JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ketua DPR RI Setya Novanto mengajukan uji materi Pasal 46 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang mengatur soal pemeriksaan tersangka itu dianggap bertentangan dengan Pasal 20A UUD 1945 yang mengatur soal hak imunitas anggota DPR.

Pengacara Setya Novanto, Friedrich Yunadi menerangkan pemanggilan kliennya oleh KPK harus seizin presiden dengan mengacu Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Fredrich menyebut pasal itu mengatur pemanggilan anggota DPR harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden.

"Dengan adanya sekarang permintaan (panggilan) dari KPK yang dalam hal ini terkesan mengabaikan atau mengesampingkan masalah UUD dan putusan MK maka kami mengajukan permohonan judicial review terhadap Pasal 46 ayat 1 dan ayat 2 UU KPK," ujar Fredriech di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (13/11).

Fredrich ingin MK menguji Pasal 46 ayat 1 dan 2 terkait pemeriksaan tersangka bertentangan dengan UU Pasal 20A ayat 3 yang mengatur soal hak imunitas anggota DPR saat menjalankan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.

"Kedua, kami mengajukan untuk uji Pasal 12 UU KPK. Di mana Pasal 12 UU KPK, KPK bisa memerintahkan instansi terkait untuk melakukan pencegahan ke luar negeri maupun pencekalan dalam hal ini terhadap seseorang. Yang dalam hal ini jelas bertentangan dengan putusan MK yang menyatakan wewenang imigrasi untuk mencegah seseorang ke luar negeri bagi yang bersangkutan itu dinyatakan inkonstitusional," sambungnya.

Novanto hari ini tidak memenuhi panggilan pemeriksaan KPK sebagai saksi. Novanto beralasan KPK harus mengantongi izin presiden untuk memeriksa dirinya.

Panggilan pemeriksaan ini ditujukan untuk Novanto sebagai saksi untuk Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang Sugiana yang juga tersangka korupsi e-KTP.
ARGUMEN SETYA NOVANTO - Setya Novanto tidak memenuhi panggilan pemeriksaan KPK sebagai saksi kasus dugaan korupsi e-KTP. Novanto mengirimkan surat yang berisi penjelasan soal hak imunitas anggota DPR dan keharusan KPK mengantongi izin presiden.

"Pagi ini KPK menerima surat dari Setya Novanto dengan kop Surat tertulis ´Drs Setya Novanto, Ak, Ketua DPR-RI tertanggal 13 November 2017," ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Senin (13/11/2017).

KPK menerima 1 lembar surat dan 5 lembar lampiran. Dalam poin awal surat, pihak Novanto menerima surat panggilan dari KPK pada Rabu (8/11) pekan lalu.

Novanto juga melampirkan surat undangan dari Pimpinan Daerah Partai Golkar Provinsi NTT tertanggal 1 November 2017, perihal Undangan HUT Golkar ke-53 Tingkat Provinsi NTT.

Selain itu Novanto membeberkan berbagai landasan hukum mengenai alasan dirinya tidak bisa memenuhi panggilan KPK sebagai saksi untuk tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo.

Penjelasan Novanto tersebut antara lain:

- Pasal 1 (3) UUD 1945: Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
- Pasal 20A huruf (3) UUD 1945: selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, setiap Anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan serta hak imunitas.
- Pasal 80 UU No 17 Tahun 2014 hak anggota dewan huruf (h) imunitas.
- UU No 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7
- Ketentuan UU 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, khususnya Pasal 224 ayat (5) mengenai Hak Imunitas DPR, Pasal 245 ayat (1), Pasal 224 ayat (5), serta Pasal 245 ayat (1).
- Putusan MK RI No 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2017

Poin inti yang ingin disampaikan adalah persetujuan tertulis Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai persetujuan tertulis dari Presiden.

"Bahwa karena dalam surat panggilan KPK ternyata belum disertakan Surat Persetujuan dari Presiden RI sebagaimana ketentuan Putusan MK, maka dengan tidak mengurangi ketentuan hukum yang ada, pemanggilan diri kami dalam jabatan saya selaku Ketua DPR-RI dapat dipenuhi syarat persetujuan tertulis dari Presiden RI terlebih dahulu sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku termasuk penyidik KPK," terang Febri membacakan isi surat Novanto.

Surat yang ditandatangani oleh Novanto ini sendiri, kemudian menyebut hingga hari ini KPK belum mengantongi izin Presiden untuk mengorek keterangan dari dia sebagai saksi. Sehingga Novanto lebih memilih menghadiri undangan HUT Golkar ke-53 Tingkat Provinsi NTT.

"Berdasarkan alasan hukum di atas, maka surat panggilan sebagai saksi tidak dapat saya (Setya Novanto) penuhi," sebut Febri.
TAFSIR KPK - Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menegaskan pemeriksaan Ketua DPR Setya Novanto tidak memerlukan izin presiden. KPK berharap Novanto kooperatif memenuhi panggilan sebagai saksi atau tersangka dugaan korupsi e-KTP.

"Nggak perlu itu," kata Saut kepada wartawan terpisah di UI.

Pimpinan KPK lainnya juga membantah aturan tersebut. "Tidak sama sekali kok, tidak harus izin (presiden). Baca saja aturannya. Kan itu juga sudah ada putusan MK (Mahkamah Konstitusi) tidak mewajibkan adanya izin dari Presiden," ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif kepada wartawan di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (13/11).

Menurut Syarif, alasan yang dikemukakan pihak Novanto mengada-ada, Sebab dalam beberapa panggilan KPK sebelumnya, Novanto juga pernah hadir sebagai saksi dalam penyidikan kasus e-KTP.

"Iya alasan itu alasan mengada-ada. Dengar saja dulu, pertama beliau kan pernah hadir beberapa kali dipanggil, saat itu beliau hadir tanpa surat izin Presiden. Kenapa sekarang hadir harus kami mendapat izin dari Presiden. Ini suatu mengada-ada," sambungnya.

Novanto tercatat memenuhi panggilan KPK dalam pemeriksaan sebagai saksi sebanyak 3 kali. Yaitu pada tanggal 13 Desember 2016 dan 10 Januari 2017 untuk tersangka kasus e-KTP, eks pejabat Kemendagri Sugiharto. Novanto juga memenui panggilan sebagai saksi pada 14 Juli 2017 untuk tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong.

Sementara 7 panggilan sisanya, Ketua Umum Golkar ini memilih absen dengan alasan bermacam-macam. Alasan soal izin Presiden sendiri mengemuka sejak panggilan sebelumnya, pada Senin 6 November.

Dalam surat yang mengatasnamakan Biro Kesetjenan dan Badan Keahlian DPR dengan tanda tangan Pelaksana tugas (Plt) Damayanti, ketentuan itu diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 76/PUU-XII/2014.

Putusan MK itu terkait UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Sebelumnya, dalam Pasal 245 ayat 1 UU MD3, pemeriksaan terhadap anggota dewan seizin MKD, tetapi MK mengubahnya menjadi seizin presiden.

Berikut bunyinya:

Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.

Namun Pasal 245 ayat 3 tidak diubah MK. Pasal tersebut berbunyi:

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.  (dtc)

BACA JUGA: