JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kendati diwarnai sejumlah penolakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak akhirnya disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perppu mengenai pemberatan hukuman dan hukuman tambahan, seperti kebiri sebelumnya sempat ditolak oleh Fraksi Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Gerindra.  Namun setelah pimpinan sidang Agus Hermanto memberikan waktu lobi, PAN dan PKS kemudian berubah haluan dan meninggalkan Gerindra yang masih keukeuh melakukan penolakan. Akhirnya pengesahan pun meninggalkan catatan akan dilakukan revisi dan penyempurnaan secepat mungkin.

Para penolak mengungkapkan alasan penolakannya, diantaranya UU tersebut dinilai justru kurang memperhatikan rehabilitasi korban. Selain itu mereka meyakini tindakan kebiri tak akan efektif mengurangi jumlah kekerasan seksual. Bahkan justru akan membebani anggaran pemerintah yang lebih besar.

Anggota Komisi VII DPR Fraksi Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menyebut bahwa banyak organisasi dan lembaga yang berurusan langsung dengan pelaku dan korban kekerasan seksual terhadap anak juga menolak pengesahan ini. Menurutnya terdapat 99 Ormas pegiat anak-anak menolak perppu tersebut,  diantaranya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), LBH Apik, Walhi dan Kontras.

"Kami lebih mendukung langkah perlindungan korban yang komprehensif," katanya.

Walau begitu, ia menolak jika dikatakan tidak pro perlindungan anak. Bahkan dirinya sempat menyindir Menkumham RI yang tak pernah hadir dalam pembahasan dan hanya mewakilkan pada utusannya. Ia juga merasa aneh Perppu tersebut disahkan tapi akan direvisi.

"Padahal, UU Perlindungan Anak tahun 2015 sudah direvisi untuk ketiga kalinya," ujar Rahayu di DPR.

Sementara itu Ketua Komnas Perempuan Azriana‎ juga menyatakan tetap penolakan pemberlakuan UU Kebiri. Sebab hukuman ini sudah pernah diterapkan di Inggris, Jerman, dan Denmark. Hasilnya hukuman tersebut tak mengurangi kejahatan kekerasan seksual anak dan bahkan menguras anggaran negara.

"Biaya kebiri untuk satu orang per 3 bulan Rp700 ribu, biayanya cukup mahal," kata Azriana dsalam diskusi menanggapi pengesahan Perppu Perlindungan Anak menjadi UU tersebut di DPR.

Di sisi lain, UU ini juga dinilai malah kurang mengakomodir biaya visum korban yang tidak dianggarkan pemerintah. Padahal pemulihan korban kejahatan seksual memakan waktu puluhan tahun. Penerapan UU ini juga akan bertambah sulit karena IDI menolak terlibat, sebab menganggap UU ini melanggar kode etik kedokteran, tidak berperikemanusiaan, melanggar hukum HAM.

Walau begitu, Partai Gerindra menyatakan tetap menghormati pengesahan perppu tersebut menjadi UU. "Tapi nanti ditambahkan sebagai catatan bahwa Gerindra belum setuju," ujarnya.

Penolakan Gerindra juga didukung aliansi 99 yang merupakan jaringan organisasi non pemerintah yang peduli pada anak-anak korban kejahatan kekerasan seksual dan reformasi hukum. Aliansi yang dari awal mengikuti dan mengawal perppu Kebiri ini menyatakan seharusnya DPR mendorong pemerintah mengeluarkan peraturan yang memberikan hak-hak korban. Misalnya mendapatkan kompensasi yang lebih komprehensif dari negara. Lalu mendorong proses rehabilitasi yang maksimal bagi korban kejahatan seksual anak.

"Penghukuman penghilangan fungsi tubuh, juga tidak dikenal dalam sistem hukum pidana kita. Pemerintah dan DPR, sedang membawa negara ke arah hukum jinayat," kata Dian Kartikasari dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).

Padahal, sorotan yang terpenting adalah dimana dampak kasus kekerasan seksual terhadap anak. Dimana  pelakunya kepala dan atau anggota keluarga dengan penyembunyian anak-anak korban kekerasan seksual oleh keluarganya. Selain itu, pemberlakuan kebiri dikhawatirkan membuat korban mendapat ancaman dan balas dendam dari pelaku karena pelaku kehilangan jati dirinya sebagai laki-laki.

TERGANTUNG HAKIM - Di sisi lain, Ketua Komisi VIII DPR RI, Ali Taher justru menyatakan suka citanya atas pengesahan perppu ini karena setidaknya terdapat pemberatan hukuman bagi pelaku. Langkah-langkah selanjutnya yang akan didorong DPR kepada pemerintah yakni mengambil langkah-langkah lanjutan untuk mempercepat pelaksanaan undang-undang itu dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun dalam bentuk Peraturan Menteri.

"Supaya ada landasan hukum yang kuat terhadap penerapan hukum bagi pelaku kejahatan yang di luar batas-batas kemanusiaan," katanya.

Ia menjelaskan, meski sudah diundangkan tetapi pelaksanaan UU ini masih akan tergantung pada hakim, memasukkan hukuman tersebut dalam diktum keputusannya atau tidak. Jika hakim tidak memasukkan kebiri dalam diktum keputusannya, maka hukuman tidak dapat diberlakukan. Ali juga menjelaskan, hukuman kebiri baru akan diterapkan di akhir masa tahanan terpidana.

Sementara itu, terkait ketidaksediaan IDI sebagai eksekutor, ia menyarankan penggantian oleh dokter yang bekerja di instansi pemerintahan. Yakni dokter yang ada di lembaga pemasyarakatan karena memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut.

"Atau dokter pada rumah sakit-rumah sakit Kepolisian Republik Indonesia yang juga memiliki kewenangan untuk itu," katanya.

BACA JUGA: