JAKARTA, GRESNEWS.COM - Polemik Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) yang baru saja disahkan DPR RI belum juga mereda. Sejumlah pasal dinilai banyak mengundang kontroversial dikalangan masyarakat.

Pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes merespons produk legislasi yang dihasilkan oleh DPR periode ini masih memprihatinkan. Ada beberapa pasal yang merugikan kepentingan publik dan lebih mengedepankan kepentingan politik.

"Produk legislasi di DPR masih kurang mempertimbangkan hasil riset. Minim sekali setidaknya ada pertemuan dengan civil society untuk mendengar aspirasinya," kata Arya kepada gresnews.com melalui sambungan teleponnya, Selasa (21/6).

Dari awal, UU Pilkada memang sudah banyak menuai kritikan, baik dari kalangan civil society maupun lembaga negara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). Saat pengesahannya pun dipertanyakan soal apakah paripurna dianggap quorum karena hanya dihadiri 238 anggota saja dari total seluruh anggota DPR 560 orang.

Namun Arya tak mempermasalahkan soal apakah quorum atau tidak dalam pengesahan UU Pilkada. Menurutnya, jika DPR dan Pemerintah sepakat, secara legitimasi formal UU ini dinilainya sudah sah.

Rancangan Undang-Undang Pilkada ini merupakan Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota disahkan menjadi undang-undang. Artinya, sejak tahun 2014, UU ini telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali perubahan.

"Kalau tidak berdasarkan riset maka produknya akan temporer sekali tidak dalam jangka waktu yang panjang," ungkap jebolan Universitas Paramadina tersebut.

Dengan hadirnya aturan terbaru ini maka upaya untuk memperbaiki kualitas Pemilihan Kepala Daerah justru menuai perdebatan. Beberapa pasal dalam UU Pilkada yang dianggap bermasalah bermunculan seperti Pasal 41, 48, 73 dan 9B dan sudah ada beberapa pihak yang menyatakan akan menggugat UU Pilkada tersebut.

Teman Ahok, perkumpulan relawan untuk membantu Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kembali mencalonkan diri, telah menyatakan siap mengajukan uji materil atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ada pun pasal yang akan diuji oleh Teman Ahok adalah Pasal 41 dan 48. Kedua pasal tersebut dinilai membatasi pencalonan melalui jalur perorangan. Seperti pada Pasal 41 berisi tentang syarat minimal bagi calon perseorangan. Dalam pasal tersebut, syarat dukungan untuk daerah dengan jumlah penduduk 2 juta, maka calon perorangan harus mengantongi dukungan minimal 10 persen dari daftar pemilih tetap (DPT).

Sedangkan pada Pasal 48 yang diuji adalah soal verifikasi faktual. Teman Ahok menilai verifikasi faktual calon perseorangan dengan cara metode sensus cenderung memberatkan bagi calon perseorangan. Pasalnya, dalam metode sensus itu KPU harus menemui langsung pendukung yang menyerahkan KTP-nya. Ketika tidak bisa ditemukan maka diberi waktu selama tiga hari untuk dihadirkan kembali. Jika tak dapat ditemuali juga maka dukungan pendukung dinyatakan tidak sah.

Selain itu, pasal lain yang bermasalah adalah Pasal 9B yang dinilai akan mereduksi kewenangan KPU. Pasal itu membuat independensi KPU terancam karena mewajibkan KPU harus diikat oleh DPR dalam pengambilan putusan.

Ada pula pasal tentang politik uang yang terkesan melegalkan praktik politik uang dalam pemilihan kepala daerah. Pada Pasal 73 terkesan melegalkan praktik uang karena pasal itu membolehkan memberikan biaya makan minuman, transportasi dan biaya pengadaan bahan kampanye saat melakukan pertemuan terbatas dalam pertemuan tatap muka dan dialog sesuai dengan kewajaran. Praktik tersebut menurut UU Pilkada hasil revisi terbaru bukanlah bentuk politik uang.

Munculnya beberapa pasal yang menuai perdebatan itu, menurut Arya karena minimnya keterlibatan publik pada kebijakan membuat sebuah legislasi. Makanya dia mengaku tidak heran soal kemungkinan keinginan publik untuk mengajukan uji materi pada pasal-pasal tersebut.

Oleh karenanya, Arya mendorong agar UU yang telah diparipurnakan dan mengendap di Komisi II segara diundangkan. Dia mengkhawatirkan jika diendap terlalu lama tanpa diundangkan akan memengaruhi tahapan Pilkada serentak. Pasalnya KPU perlu membuat Peraturan KPU soal tahapan Pilkada.

Selain memengaruhi tahapan Pilkada, menurut Arya juga berdampak pada kesempatan publik untuk mengujinya. "(Kalau cepat diundangkan) akan memberi kesempatan publik untuk mengajukan judicial review," tegas Arya.

LANGKAH MUNDUR PILKADA - Lucius Karus, peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), juga mengemukakan hal yang serupa. Lucius menilai produk legislasi DPR (UU Pilkada) merupakan langkah mundur untuk memperbaiki kualitas Pilkada.

UU Pilkada yang direvisi setiap hendak melaksanakan Pilkada membuat sistem Pilkada selalu berubah. Akibatnya, tidak ada aturan main yang pasti menjelang pelaksanaan Pilkada.

"Langkah mundur. Karena setiap mau Pilkada diubah sehingga mengakibatkan sistem Pilkada semakin sulit dibangun," katanya kepada gresnews.com.

Seharusnya, sambung Lucius, perubahan itu semakin memperbaiki sistem Pilkada dengan membuat aturan yang baku. Namun dengan berubah-ubahnya UU Pilkada justru semakin sulit untuk membangun satu sistem yang baik dan berkelanjutan guna memperbaiki sistem Pilkada.

Selain itu, Lucius juga menuding setiap perubahan menjelang pelaksanaan Pilkada disesuaikan dengan selera pembuat UU. Aspirasi publik, kata Lucius, belum tampak dalam semangat perubahan itu. "Pasal yang diubah selalu menguntungkan pembuat undang-undang," tukasnya.

BACA JUGA: