JAKARTA, GRESNEWS.COM - Praktik politik uang dari pemilu ke pemilu ternyata menunjukan gejala terus meningkat. Hal ini menandakan proses demokrasi di Indonesia masih bertumpu pada politik transaksional. Data Indonesia Corruption Wacth (ICW) menyebutkan pada pemilu 1999 ditemukan 62 kasus politik uang, pemilu 2004 sebanyak 113 kasus, pemilu 2009 150 kasus  dan pantauan pada pemilu 2014 ditemukan 313 kasus.

Peneliti ICW Donal Fariz mengatakan dari hasil pantauan lembaganya di 15 provinsi praktik politik uang pileg tiap tahun trennya terus meningkat. Dalam pemantauan ICW fokus pada pemberian barang, pemberian jasa, pemberian uang dan penggunaan fasilitas negara.

Padahal sesuai dengan Pasal 86 Ayat 1 UU No 8 tahun 2012 bahwa pelaksana, peserta dan petugas kampanye dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Serta menjanjikan  atau memberikan uang serta materi lainnya kepada perserta kampanye Pemilu.

Temuan ICW  ini terbanyak terjadi di Banten 36 kssus, lalu Riau dan Bengkulu 31 kasus, disusul Sumantera Barat sebanyak 30 kasus. Sebanyak 313 kasus yang ditemukan selama masa kampanye, masa tenang dan hari pencoblosan pileg 2014. Rinciannya pemberian uang sebanyak 104, pemberian barang 128, pemberian jasa 27 dan penggunaan fasilitas negara sebanyak 54.

Jika dilihat dari jenisnya,  kategori pemberian barang yang terbanyak adalah pakaian 49 kasus disusul sembako 29 dan alat rumah tangga 15 kasus. Ada juga yang memberikan bahan bangunan sebanyak 3 kasus dan pemberian motor sebanyak 4 kasus. "Pakaian yang diberikan bukan pakaian dalam bentuk atribut kampanye seperti baju koko dan kain," kata Donal di Jakarta, Senin (21/4).

Temuan lain adalah penggunaan fasilitas negara, terutama pemakaian kendaraan dinas sebanyak 20 kasus, politisasi birokrasi sebanyak 10 kasus. Politisasi birokrasi biasanya dilakukan oleh keluarga kandidat yang sedang menduduki jabatan strategis dengan menggunakan pengaruhnya terhadap birokrat. Program pemerintah juga masih sering dijadikan sebagai modal politik. Pembagian kendaraan dinas pada saat kampanye dan intruksi untuk memilih kandidat tertentu.

Berdasarkan partai yang paling banyak melakukan pelanggaran,  partai Golkar sebanyak 57 kasus diikuti PPP 30 kasus PAN dan Demokrat 25 kasus dan PDIP 24 kasus lalu Gerindra sebanyak 23 kasus.

Meningkatnya praktik politik uang memang tak dipungkiri. Namun Direktur Eksekutif Perludem Very Junaidi menyayangkan peningkatan tersebut belum dibarengi dengan ketegasan penegakan hukumnya. Proses penegakan hukum pelanggaran pemilu khususnya pidana masih lemah. Sebabnya karena limitasi waktu yang diberikan UU. Bahkan kasus pidana yang telah ditangani polisi bisa di SP3 karena waktunya telah lewat. "Banyak kasus pidana yang dilaporkan ke polisi selesai tanpa ending yang baik," kata Veri.

Veri menyebut ada indikasi desain penyelesaian pelanggaran pemilu dari awal. Sebab dalam setiap pembahasan UU Politik yang dilakukan tidak pernah membenahi proses penyelesaian pelanggaran pemilu.

Sementara menurut pengamat politik Burhanuddin Muhtadi salah satu sebab makin massifnya politik uang karena sistem politik pileg dengan sistem proporsional terbuka. Hal ini juga menjadi kegelisahan para politisi karena terjebak pada pragmatisme pemilih. "Saya sebut pemilu kali ini sebagai pemilu paling brutal," kata Burhan.

Tak heran jika saat ini mulai mengemuka wacana di kalangan politisi untuk mengubah sistem proporsional ke sistem distrik. Namun demikian, meskipun nantinya diubah sistem pemilu ke sistem distrik, Burhan tetap tak yakin akan dapat mengurangi praktik politik uang.

BACA JUGA: