JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2016 tertanggal 26 Agustus 2016, tentang upaya penghematan pada 85 Kementerian/Lembaga (K/L) dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun Anggaran 2016 menjadi dilematis. Di satu sisi langkah penghematan itu dilakukan untuk menyelamatkan postur APBN-P 2016 agar tak terjadi defisit yang melebihi ketentuan, namun pemotongan anggaran juga memiliki konsekuensi pada jalannya roda pemerintahan.

Terutama pada beberapa lembaga dan kementerian yang membawahi penegakan hukum, pemotongan anggaran diprediksi bakal menurunkan kinerja para aparat hukum dan memperlemah upaya pemberantasan korupsi. Untuk diketahui, beberapa anggaran yang dipangkas oleh pemerintah untuk lembaga hukum diantaranya Kepolisian Negara sebesar Rp2,959 triliun. Kemudian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebesar Rp550,908 miliar. Sementara, untuk Mahkamah Agung sebesar Rp192,536 miliar dan Kejaksaan Agung sebesar Rp18,032 miliar.

Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi juga dipangkas anggarannya sebesar Rp13,001 miliar. Selanjutnya, pemotongan untuk Mahkamah Konstitusi sebesar Rp.10,849 miliar, Komisi Yudisial sebesar Rp3,873 miliar, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sebesar Rp2,744 miliar.

Direktur Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan, instruksi Presiden ini berwajah sadis karena alokasi anggaran penegakan hukum atau lembaga lembaga yang bekerja di wilayah hukum yang diamputasi sebesar Rp3.751.169.872.000 untuk 8 kementerian atau lembaga negara.

Uchok menjelaskan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2016 menyebutkan pemangkatan anggaran itu dengan istilah langkah penghematan belanja kementerian atau lembaga. Namun hakikatnya pemerintah sama saja dengan menghapus anggaran untuk kebutuhan dan kepentingan penegakan hukum.

"Para koruptor akan berpesta, karena alokasi anggaran pada aparat hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian, KPK, dan PPATK sangat minim dan akan susah menjangkau para maling anggaran negara," kata Uchok pada gresnews.com, Senin (5/9).

Menurutnya, dampak atas pemotongan anggaran membuat para aparat hukum menjadi mandul. Biaya operasional lembaga penegak hukum ini tentu jauh berkurang sehingga semakin sulit dalam membongkar kejahatan korupsi yang saat ini memiliki modus kian beragam.

Selain itu, kata dia pemotongan anggaran ini juga berdampak kepada hilangnya rasa aman masyarakat. Misalnya anggaran Kepolisian yang dipangkas sampai Rp2,959 triliun. Amputasi anggaran kepolisian ini, sungguh besar, dan hal ini bisa mengakibatkan publik tidak punya rasa aman dan nyaman lagi karena tingkat kriminal meningkat lantaran akan ada pembiaran dari pihak kepolisian lantaran anggaran minim.

"Kalau ingin publik, menyuruh polisi menanganani kasus kasus kejahatan, iya harus bayar karena kepolisian tidak punya biaya atau minim alokasi anggarannya," tegas Uchok.

Terkait pemangkasan anggaran tersebut, CBA (Center For Budget Analysis), sangat kecewa dengan sikap DPR yang tidak melakukan apa apa untuk menolak amputasi anggaran oleh intruksi Presiden Jokowi ini. Padahal, DPR itu punya kekuasaan seperti punya hak budget dan pengawasan tetapi tidak mereka gunakan sama sekali. Dan sampai saat ini, hanya bisa diam, dan minim melakukan protes atas amputasi anggaran ini.

Anggota dewan seperti ketakutan dengan Presiden Jokowi. Padahal amputasi anggaran, tanpa ada persetujuan dari anggota dewan. "Kami menduga, jangan jangan, dengan diamnya sikap DPR ini, ternyata mereka senang, dan gembira sekali dengan amputasi anggaran kepada lembaga KPK dan PPATK lantaran akan lebih leluasa "main-main" proyek proyek APBN tanpa disadap oleh KPK," pungkasnya.

Sementara itu, pakar hukum pidana dan pencucian uang, Yenti Ganarsih, mengatakan pemangkasan 8 lembaga penegakan hukum secara logis pasti akan sangat mempengaruhi laju penegakan hukum.

Yenti mengaku, bahwa saat ini anggaran lembaga hukum sudah terseok-seok kenapa delapan lembaga tersebut justru diamputasi. "Saya tidak tahu kebijakan priotitasnya, kenapa lembaga penegakan hukum termasuk yang diamputasi anggarannya. Sedangkan angka kejahatan sangat tinggi," kata Yenti kepada gresnews.com, Senin (5/9).

TERSISA RATUSAN KASUS - Menurunnya jumlah anggaran yang diterima setiap lembaga penegak hukum, bisa jadi salah satu sebab menurunnya kinerja penanganan perkara di masing-masing lembaga. Namun persoalan anggaran tersebut bukan alasan untuk membandingkan kinerja antarlembaga.

"Alokasi anggaran per kasus/perkara tidak terlalu berbeda antara KPK, Kejaksaan dan Polri," ujar staf Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah di Sekretariat ICW, Jakarta, Minggu (28/8/) lalu.

Menurut data ICW, biaya penanganan satu perkara korupsi di kejaksaan sebesar Rp 200 juta. Jika dirinci, jumlah tersebut digunakan sebesar Rp 25 juta di tahap penyelidikan, Rp50 juta di tahap penyidikan, Rp 100 juta di tahap penuntutan, dan Rp 25 juta saat eksekusi putusan.

Sementara, di kepolisian, biaya penanganan satu perkara korupsi sebesar Rp 208 juta. Biaya tersebut digunakan hanya pada saat penyelidikan hingga penyidikan. Sedangkan, biaya penanganan satu perkara di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diperkirakan hanya sebesar Rp 141 juta.

Adapun, KPK menggunakan pagu anggaran sebesar Rp 12 miliar, yang diproyeksikan dapat menangani 85 perkara.

Berdasarkan pemantauan ICW sejak periode semester I tahun 2010 hingga semester I tahun 2016, kinerja lembaga penegak hukum dalam kasus korupsi cenderung menurun.

Penurunan terjadi pada sisi nilai kerugian negara, sementara jumlah tersangka cenderung stagnan.

Menurut Wana, salah satu penyebab penurunan kinerja lembaga penegak hukum diduga akibat adanya pemotongan anggaran penindakan di setiap lembaga penegak hukum.

Sementara itu, terkait jumlah penanganan yang berbeda-beda, menurut Wana, bukan disebabkan oleh perbedaan jumlah anggaran. Namun, bisa jadi hal itu diakibatkan perbedaan kompetensi penyidik.

Hingga 30 Juni 2016, tercatat ada 755 kasus dugaan korupsi yang masih dalam tahap penyidikan di 3 institusi penegak hukum. Terbanyak yakni sedang ditangani oleh kejaksaan dengan total 527 kasus.

Pada semester II 2015, aparat penegak hukum memiliki 911 kasus korupsi yang masih ada di tahap penyidikan. Hasil pemantauan atas perkembangan penanganan kasus tersebut pada semester I 2016 ditemukan hanya 156 kasus yang naik ke tahap penuntutan. Sedangkan sisanya masih di tahap penyidikan. Tunggakan terbesar adalah kejaksaan 527 kasus, kepolisian 211 kasus, dan KPK 17 kasus.

Wana selanjutnya menjelaskan beberapa contoh kasus yang masih dalam tahap penyidikan. Pertama adalah kasus dugaan korupsi pengadaan UPS di lingkungan Pemprov DKI Jakarta yang menimbulkan kerugian negara Rp 50 miliar. Selanjutnya ada dugaan korupsi pengadaan e-KTP tahun anggaran 2012. Kerugian negara yang ditimbulkan ditaksir mencapai Rp 1,12 triliun.

BACA JUGA: