JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah berencana menarik sejumlah kewenangan daerah yang sebelumnya diberikan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyusul rencana revisi UU tersebut yang kini tengah dalam penggodokan. Alasannya pemberian sejumlah kewenangan langsung kepada daerah ternyata tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat di wilayah itu, justru menimbulkan masalah tumpang tindih kewenangan.

Menurut Direktur Jendral (Dirjen) Otonomi Daerah, Djohermansah Djohan, salah satu kewenangan yang akan ditarik adalah kewenangan tentang pertambangan. Kewenangan di bidang ini ditarik karena dinilai kerap bermasalah saat diurus  oleh pemerintah kabupaten dan kota. "Izin ini kerap diterbitkan sesuka hati, apalagi menjelang pilkada, pemberian izin ini dimanfaatkan untuk modal," ujar Djohermansyah dalam jumpa pers seminar bertajuk  "18 Tahun Otonomi Daerah"  di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (24/4).
 
Revisi UU Pemerintahan Daerah ini juga akan memberikan kewenangan yang lebih besar terhadap gubernur kepada bupati dan walikota untuk berkoordinasi. Selain itu revisi ini juga untuk memperketat, memperjelas, dan memperbaiki kinerja DPRD. Menurut penilaiannya, selama ini banyak anggota dewan yang ketika ditanya mengaku bukan pejabat daerah, dan bukan pula PNS. "Ini jadi rancu, jangan-jangan mereka pejabat bukan-bukan!" ujarnya.

Djohermansyah mengungkapkan selama ini memang sebagian kalangan parlemen menolak revisi UU ini. Ia menduga hal ini disebabkan kekhawatiran mereka akan kehilangan posisi jika dilakukan revisi.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menambahkan, selama ini tata kelola daerah masih buruk karena besarnya kepentingan politik. "Aparat daerah seharusnya tidak boleh terlibat politik praktis," katanya.

Ia mengungkapkan selama ini banyak dana daerah yang tersedot untuk kepentingan penguasa. Banyak pemerintah daerah yang mengalokasikan APBD lebih besar untuk belanja pegawai daripada untuk kepentingan lainnya.  "Seharusnya maksimal belanja aparatur 40% untuk pegawai, dan sisanya untuk infrastruktur dan pelayanan publik," ujar Djohermansyah. Selain itu UU Pemerintahan Daerah juga memiliki banyak kelemahan, salah satunya tidak adanya sanksi bagi pejabat yang melanggar ketentuan.

Untuk itu Djohermansyah mengatakan pihaknya akan mengajukan tiga usulan pemberian sanksi kepada pejabat yang dinilai nyleneh. Bentuk sanksi itu di antaranya memberi teguran, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap. Saat ini, kata dia, selain Bupati Garut Aceng Fikri juga terdapat nama Bupati Karo yang sudah diusulkan oleh gubernur untuk pemberhentian tetap. Namun, dalam mekanismenya nanti tetap diadakan kesempatan pembelaan bagi mereka yang merasa telah melaksanakan peraturan namun dituduh melanggar. "Tetap harus fair," katanya.

Revisi yang sudah memasuki masa sidang ke sepuluh ini juga akan memasukkan sistem pemilihan untuk pejabat eksekutif menjadi tunggal hanya gubernur, bupati dan walikota tanpa menyertakan wakilnya. "Cukup gubernur, bupati, dan walikota saja yang langsung," papar Gamawan. Mendagri menuturkan banyaknya korban meninggal selama pilkada langsung berjalan dan berubahnya tatanan sistem sosial di beberapa daerah lah yang membuatnya memasukkan revisi tersebut. "Ubah pilkada wakil kepala daerah langsung menjadi tak langsung. Cukup gubernur, bupati, dan walikota saja yang langsung," ujar Gamawan.  Sementara wakil dari gubernur, bupati, dan walikota ditunjuk oleh kepala daerah terpilih melalui permintaan kepada pemerintah pusat.

Gamawan menambahkan tidak semua daerah harus memiliki wakil, hanya daerah yang padat saja yang disertakan wakil.  Pada daerah yang padat tersebut, dapat ditunjuk wakil lebih dari satu untuk membantu. Mendagri menuturkan banyaknya korban meninggal selama pilkada langsung berjalan dan berubahnya tatanan sistem sosial di beberapa daerah lah yang mendorong  dimasukannya revisi tersebut.

BACA JUGA: