JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta Alfan Alfian menyatakan kepastian penetapan dan pengangkatan Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dapat diselesaikan dengan cara Ketua Umum Partai Demorasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri mau membuka diri dan berbicara langsung kepada publik.  Megawati, kata Alfan, harus bisa menjelaskan, Presiden Joko Widodo tidak dalam tekanan PDIP dalam penentuan Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Sebab menurutnya, kegamangan Presiden Jokowi untuk memutuskan melantik atau tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri dilatar belakangi tudingan tekanan politik dari PDIP kepada Jokowi. Akibatnya, presiden menjadi dilematis mengambil keputusan sebagai pemimpin yang mendapat dukungan politik dari PDIP dan umumnya partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

"Ibu Mega harus bicara sendiri kepada publik untuk menjelaskan tidak ada tekanan politik seperti persepsi yang berkembang selama ini," kata Alfan dalam dialog dengan tema "KPK vs Polri: Penentuan Budi Gunawan Sebagai Kapolri, Pelanggaran Megawati Terhadap Mandat Rakyat?" di Bakoel Koffie, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Minggu (2/1).

Menurut Alfan, dilema Jokowi itu diperumit dirinya sendiri karena sejak awal pencalonan sebagai presiden telah mengikrarkan diri akan menjaga jarak dengan partai politik. Pernyataan ini akhirnya membuat "labirin" yang sulit dihadapi Jokowi karena ternyata tekanan politik dalam pelantikan Jokowi ditengarai masih didominasi tekanan partai polik pengusung keterpilihan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Namun, lanjut Alfan, jadi tidaknya Budi Gunawan dilantik sebagai Kapolri sudah masuk dalam ketegasan Jokowi sebagai pemimpin. Sebab seorang pemimpin dimana pun, termasuk Jokowi harus bisa menciptakan keputusan dan menjadi dirinya sendiri. Termasuk dalam memutuskan pelantikan Budi Gunawan atau mencari pengganti Kapolri baru.

"Tapi kalau Jokowi pemimpin sejati, harusnya ia bisa keluar dari kemelut ini dalam waktu yang tidak berlarut-latut," tegasnya.

Presiden, kata Alfan, semakin sulit keluar dari kepastian dilantik atau tidaknya Budi Gunawan sebagai Kapolri lantaran Jokowi menciptakan labirin baru, yakni mencari dukungan dari partai politik penyeimbang. Hal ini ditandai dengan pertemuan calon presiden 2014 dari kubu Koalisi Merah Putih (KMP), Prabowo Subianto.

"Ini sebagai cara Jokowi menunjukkan bahwa ia punya bergaining politik untuk keluar dari tekanan politik pendukungnya," tegas Alfan.

Sementara pakar hukum tata negara, Refly Harun berpendapat, ruang untuk tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri lebih terbuka lebar dibanding harus melantik. Alasannya, dimensi hukum melantik atau tidak melantik masih menjadi perdebatan hukum yang seimbang di ranah publik, baik para pakar hukum, DPR hingga penggiat hukum.

Sementara dari sisi publik, masyarakat tidak menginginkan seorang Kapolri yang memiliki masalah hukum. "Ini tidak bisa diabaikan Presiden karena publik tidak menginginkan Budi Gunawan sebagai Kapolri," jelasnya.

Begitu juga dari sisi politik. Menurut Refly, Presiden bisa mengganti calon kapolri meski sudah melalui fit and profer test (uji kelayakan dan kepatutan) di Komisi III dan disetujui DPR melalui paripurna sepanjang bisa dipertanggungjawabkan secara moraltas hukum. Ia mencontohkan, calon pemimpin publik yang terbukti selingkuh bisa diabaikan presiden untuk mengangkat dan melantiknya karena terbukti selingkuh mesti sudah disetujui DPR. Sebab persetujuan DPR adalah keputusan pasif.

"Status tersangka menjadi alasan lain bagi presiden untuk mengganti calon pemimpin publik, seperti Budi Gunawan," tuturnya. Kata Refly, presiden harus cepat mengambil keputusan tanpa harus menghancurkan agenda pemberantasan korupsi.

BACA JUGA: