JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kendati masih menuai pro kontra pemerintah dan DPR tetap mengesahkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) Nomor 1 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak (Perppu Perlindungan Anak) yang juga mengatur hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Dalam pembahasannya peraturan ini tak mendapat tentangan dan hampir seluruh anggota Komisi VIII telah menyatakan setuju terhadap pengesahan Perpu ini.

Sebelumnya, kesepuluh fraksi di Komisi VIII DPR menyetujui Perppu Perlindungan Anak dibahas ke tingkat selanjutnya sebelum disahkan menjadi UU di Rapat Paripurna 27 Juli nanti. Dari sepuluh fraksi yang hadir, sebanyak delapan fraksi menyetujui Perppu tersebut dibahas di tingkat selanjutnya. Sedangkan dua fraksi, yakni Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Fraksi Hanura bahkan mendukung sepenuhnya Perppu untuk segera diundangkan dan disahkan di Rapat Paripurna.

DPR menganggap, pentingnya perpu Kebiri ini disahkan menjadi UU karena negara harus menjamin hak tumbuh dan berkembang anak. Dengan makin berkembangnya teknologi informasi, diikuti pula dengan meningkatnya kekerasan seksual, lahirnya perpu ini diharapkan membuat efek jera kepada pelaku sehingga bisa meminimalisir kejahatan terhadap anak.

"Harus segera diundangkan! agar mampu jadi ujung tombak perlindungan anak Indonesia," tegas Samsu Niang dari Fraksi PDIP, Kamis (21/7).

Ia pun menyatakan bahwa kekerasan terhadap anak jika tidak diantisipasi sejak dini dapat merusak moral anak yang berdampak pada hancurnya prestasi serta kualitas hidup anak bangsa. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah harus sungguh-sungguh memerangi serta mencegah sejak dini kekerasan seksual terhadap anak.

Hal senada juga diungkapkan Ledia Hanifa dari PKS, peningkatan kekerasan seksual terhadap anak sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Apalagi dari beberapa kasus yang terjadi, para pelaku kekerasan seksual adalah orang dekat yang berasal dari lingkungan tempat anak tumbuh, sehingga tempat aman untuk tumbuh kembang anak yang baik semakin menyempit.

"Harus ada penangan yang lebih serius dan sistematis baik penindakan maupun pencegahan," ujar Ledia Hanifa di gedung DPR, Kamis,(21/7).

Ia memandang bahwa sanksi pidana yang sekarang diterapkan tidak memberikan efek jera. Rupanya peningkatan hukuman pidana bukan menjadi jalan keluar untuk menghentikan para pelaku kejahatan seksual.

Menurutnya, dalam hal ini aparat penegak hukum juga turut andil dalam pencegahan kekerasan seksual. "Sayangnya sensitivitas para penegak hukum akan kasus seksual itu sangat rendah," ujarnya.

Ia juga menyatakan perlu kejelasan siapa yang akan melaksanakan eksekusi kebiri jika disahkan, serta prosedur dan mekanisme yang jelas padahal para dokter sebelumnya menolak melakukan eksusi. Selain itu ia juga mempertanyakan bagaimana penanganan pelaku paska hukuman pidana ini agar tidak melenceng dari nilai kemanusiaan dan agama. Serta tindak lanjut aturan pelaksanaan kebiri kimia yang merupakan aturan turunan dari Perppu Perlindungan Anak.

ASPEK KORBAN - Terkait masalah penanganan paska pemberlakuan hukuman Kebiri, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan bahwa akan dilakukan rehabilitasi tidak hanya untuk korban tetapi juga untuk keluarga serta pelaku kejahatan tersebut. Untuk korban, pemberian rehabilitasi dilakukan di rumah perlindungan sosial anak. Sedang untuk keluarga korban akan dilakukan konseling di lingkungan keluarga, bagi pelaku sampai saat ini masih didiskusikan dengan Ditjen Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.

"Pelaku yang di bawah 7 tahun dapat diversi dari pengadilan dan dikirim ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan bagi pelaku anak yang umurnya di atas 7 tahun maka akan dikenakan UU sistem peradilan anak," ungkap Khofifah di gedung DPR, Kamis (21/7).

Menurut data Komnas Perlindungan anak, dari Januari sampai Maret 2016 ada sekitar 74 kasus kekerasan seks terhadap anak dan 102 anak jadi korbannya. Sedangkan menurut Kabareskrim ada 1366 kasus seksual yang dilaporkan, dan dari kasus tersebut para pelaku bukan hanya orang dewasa tetapi juga anak demikian pula korban yang tak hanya mendapat kekerasan seks tapi banyak yang dibunuh dan diperkosa.

Khofifah meyakini bahwa ada lebih banyak lagi kasus yang tidak dilaporkan ataupun yang tidak diselesaikan secara hukum karena pertimbangan lain. "Biasanya kalau kasus terjadi di sekolah, Kepala Sekolah atau Kepala Desa akan menutupinya. Karena tidak mau di publish," ungkapnya.

Dengan adanya Perppu Nomor 1 Tahun 2016 ini akan menjadi dasar hukum bagi hakim dalam menjatuhkan hukuman pelaku kekerasan seks. Secara garis besar perppu tersebut ubahan Pasal 81 UU 35 tahun 2014 yang memberikan sanksi pidana pokok dengan pidana paling singkat selama 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda Rp5 miliar.

Sanksi juga diberikan pada orang yang melakukan muslihat atau membujuk anak agar melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Sanksi juga akan ditambah sepertiga jika dilakukan oleh orang tua, pendidik atau orang yang pernah melakukan tindak pidana.

Jika korbannya sampai meninggal akan dikenakan hukuman mati atau hukuman paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Pelaku juga mendapat pidana tambahan yaitu pengumuman identitas pelaku, pengumuman ini tidak berlaku apabila pelakunya masih di bawah umur.

Sedangkan untuk eksekusi kebiri secara kimia dan pemasangan alat pendeteksi dikenakan bagi pelaku yang telah memakan korban lebih dari seorang. Pemutusan hukuman ini dilakukan bersamaan dengan putusan pidana pokok dan diterapkan maksimal 2 tahun setelah pidana pokok serta tidak berlaku bagi pelaku di bawah umur. "Ini menjadi landasan dasar, beratnya sanksi akan tergantung Hakim," ujar Khofifah.

PRO KONTRA PEMBERIAN HUKUMAN - IDI sebelumnya menolak jadi eksekutor hukuman kebiri yang rencananya menjadi hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual pada anak. Kalangan dokter beranggapan pelaksanaan hukuman kebiri dianggap melanggar sumpah dokter dan kode etik Kedokteran Indonesia.

Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis menegaskan tidak menentang perppu mengenai tambahan hukuman kebiri namun, eksekusi penyuntikan janganlah seorang dokter. Dokter tidak boleh menggunakan pengetahuannya untuk hal yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diajak.

Hal tersebut tercantum dalam sumpah dokter dan bila melanggar dapat dikeluarkan dari organisasi profesi organisasi. Dokter bertugas hanya untuk kepentingan kemanusiaan bahkan dalam peperangan pun, dokter harus menyelamatkan manusia, sekalipun itu musuh.

Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek menyatakan, pemerintah masih menunggu pembahasan di DPR soal siapa eksekutor hukuman kebiri kimiawi. DPR terlebih dulu akan memanggil pengurus IDI untuk didengar pendapatnya. "Soal siapa eksekutor hukuman kebiri, kita tunggu pembahasan di DPR," ucap Nila seusai mengikuti Rapat Kerja Komisi VIII DPR bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Menteri Kesehatan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (21/7).

Menkes mengatakan, Kementerian Kesehatan akan mengikuti sepenuhnya hasil pembahasan di DPR terkait siapa eksekutor hukuman kebiri. "Apapun hasilnya, termasuk soal eksekutor hukuman kebiri yang saat ini IDI posisinya sudah menolak jadi eksekutor, lihat nanti pembahasannya," katanya.

BACA JUGA: