JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kendati hakim sidang praperadilan telah membatalkan status Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus KTP Elektronik namun desakan agar ketua umum Partai Golkar itu mundur tak kendur. Terlebih lembaga survai sudah memberikan lampu kuning pada partai berlambang pohon beringin tersebut.

Ketua Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) Ahmad Doli Kurnia menyoroti elektabilitas Golkar yang terus menukik karena kasus yang membelit Setya Novanto. GMPG meminta Golkar segera menggelar rapat pleno untuk mencopot Novanto sebagai ketua umum.

"Kalau DPP serius untuk bangkit meningkatkan elektabilitas partai, mereka harus gunakan kewenangan mereka yang dijamin AD/ART, yaitu melaksanakan rapat pleno yang agendanya satu, segera ganti Setya Novanto," ujar Doli, Sabtu (30/9).

Doli menerangkan tren elektabilitas Golkar yang terus menurun. Ia menyebut Novanto memberi kontribusi besar atas hal tersebut.

"DPP (Golkar) melakukan pertemuan dengan tiga lembaga survei yang kesimpulannya elektabilitas (Golkar) merosot tajam dan penyebab terbesarnya Setya Novanto, 49-56 persen," ucap Doli.

Kondisi kesehatan Novanto juga menjadi catatan Doli dan kawan-kawan. Dengan kondisi kesehatannya, Novanto dinilai tidak bisa menjalankan roda organisasi.

"Saya kira ada dua hal yang bisa dilakukan saat ini, minum obat sebanyak mungkin, kemudian berdoa. Itu saja. Jangankan ngurus Golkar, ngurusin dirinya saja nggak bisa," cetus Doli.

Center for Strategic and Internasionall Studies (CSIS) melakukan survei tingkat elektabilitas partai-partai politik. PDIP masih bertahan di posisi teratas, namun Partai Golkar merosot cukup signifikan.

Survei CSIS untuk tahun 2017 dilakukan pada tanggal 23-30 Agustus dengan 1.000 responden secara acak (probability sampling) dari 34 provinsi di Indonesia. Responden adalah masyarakat Indonesia yang sudah memiliki hak pilih. Margin of error dari survei ini sebesar 3,1 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.

Dalam rilis Selasa (12/9/2017), elektabilitas PDIP tetap paling tinggi di angka 35,1%. Elektabiltas PDIP mengalami kenaikan setiap tahunnya dari tahun 2015 meski tidak terlalu besar.

Sementara itu, elektabilitas Golkar disalip oleh Gerindra jika dibandingkan dengan perolehan Pemilu 2014. Di Pileg 2014 lalu, Golkar berada di posisi kedua, sementara Gerindra di posisi ketiga.

Namun berdasarkan elektabilitas ini, Gerindra berada di posisi kedua (14,2 %) dan Golkar di posisi ketiga (10,9%). Elektabilitas Golkar menurun cukup tajam dari tahun sebelumnya. Sementara itu Gerindra terkesan stagnan.

Ketua Harian Golkar Nurdin Halid khawatir elektabilitas partainya terus turun. Dia menyatakan elektabilitas partainya sudah lampu kuning.

"Elektabilitas PG (Partai Golkar, red) yang sekarang ini saya nyatakan lampu kuning," kata Nurdin di arena Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Golkar di Hotel Peninsula, Slipi, Jakarta Barat, Jumat (29/9).

Nurdin menjabarkan alasannya menyebut elektabilitas Golkar sudah lampu kuning. Elektabilitas Golkar makin lama kian turun, bahkan mendekati angka 10 persen. Hasil Pemilu 2014 yang menunjukkan perolehan suara Golkar sebesar 14 persen juga merupakan indikasi penurunan elektabilitas ´partai beringin´.

"Tahun 2012, survei PG ketika itu 2 digit di atas 20 persen. Dan kemudian hasil akhir 2 tahun kemudian dilakukan pemilu, hasilnya dapat 14 persen, turun kan. Nah, sekarang juga masih 2 digit, tapi lampu kuning, 10, 11, 12 (persen) katakanlah begitu. Ini 2 digit, tapi 2 digit yang di ambang yang sangat mengkhawatirkan," ulas bakal calon Gubernur Sulawesi Selatan ini.

Nurdin mengatakan seluruh elemen di Golkar harus mencari terobosan untuk memulihkan elektabilitas partai. Jika tidak ada terobosan, elektabilitas Golkar ditakutkan terjun bebas pada Pemilu 2019.

REKOMENDASI PLENO DPP GOLKAR- Setelah merekomendasikan agar Setya Novanto menunjuk Plt ketum, Partai Golkar kini kembali membicarakan soal musyawarah nasional luar biasa (munaslub). Untuk menaikan elektabilitas partai yang terus turun, ada anggapan partai memerlukan penggantian ketum.

Rekomendasi agar Novanto menunjuk Plt Ketum merupakan keputusan rapat pleno DPP Golkar pada Senin (25/9). Alasannya adalah agar Novanto fokus menyelesaikan kasus hukumnya terkait perkara korupsi e-KTP dan juga karena Ketua DPR itu sudah berminggu-minggu sakit.

"Sehingga kita merekomendasikan bahwa dengan dua alasan ini, agar ketua umum bisa jadi seorang negarawan untuk mengundurkan diri, dinonaktifkan kemudian," ujar Korbid Polhukam Golkar, Yorrys Raweyai dalam perbincangan di Restoran Puang Oca, Senayan, Jakarta, Rabu (27/9).

"Kita sudah melakukan komunikasi dari waktu ke waktu kemudian kita akan formalkan tetapi kurang elok kalau misalnya kita sampaikan karena ini merupakan strategi, tapi kita akan segera sampaikan itu apalagi kita menuju rakernas dan HUT Golkar ke-53," ucap Yorrys.

Soal munaslub diakuinya sudah menjadi pembahasan di internal Golkar. Namun semua masih dipertimbangkan dan masih terus dievaluasi untung dan ruginya.

"Ada pemikiran begini, kalau kita munaslub dasar-dasarnya apa kemudian untungnya apa kemudian kalau munas apa untung ruginya. Memang mekanisme yang diatur eksplisit itu kalau nggak munas ya munaslub," kata dia.

"Kalau munas lima tahunan, kalau munaslub ada dasarnya, meninggal atau mengundurkan diri. Ini sesuatu yang belum pernah terjadi," sambung Yorrys.

Golkar tengah berusaha bangkit dari keterpurukan menyusul elektabilitasnya yang turun. Salah satu yang menjadi penyebabnya adalah kasus korupsi e-KTP yang turut menjerat sejumlah kader Golkar, termasuk sang ketum, Setya Novanto.

"Untuk mengatasi semua persoalan ini dalam rangka elektabilitas, salah satu langkah strategis itu apa. e-KTP sudah jadi konsumsi publik, baik luar atau di dalam. Caranya gimana untuk bisa menyetop," sebutnya.

"Caranya gimana. Ya menggantikan. Kalau sudah digantikan orang baru, maka ini akan hilang. Saya melihat mayoritas sudah menyadari begini, untuk mengatasi persoalan ini dalam rangka menaikkan elektabilitas langkah-langkah strategis apa yang sekarang menjadi isu di mana-mana e-KTP," tambah Yorrys.

Pergantian ketum ini menurutnya menjadi pembicaraan hangat di internal Golkar. Para kader partai beringin itu tampaknya sudah mulai khawatir karena elektabilitas Golkar yang kian tergerus, apalagi pilkada serentak dan Pemilu sudah di depan mata.

"Dari waktu ke waktu setiap bertemu pengurus Golkar tidak ada pertanyaan lain, caranya bagaimana ya menggantikan. Kalau kita cari penganti baru selesai persoalan itu, ini kan soal cara ada yang memandang ini tidak etis," urai dia.

Yorrys meyakini pada dasarnya semua kader ingin menjaga Golkar. Bahkan DPP menurutnya juga sudah berkomunikasi dengan pimpinan-pimpinan Golkar di daerah-daerah.

"Apapun opsinya? Harus diganti, kalau mau memberhentikan kasus e-KTP tidak ada kata lain selain mengganti, kalau cara lain mana bisa. Tikus jangan rumahnya dibakar, tapi bagaimana kita bersama-sama menjaga rumah ini, kemudian kita perbaharui dia, kita renovasi," papar Yorrys.

Soal Munaslub juga dibicarakan oleh Ketua Harian Golkar, Nurdin Halid. Pada rapimnas sebelumnya, Golkar memutuskan tidak akan menggelar munas atau munaslub. Namun menurut Nurdin, itu tergantung dinamika ke depan di Golkar.

"Tergantung kepada dinamika organisasi. Munas itu juga bisa tidak ada rapimnas. Kalau memang tidak menghendaki rapimnas. Kalau menghendaki di luar rapimnas, ya rapimnas juga diadakan. Itu tergantung dinamika organisasi. Sampai hari ini tidak ada (keputusan munas/munaslub), tetap pada hasil Rapimnas di Kalimantan timur," beber Nurdin di lokasi yang sama.

Nurdin kemudian bicara soal aturan Munaslub. Menurut AD/ART Golkar, ada 2 pihak yang bisa meminta munaslub, yakni DPP dan DPD. Untuk DPP, itu harus disetujui oleh minimal 2/3 DPD I. Forumnya bisa melalui rapat konsultasi nasional atau rapimnas baru menuju munaslub.

"Kedua, adalah DPD I. 2/3 DPD I juga bisa munaslub. Apabila DPP tidak setuju, DPD I bisa menggelar Munaslub. Itu di AD/ART," terang Nurdin.  (dtc)

BACA JUGA: