JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dinilai merupakan jalan pintas untuk mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab masih ada sejumlah alternatif yang bisa dilakukan pemerintah Jokowi untuk mengamankan APBN daripada harus menaikan BBM.

Pengamat ekonomi dan kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy mengatakan langkah menaikkan harga BBM subsidi justru akan semakin menambah beban hidup masyarakat. Menurutnya langkah menaikkan harga BBM subsidi merupakan jalan pintas untuk mengatasi defisit transaksi berjalan dan mengurangi defisit anggaran. Padahal dengan upaya-upaya tersebut justru masyarakat yang akhirnya menanggung beban.

Ichsanuddin mempertanyakan apakah masyarakat kaya menanggung beban dari kenaikan BBM subsidi. Menurutnya masyarakat kaya tidak menanggung beban atas kenaikan BBM subsidi, tetapi yang menanggung kenaikkan BBM adalah masyarakat menengah ke bawah. Hal itu dikarenakan jumlah kendaraan motor yang dimiliki masyarakat menengah kebawah sudah hampir 80 juta. Artinya, pengguna BBM lebih banyak motor daripada mobil.

"Jadi kalangan bawah yang menanggung beban kesalahan pengelolaan, pengaturan, pengurusan, dan kepemilikan sumber daya energi," kata Ichsanuddin, Jakarta, Minggu (21/9).

Menurut Ichsanuddin opsi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi nampaknya akan ditempuh oleh presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) untuk mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat terlalu besar anggaran subsidi. Namun, langkah menaikan harga BBM subsidi ini akan menambah beban hidup masyarakat menengah ke bawah.

Menurut Ichsanuddin sebenarnya ada upaya lain selain menaikan harga BBM subsidi untuk mengatasi beban APBN. Pertama, pemerintahan Jokowi harus mengatur belanja Kementerian dan Lembaga yang mencapai Rp600 triliun. Kedua, mengoptimalisasi alokasi belanja lainnya di seluruh kementerian/lembaga. Misalnya, menghapus anggaran perjalanan dinas yang fiktif, menghapus seminar fiktif, meniadakan kebijakan sosialisasi yang fiktif, menihilkan rapat-rapat fiktif, dan menihilkan belanja yang mewah.

Ketiga, naikkan dulu tax ratio atau naikkan pendapatan. Artinya, potensi ada di perusahaan besar domestik dan asing yang selama ini memang memainkan perpajakan.

Keempat, pemerintah harus jujur dalam mengelola BBM subsidi. Artinya bongkar struktur biayanya sehingga masyarakat akhirnya tahu berapa biaya pokok produksi dalam negeri dan luar negeri, berapa subsidi yang harus ditanggung pemerintah. Kelima, tingkatkan lifting sambil menurunkan biaya cost recovery.

"Apabila ini bisa diatur belanjanya, maka sebenarnya BBM subsidi tidak perlu terburu-buru harus dinaikkan," kata Ichsanuddin.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan pekerjaan rumah dari pemerintahan Jokowi-JK adalah tekanan fiskal akibat besaran subsidi bahan bakar minyak (BBM). Menurutnya jika besaran subsidi tidak dicarikan jalan keluarnya maka di tahun 2015 besaran subsidi akan kembali membawa masalah di sektor APBN.

Enny menjelaskan sebelum mendesign agar subsidi tidak menjadi beban di APBN, pemerintahan kedepan harus mencari langkah antisipasinya terlebih dahulu, karena tidak mungkin pemerintahan Jokowi langsung menaikkan BBM, jika hal itu terjadi maka akan timbul perlambatan ekonomi.

Dia menuturkan untuk langkah antisipasinya janji JK haruslah terealisasi yaitu mengkonversi minyak ke gas. Menurutnya potensi gas di Indonesia sudah siap pakai tapi ada beberapa persoalan yang harus diselesaikan yaitu infrastruktur. Menurutnya persoalan penyediaan lahan yang menjadi hambatan pengembangan infrastruktur gas. Untuk itu perlu ada koordinasi dan model kepemimpinan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan antar sektor.

"Bukan karena kenaikan BBM bagus atau tidak bagus tapi kita harus melihat secara keseluruhan. Oleh karena itu harus dipercepat langkah-langkah antisipasinya yaitu mengkonversi minyak ke gas," kata Enny.

BACA JUGA: