JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemilu legislatif dan presiden akan digelar pada Mei 2019, namun tahapannya  harus sudah dimulai 2 tahun sebelumnya atau pada 2017. Hanya saja hingga saat ini  pemerintah belum juga menyerahkan draft RUU Pemilu kepada  DPR untuk dibahas. Adanya keterlambatan ini, DPR mengaku hanya memiliki waktu 4 sampai dengan 5 bulan untuk membahasnya.

Anggota Komisi II DPR RI Muhamad Lukman Edy mengungkapkan dengan sedikitnya waktu yang dimiliki DPR membahas RUU Pemilu, akan berpotensi melahirkan Undang-undang yang rawan digugat. Sebab untuk melahirkan Undang-undang yang berkualitas, DPR membutuhkan waktu yang cukup dan tidak terburu-buru untuk membahasnya.

"Bila pemerintah tidak segera menyerahkan draft RUU tersebut maka dikhawatirkan akan terjadi banyak masalah," ujar Lukman di DPR RI, Rabu, (19/11).

Padahal revisi UU Pemilu sangat penting untuk segera dilakukan. Selain karena perubahan sistem, kebutuhan untuk meratifikasi keputusan Mahkamah Agung tentang Pilpres dan Pileg yang dilakukan serentak juga sangat mendesak. Sebab dari putusan ada makna yang berubah dan harus direvisi. Jika pemerintah terus berlama-lama untuk menyerahkan Draft RUU Pemilu,  bisa mengakibatkan UU pemilu gagal disahkan sesuai waktunya.

"Terlalu mahal harga yang harus dibayar jika berlama-lama di RUU Pemilu," ungkapnya.

Untuk itu, ia mendesak Setneg untuk menjadikan RUU Pemilu sebagai prioritas. Ia meyakini bahwa persoalan  ini bukan terletak pada Presiden, akan tetapi birokrasi yang berada di bawah presiden yang tidak dapat membedakan mana yang harus diprioritaskan dan mana yang tidak.

Sebab dari kabar terakhir yang ia dapatkan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) baru sampai pada tahapan harmonisasi di internal Kemendagri dan pihak lain seperti KPU, Bawaslu dan Menkumham. Sedangkan untuk draftnya sendiri sudah masuk ke presiden. "Jika pembahasan RUU terlambat maka DPR-lah yang akan disalahkan masyarakat," ujarnya.

Senada dengan rekannya,  sesama anggota Komisi II Yandri Susanto menilai pemerintah tidak serius menyikapi RUU Pemilu. Menurutnya, Revisi UU pemilu tersebut sejatinya adalah inisiatif dari pemerintah, sehingga pemerintah seharusnya sudah menyerahkan draft RUU tersebut ke DPR.

Padahal jika berhitung waktu, DPR akan segera memasuki masa reses sampai dengan bulan November sampai dengan awal bulan Desember, setelah itu DPR akan memasuki masa reses kembali. Dengan waktu yang begitu sempit untuk melakukan pembahasan, maka tahapan pemilu bisa terganggu akibat UU yang dilahirkan nanti tidak optimal.

"Pemerintah sudah berjanji dari dua bulan yang lalu," ungkap Yandri Susanto di DPR RI, Rabu, (19/11).

JAMIN TAK MOLOR - Pemerintah sendiri mengaku, draft RUU Pemilu sudah selesai dibahas, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa belum diserahkannya draft RUU tersebut karena masih menunggu Amanat Presiden (Ampres). Seluruh proses harmonisasi yang dilakukan Kemendagri dengan Kemenkumham sudah selesai.  Sehingga Tjahjo meyakini penyelesaian RUU Pemilu tidak akan molor.

"Penyerahannya tinggal menunggu waktu," ujar Tjahjo, Rabu, (18/11).

Ia juga menyatakan bahwa penyerahan draft RUU Pemilu akan segera dilakukan sebelum masa reses DPR, oleh karena itu ia meyakini DPR masih memiliki cukup waktu untuk menyelesaikan revisi UU Pemilu. "Sebab target yang dimiliki pemerintah untuk menyelesaikan Revisi UU tersebut adalah April  2017," ujarnya.

Dikabarkan bahwa belum ditandatanganinya Ampres Draft RUU Pemilu oleh Presiden Jokowi disebabkan kesibukan Presiden di luar kota. Kunjungan ke luar kota tersebut lah yang menjadikan Jokowi belum dapat mengeluarkan Ampres tersebut. Komitmen Jokowi yang menginginkan RUU Pemilu berlaku jangka panjang juga disebut sebagai alasan lain lambannya Ampres dikeluarkan. Apabila isi dari Draft tersebut tidak sesuai maka akan berpotensi dibongkar pasang Mahkamah Konstitusi.

BACA JUGA: