut dikenakan terhadap orang yang menduduki tanah berdasarkan hukum adat karena timbulnya hak-hak adat adalah atas dasar ipso facto.

"RUU Pemberantasan Perusakan Hutan, awalnya bertujuan mencegah dan memberantas perusakan hutan secara efektif dan memberikan penghukuman yang menjerakan, karena perusakan hutan dianggap sebagai kejahatan luar biasa, terorganisir, serta dengan cara-cara yang canggih. Namun jika ditelisik lebih jauh, RUU ini justru akan kriminalkan masyarakat lokal sekitar hutan, yang sehari-hari justru hidup dari hasil hutan," ujarnya.

Jika RUU Pemberantasan Perusakan Hutan ini disahkan, akan terjadi kriminalisasi akibat timblnya ketidakpastian hukum yang berasal dari Pasal-Pasal dalam RUU tersebut. Dalam RUU tersebut banyak tercantum pasal “karet” yang ciptakan ketidakpastian hukum, serta cenderung berpotensi disalahgunakan aparat keamanan dalam “menertibkan” masyarakat lokal sekitar hutan. Atau dengan kata lain, Pasal-pasal tersebut akan menghukum perbuatan pidana yang harusnya tidak perlu dipidana. Hal ini bisa dilihat dari sedikitnya 5 (lima) pasal dalam RUU P2H yaiatu pada Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 25 RUU Pemberantasan Perusakan Hutan.

Di sisi lain, sebagaimana Pasal 83 RUU Pemberantasan Perusakan Hutan, Negera sebetulnya memahami adanya masyarakat yang bertempat tinggal di dalam kawasan hutan, namun ternyata tetap diberikan sanksi jika mereka memanfaatkan hasil hutan. Padahal seharusnya, ketika terdapat masyarakat lokal yang mengelola, maka masyarakat tersebut tidak dapat dipidan. Bahkan, jika mengacu Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45 tahun 2012 yang secara implisit menyatakan bahwa pengurusan dan penentuan kawasan hutan yang selama ini otoriter, karena tidak mempertimbangkan keberadaan dan eksistensi masyarakat, RUU ini justru mengabaikan sama sekali putusan MK tersebut, dan mengembalikan keotoriteran pengurusan hutan.

Dalam RUU ini tidak terlihat rasionalisasi tentang jenis (strafsoort) dan berat ringannya pidana (strafmaat) yang menjadi ancaman. Karena hampir semua tindak pidana, diancam dengan pidana sama berat. Misal ancaman pidana tentang mengintimidasi, menghalangi penyidikan, merusak batas pal hutan dst, diancam dengan pidana yang sama dengan tindak pidana utama dalam RUU ini, yakni kejahatan terorganisir yang hanya bisa dilakukan pengusaha atau perusahaan besar.

Hal yang perlu diperhatikan adalah ancaman pidana dalam pasal ini bersifat kumulasi, artinya jika terbukti, maka hakim harus menjatuhkan pidana penjara dan denda sekaligus. Masalahnya adalah batasan ancaman pidana denda minimal yang mencapai Rp4 miliar rupiah, yang menurut PILNET akan menimbulkan persoalan di dalam praktiknya. Jika pelaku adalah pengusaha/korporasi, ancaman pidana tersebut impas dengan perbuatannya yang menimbulkan kerusakan hutan, dan kekayaan yang sudah diperolehnya dari perbuatan perusakan hutan tersebut. Tapi jika pelaku adalah sopir pengangkut, maka sanksi demikian tidak mungkin dapat dieksekusi. Jika demikian, maka tujuan pemidanaan tidak akan tercapai. (DED/GN-02)

BACA JUGA: