JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah pemerintah Provinsi Kalimantan Timur bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menetapkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ditentang. Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur (KMS) dan perwakilan Organisasi Nasional mengajukan upaya hukum untuk membatalkan PP nomor 1 tahun 2016 melalui jalur Judicial Review ke Mahkamah Agung.

Penetapan RTRW Kalimantan Timur diduga untuk menyiasati kekosongan hukum. Hal itu lantaran adanya Peraturan Pemerintah soal Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 sementara RTRW diterbitkan sebelum adanya ketetapan PP tahun 2016. Padahal, KLHS merupakan acuan utama saat menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah di setiap daerah.

"Penetapan RTRW itu Februari 2016. PP terbit Oktober 2016, jadi ada kesan memanfaatkan kekosongan hukum," kata Hari Darmanto, advokat dari Jaringan Advokat Lingkungan hidup (JAL) Kalimantan Timur, melalui keterangan tertulisnya kepada gresnews.com, Selasa (28/2).

Muhnur Satya Prabu, kuasa hukum KMS, berharap dengan adanya Judicial Review yang diajukan KMS pada pemerintah daerah Kalimantan Timur tidak membuat langkah-langkah hukum yang kontraproduktif. Dia khawatir RTRW tersebut akan menjadi landasan bagi pemda Kaltim untuk melakukan langkah hukum terkait RTRW padahal Perda yang dijadikan landasan sedang di-Judicial Review di MA.

"Selama proses ini berlangsung Gubernur Kaltim jangan pernah membuat tindakan hukum yang berdasarkan pada Perda Tata Ruang termasuk diantaranya menerbitkan izin-izin di kawasan dalam struktur dan pola ruang, tata ruang itu sendiri," imbuhnya.

Sementara itu, Srikanti Suargi yang merupakan warga Kalimantan Timur, juga mendukung upaya mengajukan uji materil terhadap perda tersebut. Menurut Suargi, langkah Pemda Kalimantan Timur dengan mengesahkan Perda Nomor 1 Tahun 2016 memberi dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat Kaltim.

Dia menuturkan, selama ini warga menggantungkan kehidupannya pada kawasan karst yang terdapat di Kalimantan Timur. Dengan begitu, kalau area karst tersebut ditambang maka akses warga terhadap air yang merupakan sumber utamanya dari karst tersebut terganggu. Bahkan sudah ada beberapa izin pertambangan yang berpotensi akan mengancam sumber air warga.

"Jika pegunungan karst itu ditambang maka akan dipastikan kami kehilangan sumber air bersih dan masyarakat terpaksa harus membeli, apalagi izin pertambangan sudah dikeluarkan," ujar Suargi.

POTENSI MERUSAK - Menanggapi itu, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah melihat ada beberapa kejanggalan saat Pemda Kalimantan Timur mengesahkan Perda RTRW tersebut. Menurut aktivis tambang ini, kebijakan Pemda Kaltim tersebut malah akan membuka peluang kerusakan lingkungan di Kalimantan Timur semakin massif dilakukan.

Lebih jauh Merah mengungkapkan alam menjadi hal yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Kalimantan Timur. Dengan begitu, kebijakan RTRW tentu akan berdampak pada kehidupan masyarakat yang mengandalkan pada sektor alam.

"Produk kebijakan ini kembali melanggengkan penghancuran ruang hidup masyarakat, mengabaikan keselamatan warganya," kata Merah.

Selain alasan luasan izin tambang dalam RTRW tersebut yang merugikan kepentingan warga, Merah melihat komitmen Pemda Kaltim untuk melindungi kawasan karst masih sangat kemah. Luasan karst Kalimantan Timur yang masuk ke dalam hutan lindung tidak sesuai dengan ketentuan Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregional Kalimantan (P3EK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

KLHK mencatat Provinsi Kalimantan Timur memiliki luasan karst seluas 3.642.860 hektare. Sementara Pemda menetapkan Perlindungan kawasan karst hanya 307.337 hektare luasan karst sebagai kawasan lindung atau hanya 8,43 % (persen) dari seluruh kawasan Karst di Kalimantan Timur. Disamping itu, luasan alokasi hutan untuk tanaman pangan tidak sebanding dengan alokasi yang diberikan kepada sektor pertambangan maupun perkebunan kelapa sawit 3,5 juta hektare.

"Sementara luasan lahan tanaman pangan alokasinya sangat kecil yakni 412.096 hektare," urai Merah.

"Bukan hanya menggadaikan ruang hidup warganya, kebijakan mengenai infrastruktur pun mengabaikan keselamatan warga," kata Merah.

Selain itu juga, kata Merah, RTRW tersebut hanya menguntungkan pihak pemilik tambang dengan membuat infrastruktur yang melayani pemilik pertambangan. Dia menyebut dalam lampiran RTRW adanya pembangunan jaringan dan layanan kereta api yang menghubungkan sumber daya alam menuju pelabuhan tongkang batu bara.

Hal itu, menurut Merah, kontras dengan janji Presiden Jokowi untuk memberikan kawasan perhutanan sosial yang bisa dikelola masyarakat. Janji tersebut, menurut Merah, tidak sesuai dengan komitmen pemerintah pusat.

"Lalu bagaimana, janji Jokowi 12,7 juta hektare wilayah kelola rakyat, perhutanan sosial ke mana? Apakah ada termuat di dalam Perda RTRW?" tanya Merah.

Atas dasar itu, KMS berharap pemerintah akan memperhitungkan kepentingan warganya saat membuat kebijakan pada sektor tambang. JR yang diajukan ke MA, sambung Merah, merupakan protes warga atas kebijakan di sektor tambang yang hanya berorientasi mengejar keuntungan ekonomi tetapi mengabaikan keberlangsungan warga.

"Perda RTRW Kaltim yang pada prinsipnya adalah cacat secara formil juga secara materil tidak berdasar sistem fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan," tutup Merah.

BACA JUGA: