JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masa reformasi sudah terlewat dan terlupakan, kini tak lagi partai segan menyandang dan berjualan nama orde baru, sebuah orde korup pembungkam kebebasan masyarakat sipil yang ditumbangkan masyarakat bersama mahasiswa 1998 lalu. Golkar misalnya menyebut mantan Presiden Soeharto, pengusung orde baru, sebagai kader terbaik Golkar. Penyebutan itu bukan tanpa maksud, namun merupakan strategi Golkar meraih simpati masyarakat yang dinilai masih merindukan nostalgia masa orde baru.   

"Ini memang menguntungkan untuk Golkar. Kita tentunya mau maju ke depan. Apa balik ke zaman Soeharto lagi? Masyarakat kan mau suasana yang stabil, kondusif seperti zaman Soeharto Dulu pernah tercapai dan saat itu partainya Golkar," kata Sekretaris Umum BKPP Golkar Rully Chairul Azwar di Kompleks DPP Golkar, Senin (17/2).

Rully berpendapat rakyat akan melirik Golkar karena sudah lelah dengan parpol-parpol pemegang kekuasaan selama 15 tahun terakhir. Meski jaman orde baru tidak ada demokrasi dan kebebasan sipil, rakyat tetap menikmati kesejahteraan.

"Golkar pernah buktikan saat ini suasana normal untuk politik dan ekonomi walaupun kurang demokratis. Tapi kan di negara luar juga begitu. Rakyat ukurnya kan kesejahteraan," ujar Ketua Komisi II DPR RI ini.

Rully mengakui bahwa partainya sempat menarik diri usai reformasi karena diidentikkan dengan era orde baru. Namun kini, Golkar justru akan mengangkat kembali citra stabilitas orde baru.

"Kambing hitam reformasi kan orde baru karena Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). KKN tidak bisa dielakkan karena kondisi ekonomi saat itu. Jadi yang bisa kita lakukan ya jaga jarak. Setelah 15 tahun, rakyat lihat kan malah lebih parah. Ya sudah deh balik lagi. Stigma masyarakat sekarang berubah," kata Rully.

Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) juga menyatakan bahwa Presiden Soeharto adalah kader terbaik Golkar. Dia menyerukan kepada kader Golkar dan Kosgoro untuk bangga terhadap kepemimpinan Soeharto. "Semua kader Golkar dan organisasi di bawahnya termasuk Kosgoro tidak perlu takut dianggap sebagai bagian dari orde baru. Kita tak perlu malu mengakui itu," ujar Ical di Kantor DPP Partai Golkar, Senin (10/2).

Ical mengklaim bahwa rakyat Indonesia sangat merindukan kembali ke zaman Soeharto. Golkar harus tanggap akan keinginan masyarakat ini. "Kalau kita lihat di jalan-jalan, di baju, di stiker ada gambar Pak Harto dan tulisan "piye kabare? Isih penak jamanku to?" itu bukan Golkar yang nulis. Itu keinginan masyarakat. Kita harus sambut itu sebelum partai lain yang menangkap," kata Ical.

Boleh jadi sikap Golkar "berjualan" Soeharto untuk mengalahkan posisi pesaing terdekat dalam survai yakni PDIP. Terakhir, hasil Lembaga Survei Jakarta (LSJ) pada Rabu (12/2) memposisikan PDIP di nomor 1 dan Golkar di nomor 2.

Lagi pula selama ini Golkar dan Soeharto memang tak dapat dipisahkan. Karena Golkar merupakan bentukan mantan Presiden Soeharto bersama kalangan militer. Selama menjadi presiden, Soeharto selalu menjadi ketua Dewan Pembina Golkar. Soeharto juga menempatkan kader Golkar di semua jabatan birokrasi dan aparatur negara. Kondisi itu memudahkan pemenangan Golkar.

Pada era orba saat itu Golkar merupakan partai yang diistimewakan. Serangkaian pemilu yang digelar hanya formalitas saja karena Golkar selalu menjadi pemenang. Namun, kondisi itu berubah saat memasuki zaman reformasi 1998, saat Soeharto tidak lagi berkuasa.

Pada era reformasi, masa jaya Golkar hilang bersama lenyapnya era orba dan jauh-jauh "berjualan" nama Soeharto. Dalam sistem multipartai, Golkar harus berjuang keras, bertarung dan bersaing, dengan partai lain agar bisa menjadi pemenang. Jika tidak, Golkar tersisih.

Namun dalam tiga periode kepemimpinan Golkar di era reformasi selalu ditandai pragmatisme elite partai yang menjadikan partai kendaraan untuk meraih kekuasaan semata. Nafsu untuk berkuasa tidak dibarengi dengan konsolidasi sistematis di internal partai. Tak heran strategi yang dipakai pun sekadar "berjualan" nama Soeharto.

(dtc)

BACA JUGA: