JAKARTA, GRESNEWS.COM – Upaya kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menjegal kemenangan Joko Widodo- Jusuf Kalla ternyata belum berhenti. Koalisi pengacara masyarakat meminta penundaan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui sebuah surat yang diantarkan langsung ke gedung DPR hari ini (22/8), Jakarta.

Perwakilan koalisi pengacara masyarakat Alamsyah Hanafiah mengatakan alasan perlunya penundaan pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden karena saat mencalonkan diri sebagai calon presiden, Jokowi masih berstatus sebagai gubernur DKI Jakarta dan belum mendapat izin dari DPRD DKI Jakarta. Ia menilai seharusnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjatuhkan keputusan diskualifikasi atas pencalonan tersebut.

Selanjutnya, alasan lain perlu ada penundaan pelantikan menurut Alamsyah karena KPU, Jokowi, Jusuf Kalla, dan KPU provinsi DKI Jakarta masih berstatus sebagai tergugat dalam perkara perdata nomor 387/PDT/i2014/PN.JKT.PST di pengadilan Jakarta Pusat. Tambahnya, surat berisi permohonan tersebut ditujukan ke ketua MPR, Ketua DPR RI, ketua komisi II dan komisi III DPR.

Terkait hal ini, pengamat hukum, Refly Harun mengatakan pelantikan presiden dan wakil presiden merupakan persoalan yang besar karena tidak hanya menyangkut ketatanegaraan tapi juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia menilai tak masuk akal bila ketua KPU dipolisikan menjadi alasan penundaan pelantikan Jokowi sebagai presiden terpilih.

"Apakah kaitannya KPU dengan pelantikan Jokowi," katanya pada Gresnews.com, Jumat (22/8).

Ia melanjutkan pelantikan Jokowi sebagai presiden memang bekerjasama dengan KPU, tapi mempermasalahkan ketua KPU yang masih diperkarakan di polisi dan dihubungkan dengan pelantikan menurutnya bukan persoalan yang substantif. Ia menilai jika ada hubungannya dengan KPU, pekerjaan masih bisa ditangani oleh sekretaris jenderal.

Lanjutnya, kalaupun komisioner KPU dipidanakan hal itu juga tidak ada hubungannya terkait pelantikan presiden. Lalu terkait dengan alasan penundaan pelantikan karena pencapresan Jokowi belum mendapatkan izin DPRD, ia juga menilai hal itu tidak substantif. Ia melihat izin DPRD terkait pencopotan  jabatan Jokowi sebagai gubernur sebagai etika kesopanan saja bahwa Jokowi harus pamit.

Ia menuturkan DPRD tidak mempunyai hak untuk menghalangi Jokowi mengundurkan diri dari jabatan gubernur. Menurutnya, setiap orang berhak mengundurkan diri sebagai pejabat publik. "Kalau dilarang nanti rangkap jabatan," tuturnya.  

Apalagi ia menambahkan terpilihnya Jokowi sebagai presiden sudah berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia melihat keputusan kemenangan Jokowi melalui MK merupakan keputusan yang sudah tidak bisa diubah lagi. Ia melanjutkan usulan menunda pelantikan presiden dan wakilnya merupakan upaya-upaya delegitimasi yang tidak elok dan tidak mendidik dari mereka yang kecewa.

Menurutnya, daripada melakukan hal tersebut, lebih baik jika berpikir bagaimana memperbaiki sistem pemilu ke depan. Lanjutnya, kelompok DPR yang kalah bisa membuat Undang-undang yang lebih solid dan membenahi partainya. "Atau ikut serta dalam pemerintahan untuk membangun negara. Lakukanlah hal yang lebih produktif. Kompetisi sudah selesai. Jangan melakukan hal yang merugikan," jelasnya.

Senada dengan Refly, pengamat hukum dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Andi Syafrani menyatakan dipolisikannya ketua KPU posisinya bersifat personal. Sedangkan menurutnya pelaksanaan pemilu bersifat institusional. Ia menilai pelantikan presiden dan wakil presiden tidak ada hubungannya dengan salah satu anggota KPU yang masih terkait dengan proses hukum.

Ia berpendapat bukti terkuat terkait pemilu secara etis sudah diselesaikan dalam sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan terkait hasil pemilu sudah melalui proses persidangan di MK. "Tidak ada alasan hukum untuk menunda proses pelantikan presiden dan wakil presiden," tuturnya pada Gresnews.com, Jumat (22/8).

Selanjutnya, Andi juga menilai alasan terkait pencalonan juga merupakan kewenangan PTUN dan tidak berpengaruh dan tidak berkorelasi terhadap proses dan tahapan pemilu. Lanjutnya, kalaupun ada putusan pengadilan belum tentu juga hasilnya sesuai yang diharapkan.

BACA JUGA: