JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai naif dalam menanggapi dugaan penyadapan yang dilakukan dinas intelijen Australia terhadap beberapa pejabat top Indonesia. Seharusnya pemerintah bersikap preventif dan tidak utopis melihat hubungan antar negara. Hal itu disampaikan Ketua DPP PDIP Andreas Paerira, Selasa (19//11).

Andreas menyayangkan sikap pejabat Indonesia yang terkesan sewot sementara Australia tenang-tenang saja."Jangan ada anggapan, apabila sudah menjadi negara sahabat, maka seolah-olah operasi intelijen termasuk tindakan sadap-menyadap, tidak ada lagi. Kalau beranggapan demikian, Pemerintah RI dan Menlu RI terlalu naif," kata Andreas dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi Gresnews.com.

Sikap naif dalam menanggapi isu ini menurut dia lahir dari jargon politik luar negeri SBY sendiri yang menekankan prinsip "thousand friends zero enemy". Prinsip itu dinilai Andreas terlalu utopis dan terlalu idealis. Padahal dalam setiap hubungan politik luar negeri, praktiknya akan beda sama sekali.

"Seharusnya, Pemerintah SBY lebih realistis dan menyadari, karakter hubungan internasional secara universal memang lebih realis ketimbang idealis-utopis," kata doktor ilmu politik internasional dari Universitas Giessen, Jerman itu.

Politik luar negeri dan politik pertahanan-keamanan memang seharusnya mengedepankan prinsip realisme politik berbasis kepentingan nasional, yaitu suatu negara melakukan apa pun demi membela kepentingan nasional. Ini prinsip yang tak bisa ditawar. "Realisme berbasis kepentingan nasional, dipraktikkan semua negara dengan pemimpin rasional. Dari dulu sampai sekarang tetap demikian dan tidak akan pernah berubah," kata Andreas lagi.

Dia berharap kasus penyadapan ini menyadarkan pemerintahan SBY dan jajaran diplomasinya untuk lebih realistis terhadap hubungan internasional modern. Andreas mencontohkan, belum lama ini terbongkar, NSA Amerika menyadap pembicaraan 35 kepala negara di dunia. Nomor kepala negara diketahui, setelah terlebih dahulu menyadap pejabat di bawahnya.

Data-data itulah yang dibongkar Edward Snowden, yang kini mendapat suaka di Rusia. Laporan Snowden menyebutkan, NSA memantau 200 nomor, 35 di antaranya adalah milik kepala negara. Negara-negara sahabat Amerika ribut, termasuk Jerman. Kanselir Jerman Angelina Merkel marah karena nomornya ada dalam daftar yang disadap NSA. Kendati Sekretaris Pers Gedung Putih membantah, Amerika tidak memantau dan tidak akan memonitor komunikasi Kanselir Jerman, tidak meredakan kemarahan Jerman.
    
Soal sadap menyadap ini juga bukan cuma dilakukan oleh Amerika terhadap negara-negara Uni Eropa. Bahkan, antara Amerikat Serikat dan Israel yang notabene adalah sekutu, masih terjadi saling sadap. Amerika pernah mengeluhkan praktik Mossad (Dinas Rahasia Israel) yang malah beroperasi di wilayah Amerika. "Amerika Serikat pernah marah besar kepada Israel, karena peristiwa bom yang menewaskan 299 marinir Israer di Libanon (peristiwa 23 Oktober 1983-Red), sebetulnya sudah dicurigai Mossad akan ada tindakan teror, tapi tidak dilaporkan kepada Amerika," ujar Andreas.

Jakarta memang bersikap keras terhadap masalah ini. Menlu Marty Natalegawa pun sampai memanggil pulang Duta Besar RI untuk Australia, Nadjib Riphat Koesoema untuk waktu yang tak ditentukan. Selain itu pihak Kemenkominfo pun akan mengambil langkah tegas jika ada provider dalam negeri yang terlibat dalam operasi penyadapan ini.   

(GN-03)

BACA JUGA: