JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pertempuran sengit antara koalisi partai politik yang sepanas di pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, diprediksi akan terjadi di pilkada Jawa Barat tahun 2018 mendatang. Seperti diketahui, tahun depan, sejumlah daerah akan menggelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Tiga provinsi yakni Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur akan menjadi ´pertarungan sengit´ antar partai politik.

Maklum tiga daerah tersebut selama ini menjadi kunci keberhasilan di Pemilu nasional. Namun Jawa Barat dinilai akan menjadi ajang pertempuran paling sengit. Peneliti Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes memprediksi, PKS dan Gerindra yang sukses di Pilgub DKI akan kembali berkoalisi di Jawa Barat.

"Kemenangan di DKI akan memberikan kenyamanan, memberikan angin segar dua partai ini (PKS dan Gerindra) untuk kembali berkoalisi," kata Arya kepada wartawan di Jakarta, Minggu (30/4).

"Chemistry mereka sudah dapat dan dari sisi soliditas dan mesin partai di akar rumput mau pun di tingkat elite partai (PKS dan Gerindra) tidak ada pertentangan," tambah Arya.

Sebaliknya jika PKS berkoalisi dengan PDIP, meski elite partai ketemu tapi di akar rumput bisa terjadi perbedaan pandangan. Arya memprediksi PDIP tidak akan berkoalisi dengan PKS.

Menurut dia, PDIP akan menjadikan Pilgub Jawa Barat sebagai pertaruhan untuk menuju Pemilu 2019. Partai berlambang moncong putih ini akan mengerahkan seluruh sumber daya mereka untuk menang di Bumi Parahiyangan tersebut.

Maklum tahun 2017, PDIP menderita kekalahan Pilkada di tiga daerah strategis yakni: DKI Jakarta, Banten dan Gorontalo. "PDIP kalah (pilkada) di tempat-tempat stretagis seperti DKI Jakarta, Banten dan Gorontalo. Tentu Pilgub Jawa Barat akan menjadi pertaruhan bagi PDIP," kata Arya.

Setelah menderita kekalahan di tiga tempat strategis tersebut, papar Arya, PDIP akan melakukan evaluasi besar-besaran. Evaluasi khususnya akan dilakukan terhadap Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) PDIP. Selain Jawa Barat, PDIP juga akan mengerahkan sumber daya maksimal di Pilgub Jawa Tengah dan Pilgub Jawa Timur.

"Karena kalau mereka kehilangan Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah akan sangat berbahaya untuk kesuksesan performa di Pemilu nasional 2019," papar Arya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari menganalisis, partai-partai akan menjadikan Pilgub Jawa Barat sebagai arena ´pertarungan´ sesungguhnya. Ini bisa dimaklumi karena, pertama, berdasarkan pengalaman sejak Pemilu 1999, partai pemenang di Jawa Barat akan menjadi peraih suara terbanyak dalam pemilu tingkat nasional.

"Berbeda dengan Jakarta, partai yang menang di Jakarta belum tentu jadi pemenang di tingkat nasional," kata Qodari kepada wartawan di Jakarta, Rabu (26/4).

Alasan kedua, tak ada juara bertahan di Jawa Barat. Setiap periode pemilu di Jawa Barat, pemenangnya selalu berganti. Misalnya pada 2014 sebagai pemenang adalah PDIP. Sebelumnya, pada 2009, Partai Demokrat unggul. Pada 2004, Partai Golkar keluar sebagai pemenang di Jawa Barat.

"Pemilih Jawa Barat sangat cair, bayangkan tidak ada juara bertahan. Tiap kali pemilu pemenangnya ganti-ganti. Karakter pemilih orang Sunda luwes," tutur Qodari.

Melihat dua fakta tersebut, Qodari yakin semua partai politik akan menjadikan Pilgub Jabar sebagai prioritas utama menuju 2019. "Menurut saya, hampir semua partai menjadikan Jawa Barat menjadi salah satu prioritas. Di antara 171 pilkada di 2018, The most important itu Jawa Barat," ucap dia.

"Menuju 2019 itu salah satu kuncinya memenangkan Pilgub Jawa Barat," kata Qodari.

KOALISI PERMANEN - Partai Gerindra sendiri dalam menghadapi beberapa ajang pilkada ke depan mengindikasikan akan terus menjalin koalisi dengan PKS. Format seperti itu akan terus diberlakukan di setiap pilkada, hanya ditambah koalisi dengan partai-partai lain jika diperlukan.

"Tampaknya arahnya seperti itu, jadi tinggal tambahan-tambahan partai lain. Tapi format besarnya Gerindra-PKS. Di Jabar dan di tempat-tempat lain kita hampir pasti Gerindra dan PKS. Tinggal menunggu kombinasi tambahan dari partai lain," ujar Ketua DPP Gerindra Sodik Mudjahid di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (26/4).

Khusus Pilgub Jabar 2018, misalnya, Gerindra mengatakan akan berkoalisi dengan PKS. Tetapi tidak tertutup kemungkinan partai lain, seperti PAN, akan bergabung. "Hampir seperti itu, Gerindra dan PKS. Hanya mungkin nanti ada tambahan partai lain. Kita harapkan PAN bergabung, partai lain juga," kata Sodik.

Melirik dari sejarah, koalisi antara Gerindra dan PKS sudah terjalin sejak Pilpres 2014. Saat itu, Gerindra, PKS, PBB, PPP, PAN, dan Golkar, yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), mendukung Prabowo Subianto-Hatta Radjasa sebagai pasangan Pilpres 2014. Tapi, lama-kelamaan, koalisi tersebut mulai pecah. PPP, PAN, dan Golkar menyatakan keluar dari KMP. Kini hanya Gerindra dan PKS yang tersisa sebagai partai oposisi.

Koalisi Gerindra-PKS tetap bertahan dalam sejumlah pilkada. Salah satunya Pilgub Aceh dengan mendukung Muzakir Mana-TA Khalid, Pilgub Banten dengan mendukung Wahidin Halim-Andika Azrumy, hingga Pilgub DKI Jakarta dengan mendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Terkait rencana Gerindra dan PKS membentuk koalisi permanen dalam setiap pergelaran pilkada, Partai NasDem mengaku tak gentar. "NasDem maju tak gentar. Karena apa? Karena maju untuk kepentingan rakyat, jadi kami nggak gentar," ujar Ketua DPP NasDem Johnny G Plate di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/4).

Meski demikian, NasDem berkata peluang koalisi dengan semua partai pada pergelaran Pilkada 2018 masih terus terbuka. Termasuk dengan Gerindra dan PKS. "Koalisi pilkada sangat dinamis, tergantung situasi politik setempat di seluruh Indonesia. Bisa sama, tambah-kurang, tapi tujuannya sama, mencari pemimpin yang dibutuhkan daerahnya dan kita berharap demokrasi di pilkada rasional," katanya.

Johnny menyebut partainya tak khawatir terhadap kekuatan Gerindra-PKS saat ini. NasDem mengaku memenangi pilkada di cukup banyak tempat. "Nggak ada kekhawatiran, cuma Pilkada DKI tipis saja kok. Di tempat lain NasDem banyak," tuturnya. (dtc)

BACA JUGA: