JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Dugaan tindakan kekerasan para personel TNI Angkatan Udara (AU) saat menangani aksi demonstrasi warga terkait sengketa lahan di Jalan SMAN 2 Polonia, Medan, Sumatera Utara, Senin (15/8), dikecam oleh Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers). Tindakan kekerasan terhadap para wartawan yang meliput kerusuhan antara anggota TNI AU dan warga Kelurahan Sari Rejo, Medan, Polonia, itu dinilai melanggar undang-undang.

"Kebebasan pers dalam masyarakat sipil yang demokratis merupakan sebuah keharusan," kata Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers Asep Komarudin di Kantor KontraS, Jakarta, Selasa (16/8).

Asep mengatakan, masyarakat demokratis menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Dengan adanya kebebasan pers, masyarakat mampu menyampaikan hak-hak sipil, baik hak berekspresi maupun berpendapat secara lisan maupun tulisan.

"Wartawan dalam bertugas telah dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," tegas Asep.

Menurutnya, kemerdekaan pers telah dijamin sebagai hak asasi manusia, seperti tertuang dalam UU Pers. Bahkan terhadap pers nasional tidak boleh ada penyensoran atau pembredelan.

"Maka pers nasional memiliki hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi sesuai undang-undang," ujarnya.

Senada dengan Asep, Kepala Divisi Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Ananto Setiawan menyebutkan, tindakan kekerasan yang dilakukan para anggota TNI AU dan Paskhas Lanud Suwondo, Medan, terhadap sejumlah warga di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan, bertentangan dengan demokrasi

"Pemisahan tugas antara Polri dan TNI telah diamanatkan melalui Ketetapan MPR Nomor VI/2000 tentang peran Tentara Indonesia dan Polri," kata Ananto.

Menurutnya, tindakan kekerasan yang terjadi di Sari Rejo adalah pelanggaran terhadap Pasal 3 Ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal itu menyebutkan, kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi TNI berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan.

"Harusnya dalam kasus sengketa lahan, pihak TNI tidak perlu anarkis. Sebaiknya masalah itu diserahkan ke Kementerian Pertahanan dan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta masyarakat," sarannya.

HARUS ADA SANKSI TEGAS - Menanggapi kasus kekerasan oknum aparat TNI AU terhadap wartawan dan warga Kelurahan Sari Rejo Medan Polonia, Sumut, pengamat politik komunikasi dan hukum dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta, Emrus Sihombing, menyesalkan kejadian tersebut.

Emrus mengatakan, seharusnya kekerasan tidak perlu terjadi jika aparat hukum seperti TNI AU melakukan mediasi atau dialog bersama warga untuk mencari solusi atas sengketa lahan tersebut. Kejadian brutal yang mengakibatkan korban warga sipil dan awak media tidak boleh terjadi. "Kalau ada dialog tidak akan ada korban yang terluka," kata Emrus kepada gresnews.com, Selasa (16/8).

Menurut Emrus, komandan dan pihak anggota TNI AU yang terlibat melakukan kekerasan terhadap awak media harus diberikan sanksi tegas, agar hal ini tidak kembali terjadi. Dia berharap aparat hukum TNI dan Polri tidak bersikap arogan dalam menangani suatu permasalahan.

Seperti diketahui, aksi demonstrasi warga terkait sengketa lahan di Jalan SMAN 2 Polonia, Medan, Sumatera Utara, berbuntut pada bentrokan. Dalam bentrokan itu sembilan orang warga dan dua awak media yang tengah meliput peristiwa itu menjadi korban luka.

Sejumlah elemen masyarakat yang terdiri dari KontraS, LBH Pers, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pun mengecam keras kejadian kekerasan tersebut.

PEMICU BENTROKAN - Sementara itu Kepala Penerangan dan Perpustakaan (Kapentak) Lanud Suwondo Mayor Jhoni Tarigan menjelaskan, bentrokan itu dipicu aksi unjuk rasa warga terkait lahan yang disengketakan. Tetapi aksi warga itu dilakukan dengan menutup akses jalan. Pihaknya sempat memanggil perwakilan masyarakat dan disepakati akan ada pertemuan kembali untuk membahas status tanah. "Dari perwakilan masyarakat juga menjanjikan akan bubar, karena demo mereka menutup akses jalan," ujar Jhoni.  

Namun kemudian ada salah satu warga yang berupaya menyerang personel TNI AU. Mereka awalnya melakukan aksi membakar api di depan kantor Komandan Sektor Pertanahan Udara Nasional.

"Kan enggak boleh. Kita amankan, sudah dimintai keterangan. Terus warga minta dilepaskan. Ya sudah dilepaskan. Camat juga ada," ujarnya.

Tetapi, menurut dia, masyarakat justru semakin anarkis dan menutup jalan. Personel TNI kemudian berupaya membubarkan massa. Namun masyarakat melempari batu dan mengenai kepala salah satu anggota TNI AU hingga bocor.

"Kita berupaya mencari siapa pelaku pelemparnya, tapi ternyata banyak sekali batu. Tidak hanya pelemparan, ada juga menggunakan ketapel panah beracun," ujarnya, yang menyebut kejadian pembubaran massa itu berlangsung  sekitar pukul 14.45 WIB.

Jhoni mengatakan warga yang melakukan aksi protes itu mencapai sekitar 700 orang. Namun ia mengaku belum mendapat data berapa warga yang terluka.

Dijelaskan Jhoni, lahan yang disengketakan itu sebenarnya lahan milik negara. Rencananya di lahan itu akan dibangun rusunawa untuk prajurit. "Anggota kita kan kurang perumahan," katanya, Selasa (16/8).

Rencana pembangunan rusunawa itu merupakan hasil kerjasama Kementerian PU dan Kementerian Pertanahan. Namun tanah itu ternyata diklaim milik warga.

Menurut Jhoni, pihaknya sudah berupaya melakukan langkah-langkah persuasi terhadap masyarakat yang keberatan. Namun, pihak-pihak itu tidak hadir dalam rapat pada waktu yang telah dijanjikan. Sementara proyek tersebut harus berjalan. Namun setelah ada pengukuran tanah, masyarakat protes. Mereka mengklaim lahan tersebut milik mereka. Hingga akhirnya berbuntut unjuk rasa dan bentrokan. (dtc)

BACA JUGA: