JAKARTA, GRESNEWS.COM - Konflik internal yang terus mengguncang Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masih menyisakan persoalan pelik. Kendati telah berulangkali menempuh jalur hukum, terakhir kubu Djan Faridz menggugat putusan Kemenkumham yang mengesahkan kepengurusan Romahurmuziy, bahkan Muktamar Islah, namun konflik tak juga mereda.

Pakar hukum tata negara, Muhammad Rullyandi, menanggapi soal konflik partai berlambang Kabah itu, menilai mekanisme penyelesaian konflik partai politik selama ini belum mencerminkan prinsip keadilan. Penyelesaian melalui jalur hukum, menurut dia,  seharusnya bisa mengatasi kebuntuan penyelesaian negosiasi politik. Tetapi selama ini jalan hukum juga tidak memberikan hasil yang bisa ditaati bersama.

Rully menuturkan, penyelesaian konflik internal partai politik selama ini memang diberi keleluasaan, penyelesaian bisa ditempuh melalui mekanisme yang tersedia di partai. Hanya saja penyelesaian di partai sering kali mengalami kebuntuan sehingga jalan penyelesaian secara konstitusi melalui jalur pengadilan harus ditempuh.

Untuk itu, Rully menekankan mekanisme yang ada seharusnya tak bertentangan dengan undang-undang. Peraturan di bawahnya seperti Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) seharusnya tidak berlawanan dengan undang-undang ataupun putusan pengadilan.

"Mekanisme melalui pengadilan sesuai ketatanegaraan yang berjalan dan sesuai dengan koridor undang-undang," kata Rully kepada gresnews.com, Sabtu (24/9).

Terkait dengan Peraturan KPU (PKPU) Pasal 36 yang menyatakan partai yang berkonflik, KPU menerima partai yang telah disahkan melalui keputusan Kemenkum HAM,  dinilai bertentangan dengan semangat imparsialitas.

Rully menilai ada perlakuan yang tak konstitusional pada PKPU yang diterbitkan KPU. Pasalnya, PKPU justru bertentangan dengan putusan pengadilan yang telah memenangkan PPP kubu Djan Faridz.

"Kebijakan KPU sebagaimana dimaksud tertuang dalam PKPU. Namun PKPU sebagai peraturan yang di bawah UU tidak boleh bertentangan dengan amar putusan pengadilan," ujarnya.

Menurut Rully, keputusan pengadilan tak hanya mengikat kedua pihak yang bersengketa antara Romi dan Djan Faridz. Namun KPU sebenarnya juga menjadi institusi terkait yang seharusnya diikat melalui putusan pengadilan.

Namun PKPU justru mengabaikan keadilan hukum bagi yang berkonflik di internal PPP. Selain juga bertentangan dengan putusan pengadilan yang memenangkan sengketa berkekuatan hukum tetap (inkracht).

"Apalagi putusan tersebut mengikat tidak hanya kepada para pihak saja tetapi rangkaian yang bertitik pangkal dari peradilan TUN yang memiliki sifat erga omnes," terang Rully.

Pasal 36 Peraturan KPU Nomor 9 tahun 2016 berbunyi : Dalam hal keputusan terakhir dari Menteri tentang kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (1) masih dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan, KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota menerima pendaftaran Bakal Pasangan Calon berdasarkan keputusan terakhir dari Menteri tentang penetapan kepengurusan Partai Politik.

Sebelumnya dua kubu Partai PPP, yakni Kubu Djan Faridz yang melanjutkan Kubu Suryadharma Ali dan kubu Romahurmuziy berseteru memperebutkan kepemimpinan ketua umum. Bahkan saling gugat ke pengadilan pun terjadi. Terakhir Djan Faridz memenangkan gugatan melalui jalur hukum. Namun di tengah proses peradilan itu juga berjalan proses politik yang menggagas Muktamar Islah.

Belakangan Muktamar Islah memilih Romahurmuziy sebagai Ketua umum. Kemenkumham pun akhirnya mengeluarkan surat keputusan tentang kepengurusan Romahurmuziy. Namun putusan itu pun kembali digugat kubu Djan Faridz ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

PERLAKUAN TAK ADIL- Politisi PPP kubu Djan Faridz, Abraham Lunggana, mengaku kecewa dengan sistem hukum yang dinilai merugikan kelompoknya. Pasalnya beberapa ketentuan yang keluar terkait pemilihan kepala daerah justru tak mengakomodir kepentingannya meskipun telah mengantongi keputusan Mahkamah Agung (MA) sebagai pengurus PPP yang sah secara hukum.

"SK Menkum HAM itu sangat banyak merugikan kami. Bagaimana mungkin PKPU menafikan putusan pengadilan," ungkap pria yang kerap disapa Haji Lulung di Jakarta, Rabu (21/9 ).

Untuk diketahui, hingga saat ini PPP kubu Djan Faridz masih melakukan perlawanan hukum. Mereka menilai ada ketidakadilan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) terkait SK M.HH-06.AH.11.01 tahun 2016.

Lulung menegaskan, putusan 601 itu telah jelas memenangkan kubu Djan Faridz sehingga putusan ini harus dijalankan. Dia berharap putusan pengadilan juga harus mencerminkan keadilan hukum.

"Negara kita kan negara hukum. Tentunya hukum harus ditegakkan. Kalau hukum tidak ditegakkan maka kita tidak punya nilai kenegaraan," kata Lulung.

Menurut Lulung, seharusnya putusan pengadilan bisa  mencerminkan keadilan hukum. Namun begitu, ia menilai, ada pengabaian pada putusan pengadilan yang telah inkracht. Akibatnya, Lulung mengaku dirugikan dengan yang tidak dijalankannya putusan pengadilan 601.

"Kepastian hukum itu apa? Ya kepastian hukum itu adalah undang-undang dan putusan pengadilan," ujarnya.

BACA JUGA: