JAKARTA, GRESNEWS.COM - Meminjam istilah kaum muda, pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang galau memikirkan permintaan perpanjangan kontrak oleh PT Freeport Indonesia. Bagai memakan buah simalakama, bila permintaan itu dituruti saat ini bisa berujung impeachment alias pemecatan Presiden Jokowi oleh DPR, jadi pemerintah tak mau salah langkah.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan sejatinya presiden memberi sinyal bahwa pemerintah akan berkomitmen memperpanjang izin operasi Freeport di Papua. Namun, pemerintah khawatir dianggap melanggar aturan perundangan jika meluluskan niat Freeport itu saat ini.

"Sinyalnya sudah jelas bahwa pemerintah beritikad menjaga kelangsungan operasi Freeport di Timika, dengan penekanan agar keberadaan mereka dapat memberi manfaat maksimal bagi pembangunan kawasan Papua dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Hanya saja, harus mencari momentum yang tepat dan mencari solusi hukum agar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 tahun 2014 tidak dilanggar," tegas Sudirman Said, Kamis (2/7) pekan lalu.

PP Nomor 77 Tahun 2014 merupakan perubahan ketiga atas PP Nomor 23 Tahun 2010. Isinya membahas tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Di Pasal 112 PP itu disebutkan bahwa Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani sebelum adanya PP Nomor 23 tahun 2010 tetap berlaku sampai jangka waktunya berakhir. Sedangkan Pasal 112B menjelaskan bahwa untuk mendapatkan izin perpanjangan operasi tambang, perusahaan pemegang KK harus mengajukan permohonan kepada Menteri ESDM, paling cepat dua tahun sebelum kontrak berakhir.

Freeport sendiri saat ini menggarap tambang emas di Papua dengan modal Kontrak Karya yang habis 2021. Sesuai PP Nomor 77 Tahun 2014, Freeport baru bisa mengajukan perpanjangan izin operasinya pada tahun 2019. Tepat dua tahun sebelum masa KK Freeport berakhir. Masalahnya, Freeport meminta perpanjangan saat ini. Freeport setuju mengubah status operasinya di Papua, dari Kontrak Karya (KK) menjadi menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), demi mendapat perpanjangan itu. Hal inilah yang membuat pemerintah galau, khawatir dianggap melanggar PP Nomor 77 Tahun 2014.

DUA PILIHAN - Anggota Komisi VII DPR RI Satya Wira Yudha mewanti-wanti pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait dengan perpanjangan kontrak Freeport. Sebab, sesuai aturan yang ada wilayah kerja pertambangan Freeport seharusnya dikembalikan ke pemerintah dulu, bersamaan dengan habisnya masa kontrak karyanya pada tahun 2021. Pemerintah lalu dapat memasukannya sebagai bagian dari wilayah pencadangan negara (WPN). Selanjutnya, dengan sepersetujuan DPR RI, pemerintah bisa menjadikan WPN tersebut menjadi wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Setelah berstatus WIUP, wilayah baru bisa dilelang. "Itu prosedurnya," ujar anggota Fraksi Golkar itu.

Satya mengatakan, jika mau mengikuti prosedur tersebut, maka pemerintah harus melalui mekanisme pengubahan Undang-Undang (UU). Cara pertama, pemerintah bisa menunggu revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba). Pada tahun 2015 ini UU Minerba menjadi salah satu garapan prioritas DPR RI.

Kedua, pemerintah dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) atas UU Minerba yang terkait dengan perpanjangan Kontrak Karya. Karena Perppu, maka inisiatif pengubahan harus datang dari pemerintah. Pemerintah membuat draft usulan dan selanjutnya diajukan ke DPR RI untuk dimintakan persetujuan.

"Saya tetap sarankan kepada pemerintah untuk berpikir. Satu, untuk menunggu revisi UU minerba, atau Perppu," ujarnya, Jumat (3/6).  

Satya melanjutkan, dari kedua pilihan itu Perppu menjadi pilihan yang paling masuk akal karena ada kebutuhan yang mendesak. Masalah yang terjadi terkait dengan smelter bisa menjadi salah satu pertimbangan. Sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun  2009 tentang Minaral dan Batubara (Minerba), perusahaaan tambang harus membangun smelter selambat-lambatnya pada akhir tahun 2014.

Namun kenyataannya sampai saat ini banyak perusahaan yang belum membangunnya. Termasuk Freeport. Seharusnya mereka tidak boleh mengekspor mineral mentah lagi. Namun, aturan ini kemudian disiasati dengan dibuatnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014. Setelah itu PP ini ditafsiri dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014. Hal ini menurutnya sudah melanggar UU Minerba. "Kasarnya, UU nya dianulir oleh PP," katanya.

Pasal 122C PP Nomor 1 Tahun 2014 menyebutkan bahwa pemegang kontrak karya pertambangan mineral dan batubara wajib melakukan pemurnian hasil penambangan di Indonesia, sesuai amanat UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009. Sedangkan Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 justru meringankan kewajiban pemurnian itu. Perusahaan pemegang Kontrak Karya dan izin Usaha pertambangan (IUP) yang telah memenuhi batasan minum pengolahan dan pemurnian, boleh melakukan ekspor hasil pengolahan dalam jumlah tertentu.

Satya mengatakan, agar masalah-masalah yang muncul terkait smelter dan perpanjangan kontrak karya Freeport bisa diselesaikan dengan cepat, pemerintah bisa mengeluarkan Perppu. "(Revisi UU Minerba) sudah masuk prolegnas. Tapi kalau kita lihat Freeport dan industri-industri mineral yang belum membangun smeleter, itu kan kebutuhan besok pagi. Bukan kebutuhan 2021. Di situ kenapa Perppu menjadi solusi," katanya.

Menurutnya, tanpa mengubah UU melalui revisi atau Perppu maka kebijakan yang diambil Presiden Jokowi terkait perpanjangan Freeport tidak kuat sandaran hukumnya. Dan ini dapat menjadi masalah hukum yang tidak sederhana, jika tidak diputuskan dengan cermat.

"Nah, kita mau tunggu 2021 atau kita mau mempercepat. Kalau mau mempercepat revisilah UU, kalau pengen cepat lagi Perppu,” katanya.

PRESIDEN BISA DITURUNKAN - Pakar Hukum dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana juga meminta pemerintah cermat menghitung langkah. Jika tidak, kebijakan terkait perpanjangan kontrak Freeport bisa menjadi bumerang.

Hikmahanto sudah mewanti-wanti Presiden Jokowi terkait permintaan perpanjangan kontrak yang diajukan oleh Freeport. Demi perpanjangan itu, Freeport bersedia mengganti status operasi tambang tembaga, emas dan perak di Timika, Papua, dari KK menjadi IUPK.

"Saya bilang, ini hati-hati. Ini bisa penyelundupan hukum," katanya pada gresnews.com, Jumat (3/7).

Penyelundupan hukum itu, terjadi saat status KK diubah menjadi IUPK. Sedangkan dengan mengantongi IUPK itu Freeport otomatis bisa melanjutkan operasinya selama 20 tahun. "Kalau misalnya (diubah di tahun) 2015, maka tambah 20 tahun, jadi sampai tahun 2035," kata Hikmahanto.

Padahal, status KK Freeport baru habis di tahun 2021. Dan menurut PP Nomor 77 Tahun 2014, KK baru bisa diperpanjang oleh Pemerintah 2 tahun sebelum kontrak habis.

Menurutnya, rakyat Indonesia juga belum tentu setuju jika Pemerintah memutuskan mengubah KK Freeport menjadi IUPK. Mereka bisa saja akhirnya menurunkan Presiden Jokowi di tengah jalan. Celakanya, jika kebijakan itu dianggap merugikan keuangan negara maka Presiden Jokowi juga bisa diperiksa oleh aparat penegak hukum.

"Iya kalau rakyat setuju, kalau nggak setuju, Pak Jokowi turun. Mungkin Pak Jokowi menjadi aparat presiden pertama yang dipanggil-panggil penegak hukum. Itu, makanya saya saya ingatkan kepada bapak Presiden," ujarnya.

IKUTI ATURAN MAIN - Menurut Hikmahanto, wilayah pertambangan yang habis masanya harus dikembalikan ke pemerintah dan dimasukkan dalam wilayah pencadangan nasional (WPN). Termasuk wilayah tambang yang digarap Freeport di Papua. Jika berstatus WPN, seharusnya wilayah itu ditawarkan dulu ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Jika BUMN tidak berminat, wilayah itu baru bisa ditenderkan. Sehingga tidak bisa langsung diminta lagi oleh Freeport untuk digarap. "Nggak bisa langsung masuk ke Freeport," katanya.

Selain itu, Pemerintah mungkin bisa mengubah PP yang dibuatnya. Artinya, pemerintah mengubah atau merivisi peraturan PP Nomor 77 Tahun 2014. PP baru yang memungkinkan Freeport bisa mengajukan izin perpanjangan operasi sebelum 2019. Para pejabat pengambil kebijakan belum tentu berani mengambil risiko untuk mengubah atau merevisi aturan di PP itu.

Mereka berisiko dipanggil aparat penegak hukum karena dianggap melanggar undang-undang. "(Aturan di PP) itu kan dua  tahun sebelum berakhir, berarti kan 2019. Lalu diubah, dimajuin lah sampai sekarang. Khawatir kita, pejabat yang mengubah PP itu. Karena nggak melibatkan DPR RI, ‘rakyat’. Pasti ini dia ada apa-apanya, takutnya gitu. Meskipun dia nggak punya niat jahat, tapi kan bisa dipanggil," kata Hikmahanto.

Untuk itu, Hikmahanto mengimbau kepada para pelaku usaha pertambangan untuk memahami posisi pemerintah. Menurutnya, para pengambil kebijakan saat ini memang ingin melakukan upaya debirokratisasi, menciptakan iklim investasi yang kondusif dan lain sebagainya. Namun, mereka juga takut jika kebijakan yang diambil justru menjadi bumerang bagi dirinya.

"Tetapi ketika dia harus mengambil keputusan dan ini bertentangan dengan aturan, dan akan berhadapan nantinya dengan aparat penegak hukum, mereka langsung bilang ya tunggu dulu, saya nggak berani," katanya.

Kekhawatiran itu yang menurut Hikmahanto tengah menghinggapi Presiden Jokowi saat ini. "Kalau nggak salah yang kemarin itu, pertemuan antara Pak Moffet (Chairman Freeport McMoRan Inc.) dengan presiden, presiden nggak bilang saya mau kasih perpajangan. Padahal sudah ditungguin satu bulan. Karena beliau khawatir juga kalau dianggap melanggar," katanya.

Kekhawatiran itu bisa muncul, karena tidak ada pelibatan masyarakat, dalam hal ini DPR dalam proses pembuatannya. Prosesnya tidak transparan dan aturan baru tersebut bisa dianggap akibat dari Freeport, atau aturan yang dibuat karena ada kebutuhan Freeport.  Menurut Hikmahanto, jika pemerintah membuat aturan baru, maka yang harus diketengahkan adalah bukan dalam rangka merevisi PP Nomor 77 Tahun 2014. Namun, lebih dalam rangka mengisi kekosongan hukum, yaitu bagaimana jika pemegang KK mau mengubah KK menjadi IUPK sebelum masa berlaku KK berakhir. (Agus Hariyanto)

BACA JUGA: