JAKARTA, GRESNEWS.COM – Perdebatan mekanisme pilkada apakah tetap dilakukan secara langsung ataupun tak langsung dengan cara dikembalikan kepada DPRD masih mengemuka sebelum RUU PIlkada diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada rapat paripurna 25 September mendatang. Perdebatan dan perubahan pasal terkait pemilu terus terjadi setiap menjelang pemilu sehingga membuat kesan DPR yang terdiri dari partai politik hobi mengobrak-abrik aturan main pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah untuk kepentingan dirinya sendiri.

Menanggapi hal ini, pengamat politik dari Populi Center Nico Harjanto mengatakan aturan main demokrasi di Indonesia selama ini ditentukan langsung oleh para pemain secara langsung. Maksudnya, para elit politik seperti partai politik membuat aturan untuk diri mereka sendiri. Hal menurutnya juga bisa dilihat dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) pilkada.

"Revisi Undang-undang (UU) tidak bisa lepas dari kepentingan seperti itu, regulasi di Indonesia hanya ditentukan 3 hingga 4 orang pimpinan partai politik besar. Itu jadi aturan politik kita dan itu tidak bagus," ujarnya dalam diskusi di Resto Rarampa, Jakarta, Sabtu (20/9).

Ia melanjutkan dengan adanya aturan main seperti digambarkan sebelumnya, proses partisipasi dalam pembahasan UU kental dengan mentransaksikan pasal demi pasal untuk kepentingan masing-masing. menurutnya, proses pembuatan UU harus dibuat setransparan dan separtisipatif mungkin.

Ia menjelaskan naskah akademik rancangan UU juga harus dibuat akademisi. "Naskah akademik jangan sampai kalimat pertama sudah salah. Ini struktur bahasanya sudah keliru," lanjutnya.

Nico mengatakan, pembahasan UU mestinya sudah melalui proses diskusi yang matang di dunia akademis. Di dunia akademis tidak ada satu kebenaran mutlak sehingga prosesnya akan mengalami perdebatan penuh. Lalu, jelasnya kalau proses di dunia akademis sudah berjalan dengan baik, rancangan UU baru masuk ke proses legislasi yang formal.

"Tidak hanya akademisi tapi juga masyarakat sipil, kelompok organisasi masyarakat juga harus dipertimbangkan." katanya.

Senada dengan Nico, wartawan senior Budiarto Shambazy mengatakan memang sudah menjadi hobi dari DPR ketika satu tahun menjelang pemilu, pasal-pasal akan diobrak-abrik sesuai kepentingan mereka. Ia menilai hal tersebut tidak sehat untuk demokrasi di Indonesia. "Partai-partai sesuka hati tiap pemilu selalu begitu," katanya dalam cara yang sama, Jakarta, Sabtu (20/9).

Dalam konteks pilkada dengan kondisi aturan main di Indonesia seperti ini, Budiarto mengusulkan adanya referendum untuk menentukan mekanisme pilkada. Ia mencontohkan Skotlandia yang mengadakan referendum untuk menentukan apakah ingin merdeka atau tetap berada di bawah kerajaan Inggris.

"Ternyata 56% menolak kemerdekaan. Ternyata elit politik di Glaslow yang menghendaki kemerdekaan dan membentuk opini supaya menuntut kemerdekaan. Tapi agenda elit politik ini dikalahkan oleh rakyat," lanjutnya.

Dari studi kasus Skotlandia, ia mempelajari bahwa untuk menentukan hak demokrasi dalam konteks pilkada baik langsung ataupun melalui DPRD merupakan hak rakyat. Sehingga menurutnya referendum dapat menjadi pilihan solusi dari perdebatan mekanisme pilkada.

Ia mengusulkan untuk menuntut hak referendum masyarakat atas persetujuan parlemen. "Jangan mau diperdaya kehendak elit politik yang hendak ubah pemilu menjadi tak langsung," katanya.

BACA JUGA: