JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana pemberian gelar pahlawan kepada mantan Presiden RI ke-2 HM Soeharto kembali menuai kontroversi. Sejumlah mantan aktivis 1998 menilai, penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat.

"Kami melihat Soeharto tidak layak jadi pahlawan," ujar salah seorang mantan aktivis 98 Ubedilah Badrun dalam acara refleksi 18 tahun reformasi, di Jalan Ampera, Jakarta Selatan, Senin (23/5) malam.

Dia menilai, gaya Soeharto dalam memimpin Indonesia menjadi kendala baginya untuk memperoleh gelar pahlawan. Soeharto dikenal sebagai pemimpin yang anti kritik, sehingga mengakibatkan proses demokrasi tidak berjalan dengan efektif selama kepemimpinannya.

"Saya kira kita sudah meyakini bahwa rezim Soeharto adalah rezim yang diktator. Rezim otoriter, rezim yang sulit sekali untuk posisi sebagai pahlawan," kata Ubedilah.

Meskipun negara nantinya akan mengabulkan pemberian gelar pahlawan, para aktivis 98 akan tetap melakukan penolakan. "Kami akan lawan," tegasnya.

Dia menilai, Soeharto berbeda dari pahlawan seperti Jenderal Sudirman. Sudirman dinilai pantas menyandang gelar pahlawan atas pertimbangan jasanya dalam kemerdekaan bangsa. Namun terhadap Soeharto tentu kasusnya berbeda.

Sudirman, menurutnya, contoh jenderal yang tidak memiliki orientasi materialistik. Kalau disamakan posisi Sudirman dengan Soeharto, kata Ubedilah, sangat tidak adil. "Karena dia seorang jenderal yang tidak mempunyai orientasi materialistik dia berjuang untuk kepentingan nasional bangsa ini," tuturnya.

Dalam sejarahnya, kata dia, Soeharto diduga menggunakan peristiwa G-30S/PKI sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Presiden Soekarno, yang akhirnya mengantarkan Soeharto menempati kursi presiden.

Langkah tersebut ditempuh melalui Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno. Dalam surat itu, Soeharto diberi mandat untuk mengambil segala tindakan untuk mengembalikan situasi keamanan negara.

Sayangnya legitimasi itu dipertanyakan karena surat dan naskah asli Supersemar belum pernah terungkap sampai akhirnya kepemimpinannya ditumbang oleh gerakan mahasiswa pada tahun 1998.

LAYAK JADI PAHLAWAN - Sementara itu, Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsudin menyatakan, rencana penganugerahan gelar pahlawan kepada Pak Harto dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Menurut Aziz, apa yang dilakukan Soeharto untuk membangun bangsa Indonesia sudah patut mendapat imbalan sebagai pahlawan.

"Jasa-jasa beliau dalam membangun bangsa," terang Aziz kepada gresnews.com melalui sambungan teleponnya, Selasa (24/5).

Dia menambahkan, rencana penganugerahan gelar pahlawan itu merupakan keputusan Munaslub yang harus ditaati oleh semua kader partai. "Itu putusan Munaslub yang harus dipatuhi," ujar Aziz.

Dalam munaslub di Bali kemarin, Ketua Umum Golkar Setya Novanto memang berjanji akan mengupayakan pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. Tokoh penguasa orde baru selama 32 tahun itu merupakan figur senior Golkar.

"Ya mudah-mudahan, tentu saya akan berusaha kerja sama dengan fraksi-fraksi lain untuk mewujudkan gelar pada mantan presiden-presiden lain," kata Novanto.

Novanto memang tak secara langsung menyebut nama Soeharto. Dia hanya menekankan bahwa setiap mantan presiden harus ditempatkan di posisi terbaik. Namun sudah menjadi keputusan Munaslub Golkar untuk mengupayakan agar Soeharto diberi gelar pahlawan.

"Siapapun presidennya harus mendapat tempat yang baik, karena tentu mereka sudah berbuat terbaik untuk rakyat," ucap Novanto.

Selain Soeharto, Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid juga belum mendapatkan gelar pahlawan nasional. Sementara itu Presiden pertama RI Soekarno mendapatkan gelar pahlawan proklamasi.

Terkait rencana ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, jika memenuhi kriteria, maka gelar itu bisa disematkan untuk Soeharto. JK yang juga merupakan tokoh senior Golkar mengatakan, ada kriteria khusus bagi seseorang untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional.

Jika Soeharto dianggap memenuhi kriteria, maka gelar itu bisa disematkan. "Pahlawan nasional itu punya kriteria, ya selama memenuhi kriterianya tentu bisa, ya kalau tidak memenuhi kriteria tidak bisa," kata JK di Istana Wakil Presiden, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (20/5).

JK mengatakan, Soeharto memang banyak memberikan kontribusi bagi negara. Namun, adanya masalah saat mereka lepas jabatan tentu menjadi catatan kecil. Hal ini juga sama dengan Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

"Memang Pak Harto tentu banyak memberikan hal, walaupun juga tentu waktu turunnya ada sedikit masalah. Sama dengan Gus Dur. Karena itu Pak Harto, Gus Dur memang tidak mudah untuk mendapatkan penghargaan seperti itu," kata JK.

"Jadi yang penting sesuai kriterianya tidak. Saya tidak tahu detailnya macam mana, tapi ada kriteria tertentu yang dipegang oleh panitia itu, timnya itu," tambah JK.

SUDAH DIBAHAS - Wakil Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Jimly Asshiddiqie mengatakan sebenarnya gelar tersebut telah dibahas sebanyak dua kali pada periode lalu, tetapi belum ada kesimpulan yang berarti. "Mengenai Pak Harto, Gus Dur, itu sudah dua kali dibahas periode lalu. Kesimpulannya saat itu timing belum tepat. Kita enggak tahu tahun ini. Tunggu saja prosesnya," ucap Jimly, (20/5).

Jimly mengatakan biasanya usulan tersebut resmi disampaikan dari Kementerian Sosial baru dirapatkan di Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Setelah itu baru dirapatkan dan dibahas menyangkut banyak aspek, termasuk masalah timing atau waktu pengumuman.

"Kita biasanya kalau sudah resmi dari Mensos kita akan rapatkan. Yang jelas kalau calon yang lolos dari Mensos artinya secara person sudah dianggap layak dan dipertimbangkan dapat gelar pahlawan nasional. Mungkin di dewan gelar itu akan didiskusikan hal-hal yang bukan hanya menyangkut teknis tentang syarat, banyak aspek yang perlu dibicarakan, termasuk soal timing," papar Jimly.

Mengenai dorongan Golkar untuk pemberian gelar pahlawan nasional pada The Smiling General, Jumly menyebut hal itu perlu dihargai. Namun dia belum tahu sejauh mana usulan tersebut dilakukan.

"Tapi apa yang diputuskan Golkar perlu dihargai karena itu lah kehendak sebagian masyarakat beri penghargaan tokoh yang diidolakan. Kita harus bangun tradisi, bukan hanya tradisi mengkritik mengecam tapi juga menghargai tokoh-tokoh kita di masa lalu. Tapi kita lihat nanti, kita rapatkan dulu. Saya tidak tahu sampai mana pengusulannya, karena setiap tahun ada proses pengusulan sendiri," kata Jimly.

Mengenai pro dan kontra yang timbul dari usulan tersebut, Jimly pun mengaku hal itu akan ikut dipertimbangkan. Namun, lanjut Jimly, hal itu berpulang kembali kepada bagaimana sikap pemerintah dalam menanggapi hal tersebut.

"Kita kan niatnya baik daripada keputusan ribut. Para pemimpin perlu turun jelaskan raisonalitas dari keperluan kita bangun tradisi menghargai. Jangan mengecam dendam melulu. Misalnya pelanggaran HAM masa lalu. Pemerintah mau selesaikan tapi masih ada saja yang pelihara dendam. Kita ingin dendam masa lalu diakhiri. Ini satu keperluan yang tidak penting ditanamkan. Selebihnya kita lihat sudah diajukan kembali atau belum. Ini baru statement hasil Munas Golkar," pungkas Jimly.

Sementara itu, Ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (PIM) Din Syamsuddin menganggap setiap pemimpin punya prestasi. Sehingga bangsa Indonesia harus menghargainya jika ingin melakukan perubahan.

"Kita harus jernih, berpikir semua pemimpin bangsa ini dengan kelebihan dan kekurangannya harus kita hargai sejak Presiden pertama, kedua, ketiga dengan masing-masing punya prestasi," kata Din usai deklarasi PIM di JCC, Senayan, Jakarta, Sabtu malam (21/5).

Bangsa Indonesia, menurut Din, harus berpikir positif terhadap pemimpinnya. Menghargai pemimpin adalah salah satu wawasan untuk maju, kata Din.

"Bung Karno harus diberi penghormatan. Soeharto juga punya peran. Kemudian setelah itu sampai ke Pak Habibie, Abdurrahman Wahid, dan sebagainya saya kira harus dihargai," tutur Din.

"Saya termasuk setuju kalau Pak Harto atau semua Presiden diberi penghargaan. Manusiawi punya kelemahan, punya kekuatan kalau kita tidak mengharagai pemimpin kita, ya enggak akan bisa kita melakukan perubahan," pungkas Din. (dtc)

BACA JUGA: