JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Papua Barat yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2013 akan disahkan pada September ini. Namun sejumlah fihak menilai perda tersebut mengakomodir perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan yang mencapai 1.836.327 ha ini berpihak pada pemodal dan tanpa adanya proses dialog dengan masyarakat.

Perubahan yang dicatat diantaranya untuk perubahan fungsi mencapai kurang lebih 874.914 ha, perubahan peruntukan seluas 952.683 ha, dan perubahan Areal Pengguna Lain (APL) menjadi kawasan hutan seluas kurang lebih 8.730 ha.

Tentu saja Pemprov Papua Barat punya alasan yakni perubahan tersebut sebagai rasionalisasi perlunya lahan pengembangan fasilitas perkantoran, pemukiman, dan pengembangan kota lainnya. Karena adanya daerah otonomi baru seperti Kabupaten Raja Ampat, Maybrat, Tambraw, Pegunungan Arfak, dan Manokwari Selatan.

Pembangunan infrastruktur pendukung seperti jembatan, jalan, dan pelabuhan pun dibangun dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, Langkah ini diduga sebagai alasan pemanfaatan dan pengendalian ruang dalam pembangunan sektoral untuk mendukung pembangunan ekonomi Nasional, utamanya MP3EU dan pengembangan agropolitan.

"Pemerintah sama sekali tidak mempunyai niatan untuk membangun masyarakat Papua, mereka hanya cari proyek saja," tutur Zeht Gwasgwas, Ketua Dewan Adat Papua Kabupaten Fakfak dalam diskusi Papua Damai: Mengamankan Ruang Hidup Masyarakat Adat Papua, Dua Nyonya, Cikini, Minggu, (14/9).

Menurutnya, sejauh ini proses pembahasan dan perumusan substansi strategi dan pola penataan ruang RTRWP Papua Barat masih didominasi dan ditentukan negara, konsultan, dan stakeholder. Padahal dalam peraturan perundang undangan, masyarakat berhak ikut andil karena merupakan penguasa, pemilik, dan pengelola atas objek pengaturan.

Perubahan fungsi hutan Papua ini tercatat sebagai perubahan fungsi hutan yang terbesar yang pernah ada. Terdapat perubahan yang diperuntukan untuk proyek-proyek besar pemerintah nasional di bidang pertanian dan peternakan. Yang sekali lagi tidak memajukan kesejahteraan rakyat.

Zeht menuturkan bagaimana pemberian peternakan sapi untuk masyarakat oleh pemerintah mati begitu saja. Akibat pemberian pakan dan keperluan peternakan lainnya yang tidak mengikuti aturan peternakan sapi.

Tertutupnya akses informasi pemerintah kepada masyarakat pun diamini oleh Pietsaw Amafnni, Koordinator Advokasi Sosial dan Lingkungan (Jasoil). Pada November 2013 memang terdapat konsultasi publik terhadap RTRWP Papua Barat, namun anehnya dialog tersebut bukan dilakukan di wilayah Papua Barat, melainkan di wilayah Bogor yang hanya dihadiri Bupati, Kepala Dinas, pejabat terkait, dan pengusaha. Jelas ini disinyalir hanya sebagai pertemuan antara pemerintah dan pemilik modal saja.

"Sumber daya kami akan habis untuk kepentingan pengusaha, sepuluh bulan terakhir terkuak rencana sejumlah perkebunan sawit yang belum memiliki izin pelepasan hutan. Kawasan hutan produksi akan dikonversi, pulau-pulau kecil juga sudah penuh izin pinjam pakai untuk eksplorasi perdagangan. Jika ini tidak segera dihentikan, anak-cucu kami akan kehilangan cadangan masa depannya. Kami meminta pemerintah membatalkan secara total dan tidak ada kompromi sama sekali," ujarnya dalam kesempatan yang sama.

BACA JUGA: