JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kodifikasi sejumlah undang-undang terkait pemilu masih perlu dilakukan. Sebab selama ini terdapat ketidaksinkronan antara satu undang-undang pemilu dengan undang-undang pemilu lainnya. Padahal, dalam kompetisi pemilu sangat diperlukan sebuah aturan hukum pemilu yang adil dan memiliki kepastian hukum. Untuk itu, perlu dikodifikasi agar ada standar yang sama diantaranya semua undang-undang pemilu .

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ramlan Surbakti mengatakan undang-undang yang terkait pemilu perlu disatukan atau dikodifikasi. Sebab pemilu merupakan persaingan yang tajam untuk memperebutkan suatu jabatan. Sementara jumlah jabatan lebih sedikit daripada jumlah calon yang ingin menduduki jabatan tersebut.

"Sehingga perlu ada aturan yang menjamin pemilu bebas, adil, dan ada kepastian hukum," ujar Ramlan dalam diskusi Rancangan Kitab Undang-Undang Pemilu di Bakoel Koffie, Jakarta, Jumat (29/5).

Untuk diketahui undang-undang yang perlu dikodifikasi diantaranya Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden (UU Pilpres), UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif (UU Pileg), dan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.

Terkait kepastian hukum, menurutnya antara satu undang-undang dengan yang lainnya terkait pemilu tidak memiliki kesamaan standar. Ia mencontohkan sejumlah hal dalam sejumlah undang-undang pemilu yang belum memiliki standar yang sama.

Pertama, belum adanya standar yang sama soal tahapan pemilu. Dalam UU Pilpres terdapat delapan tahapan. Sementara dalam UU Pileg terdapat 11 tahapan. Lalu dalam UU Pilkada terdapat 10 tahapan ditambah dengan delapan tahapan persiapan. Perbedaan jumlah tahapan ini ternyata juga tidak terlepas dari perbedaan definisi tahapan pemilu dalam UU tersebut.

Kedua, tidak samanya defisinisi penduduk, pemilih, dan daftar pemilih dalam empat UU yang terkait pemilu tersebut. Misalnya dalam UU Pileg pemilih tidak harus memiliki identitas. Sehingga KPU wajib mendaftarkannya sebagai pemilih. Sementara dalam UU Pilkada, pemilih harus memiliki identitas kependudukan. Ketiga, dalam UU Pilkada belum mengatur sanksi pidana jual beli suara. Sementara dalam UU Pileg dan Pilprs sudah diatur sanksi jual beli suaranya.

Senada dengan Ramlan, Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nelson Simanjuntak mengatakan UU harusnya bisa menjamin tiap peserta pemilu bertanding dengan nyaman. Pasalnya selama ini masih banyak terdapat kekosongan, kelemahan dan aturan yang berbeda-beda dalam sejumlah undang-undang pemilu yang ada saat ini. Misalnya standar soal mekanisme penanganan pelanggaran pemilu. Perbedaan ini menurutnya akan membuat penyelenggara pemilu bingung.

"Kodifikasi adalah langkah yang baik dengan melibatkan semua pihak. Sehingga kodifikasi tidak hanya gabungkan sejumlah UU pemilu menjadi satu UU, tapi juga menjadi rekayasa social untuk membuat proses demokrasi semakin baik," ujar Nelson pada kesempatan yang sama.

BACA JUGA: