JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) di 269 daerah di Indonesia akan memasuki masa-masa krusial. Tanggal 26 hingga 28 Juli mendatang merupakan tahap pertama yang harus dilalui calon kepala daerah yang hendak berkontestasi secara serentak pada 9 Desember 2015.

Namun di tengah hiruk pikuk politik yang mulai menghangat ini, ada kekhawatiran soal nasib pemimpin muda ke depan. Mereka yang diharapkan menjadi motor perubahan di daerahnya, justru terancam tak memiliki kesempatan bertarung dalam pilkada serentak mendatang.

Wakil Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Fachrul Razi mengatakan sistem yang dibangun dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada memang memberikan kebijakan afirmasi terhadap kalangan pemuda untuk memimpin daerah. Memang dalam beleid tersebut ada aturan yang mendukung kaum muda untuk tampil. Yakni aturan mengenai batas persyaratan usia bagi calon Gubernur hanya 30 tahun dan sedangkan bupati/walikota 25 tahun.

Namun, bagi Fachrul, pada UU Pilkada juga muncul pasal lain yang berpotensi kuat mengganjal tampilnya para pemimpin muda dari partai politik untuk memimpin daerah. Senator dari Provinsi Aceh ini mencontohkan bagaimana nanti para calon kepada daerah akan diuji publik oleh partai politik pengusungnya.  

Baginya mekanisme ini hanya menjadi alat bagi kaum tua di parpol untuk memperkuat cengkraman hegemoninya. Kaum muda tidak siap dengan uji publik yang diselenggarakan bukan oleh penyelenggara pemilu. Itu bisa jadi boomerang. Kalau pemuda ditanya soal track record selama di dunia politik sudah tentu kalah dari para senior yang mantan pejabat, mantan bupati atau mantan gubernur. "Ini akan membuat tokoh muda tersingkir," ujarnya.

Selain masalah uji  publik, Fachrul menilai aturan yang ada juga mempersempit kesempatan calon pemimpin muda untuk ikut dalam kontestasi di pilkada lewat jalur independen. Bila dalam undang-undang sebelumnya persyaratan calon dukungan perseorangan dari 3,5 persen dari jumlah penduduk, maka dalam pilkada mendatang calon independen harus memenuhi syarat 6,5 sampai 10 persen dari jumlah penduduk. "Ini persyaratan yang luar biasa berat bagi kaum muda," ujar Ketua Pokja Pilkada serentak DPD ini.

KETERBATASAN SUMBERDAYA - Menurut Fachrul, tantangan terakhir bagi politisi muda untuk turun gelanggang adalah persoalan terbatasnya sumber daya yang dimiliki. Bagi Fachrul, terjun ke dunia politik memang membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit untuk melakukan kerja-kerja politik. Apalagi bila ingin menjadi kepada daerah. Ini akan menghambat politisi muda yang bukan berasal dari latar belakang keluarga elite partai, pengusaha, atau anak pejabat.

"Di pilkada calon tidak hanya membiayai partai tapi juga operasional tim pemenangan. Banyak politisi muda yang berasal dari aktivis tersingkir karena tidak memiliki modal tersebut," ujarnya kepada gresnews.com.

Menurut Fachrul, masih ada sedikit celah kesempatan agar politisi muda dapat ikut serta dalam pertarungan di pilkada adalah menjadi orang dua atau menjadi wakil kepala daerah. Namun ia pesimistis kaum muda dapat membuat perubahan berarti dalam posisi tersebut. "Namanya wakil itu, seperti ban serep," pungkasnya.

Direktur Riset Polmark Indonesia Eko Bambang Subiantoro setuju bila tantangan bagi politisi muda untuk ikut serta dalam pilkada serentak Desember mendatang menjadi lebih besar. Problem terbesar bagi kaum muda adalah pilkada serentak memaksa parpol hanya memikirkan kemenangan ketimbang mendahulukan kesempatan bagi politisi muda.

Menurut Eko, dalam alam pikiran partai saat ini, pilkada serentak hanya merupakan target antara sebelum target besar mereka ikut pemilihan legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres) tahun 2019 mendatang.

Pemikiran parpol yang jauh melompat ke depan ini disebabkan pelaksaana pileg dan pilres yang akan dilakukan berbarengan, telah memaksa parpol untuk sesegera mungkin memperkuat kedudukan dan posisi mereka di daerah-daerah. Harapannya dengan memperkuat kedudukan di daerah parpol akan semakin mudah bersaing dalam pileg dan pilpres mendatang.

"Konteks pilkada kali ini merupakan titik tonggak untuk menguatkan kedudukan mereka di dalam struktrur sejumlah daerah. Artinya semakin partai politik bisa mendudukan orang dalam posisi-posisi tertentu dia akan mempunyai peluang yang semakin besar dalam pemilu 2019," ujarnya kepada gresnews.com.

Eko juga menyoroti soal kemampuan partai politik dalam membagi konsentrasi dalam mendukung para kandidatnya yang bertarung di pelbagai daerah secara serempak. Karena konsentrasi kemenangan politik bagi parpol lebih utuh dan terfokus kalau pilkada terpisah-pisah. Ketimbang konsentrasi kerja politik yang dilakukuan serempak.

MINIM BANTUAN PARPOL - Menurut Eko, sulit membayangkan anak muda bisa tampil seperti pada pilkada sebelum serentak karena minimalisnya bantuan parpol untuk memperoleh kemenangan. Konsentrasi parpol tidak akan fokus pada satu tokoh atau calon saja. Parpol akan berperan seperti di pileg yaitu hanya menjadi simbol saja.  Kerja-kerja kemenangan akan tergantung pada masing-masing individu calon. "Sehingga bagi anak muda dengan sumber daya yang terbatas.  Meskipun kapasitasnya mumpuni,  ini akan menjadi kendala dalam kerja pemenangan politknya," ujarnya.

Eko mencontohkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang mampu mengusung kader-kader muda meskipun tingkat popularitasnya masih rendah. Contohnya seperti Ganjar Pranowo pada waktu pilkada di Jawa Tengah. Tapi apakah pola seperti itu bisa diulang lagi keberhasilannya pada Pilkada serentak, Eko meragukannya.

"Jawa Tengah dahulu bisa full konsentrasi dan kekuataanya kepada satu calon kandidat, tapi kalau ada beberapa calon apakah bisa konsentrasi dan kekuatan parpol full seperti itu lagi?" tanyanya.

Menanggapi pernyataan yang bernada pesimistis tersebut, politisi muda Partai Demokrat Jackson Kumaat tidak mau menyerah begitu saja. Jackson mengakui bila kondisi struktrural partai politik memang tidak menguntungkan bagi dia dan kawan-kawannya di dalam partai politik.

"Sampai saat ini potensi pemuda di dalam parpol besar, namun masih jarang ada partai politik yang mau menampilkan pemuda secara masih dalam berkiprah di dunia politik," ujarnya.

Jackson mengakui bila senioritas dan sistem urut kacang yang ada di dalam partai menjadi salah satu hambatan bagi kaum muda untuk bisa berkembang di parpol. Mantan Ketua Umum Partai Karya Perjuangan ini mencontohkan pengalaman pribadinya yang hanya mampu menduduki posisi kedua pada pemilihan legislatif 2014 lalu karena harus bersaing dengan politisi senior EE Mangindaan yang sudah berumur 73 tahun.

BANYAK PENOLAKAN - Jackson juga membebarkan pengalamannya ketika maju sebagai walikota Manado tahun 2010 lalu dimana dia mendapatkan tantangan dan penolakan dari berbagai pihak. "Saya banyak ditentang saat maju  Walikota Manado, banyak yang belum bisa terima karena usia yang masih muda," ujar mantan aktivis Forkot ini.

Jackson juga menyadari bila berkarir di dunia politik itu tidak bisa dilakukan dengan instan untuk bisa menduduki jabatan-jabat politik. Baginya, pemuda yang ingin berkarir di dunia politik memang harus bergumul dengan kehidupan parpol sambil mengintip kesempatan yang ada untuk bisa terus berkembang.

"Berkarir di politik harus mengikuti mekanisme di parpol tersebut. Kerja-kerja politik di daerah pun tidak bisa dengan instan, harus matang. Apalagi politisi muda lebih sulit dalam memenuhi kebutuhan sumber daya sebagai modal untuk melakukan kerja-kerja politik. Kalau mau maju pilkada memang tidak gampang meningkatkan popularitas dalam waktu satu tahun, bila modal elektabilitasnya hanya nol koma," ujarnya kepada gresnews.com.

Bagi Jackson, apapun hambatan yang harus dihadapi tidak akan menjadi kendala dalam menjalani karir sebagai politisi muda. Terbukti dia tidak kapok untuk terus mengikuti ajang konstestasi-kontestasi politik yang akan datang. "Saya akan maju lagi dalam pilkada serentak mendatang sebagai calon Wakil Gubernur Sulawesi Utara," pungkasnya. (Lukman Al Haries)

BACA JUGA: