JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tragedi jatuhnya pesawat Hercules TNI Angkatan Udara bernomor A1310 di Jalan Jamin Ginting, Medan, jelas meninggalkan luka mendalam khususnya di keluarga besar TNI. Ratusan orang menjadi korban dalam peristiwa memilukan itu.

KSAU Marsekal Agus Supriatna memastikan 121 orang yang ada di dalam pesawat tewas. Sedangkan korban jiwa yang berada di darat jumlah pastinya belum dapat dipastikan. Jatuhnya pesawat Hercules ini juga menjadi potret muram bagi alat utama sistem senjata TNI, khususnya TNI AU.

Sebelum kecelakaan ini terjadi, beberapa insiden yang melibatkan pesawat-pesawat TNI AU juga kerap terjadi. Yang terakhir adalah terbakarnya pesawat tempur F-16 di Halim Perdanakusuma akibat kegagalan sistem di pesawat.

Kemudian sebuah lagi armada F-16 TNI AU mengalami insiden pecah ban dan gagal terbang. Dari serangkaian kejadian itu, agaknya pemerintah memang memang harus menimbang ulang sistem pengadaan alutista untuk TNI khususnya TNI AU.

Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais mengatakan, rangkaiaan kecelakaan tersebut seharusnya menjadi titik tolak pemerintah unntuk betul-betul mengevaluasi sistem pengadaan alutsista TNI termasuk pembelian pesawat bekas atau hibah.

Alasannya, pesawat-pesawat bekas ini sangat besar kemungkinannya telah mengalami kerusakan sehingga kondisinya tak menjamin keselamatan secara 100 persen. "Ke depan, perlu didorong pemenuhan alutsista, minimal saat membeli pesawat baru jelas harga pasar, kualitas, dan spesifikasinya terpercaya," katanya kepada Gresnews.com, Rabu (1/7).

Sementara, dalam pembelian pesawat bekas, perlu dikaji harga pasaran, dan spesifikasinya juga kurang dibandingkan yang baru. Untuk itu, kata Hanafi, peemerintah perlu menaikkan anggaran bagi alutista TNI.

Sebab, membicarakan sistem pertahanan menurutnya bukanlah masalah efisiensi atau penghemaatan anggaran, melainkan efektifitas pertahanan dan keamanan prajurit.

Untuk itu, anggaran pengelolaan benar-benar harus ditingkatkan selain tingkat kedisiplinan dalam pemakaian pesawat. "Tiap pesawat memiliki waktu daur pakai berbeda dari pabrik, dan itu harus ditaati," katanya.

ANGGARAN ALUTSISTA MINIM - Pada tahun 2014, anggaran untuk alutsista TNI diketahui hanya sebesar Rp82 triliun, tahun 2015 naik menjadi Rp102 triliun, dan di tahun 2016 diharapkan menteri keuangan memiliki prioritas untuk anggaran untuk TNI utamanya dalam pengadaan alutsista.

Dengan anggaran yang minim ini, seringkali pengadaan alutsista TNI menyandarkan pada skema hibah dari negara lain khususnya Amerika Serikat. Untuk pesawat Hercules misalnya, tahun 2013 lalu TNI AU mendapatkan hibah 4 unit dan membeli murah 5 unit Hercules C-130 dari AU Australia. Sementara untuk F-16, Indonesia memperoleh hibah dari AS sebanyak 24 unit.

Hanya saja, tak semua pesawat hibah itu memang dalam kondisi fit. Dari 24 unit F-16 hibah asal Amerika Serikat misalnya, dua unit diantaranya diketahui mengalami keretakan di kanopi. Padahal, meski judulnya hibah, tetap saja Indonesia meski keluar duit yang tak kecil untuk biaya mendatangkan pesawat dan upgrade kemampuan pesawat.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, untuk menerima hibah 24 unit F-16 dari AS, pemerintah masih harus keluar kocek sebesar US$800 juta. Karena itu, kata dia, pemerintah khususnya Kementerian Pertahanan akan berpikir ulang tentang kebijakan menerima hibah alutsista.

"Kami akan berpikir ulang soal kebijakan itu (menerimah hibah). Sebetulnya pesawat itu tidak bekas betul sih. Bekas mereka (AS) lebih baru dari bekas kita yang ada, tapi ke depan kita akan berpikir ulang," ungkapnya.

Namun, mantan KSAD ini menilai apabila mendapat hibah alutsista dari negara lain pemerintah Indonesia tetap akan menerima. "Kalau dihibah ya namanya dikasih ya diterimalah, ngasih dengan tulus ya kami terima dengan tulus juga dong," imbuhnya.

Rayamizard menilai TNI membutuhkan alutsista tergantung ancaman yang saat ini terjadi di Indonesia. Dalam waktu singkat ini, Indonesia tengah membutuhkan alutsista untuk menghadapi terorisme, bencana alam, serta pelanggaran wilayah.

"Ancaman kita kan tidak perang besar, perang konvensional tidak. Karena kita bukan negara agresor, kita di tengah-tengah Asean yang sudah sepakat kalau ada perselisihan tidak boleh menggunakan kekerasan atau persenjataan atau selesaikan dengan cara damai dan dialog," tutupnya.

BERDAYAKAN PRODUKSI DALAM NEGERI - Untuk menutupi kekurangan ini, Hanafi Rais mengatakan, pemerintah sebenarnya bisa memberdayakan produsen dalam negeri, khususnya untuk pengadaan pesawat jenis angkut militer. "Pesawat-pesawat angkut maupun militer sudah dapat diberdayakan di dalam negeri melalui PT Dirgantar Indonesia. Sebab, selama ini diketahui TNI memang sudah memiliki pesawat produksi PT DI. Namun masih dalam skala yang kecil," ujarnya.

Beberapa perusahaan negara seperti PT Pindad dan PT DI dianggap sudah cukup mumpuni untuk memasuk peralatan alutista. Sebab, pasokan mereka pun sudah mulai dilirik pasar luar negeri, sepperti Malaysia, Eropa, dan Korea. Hanya saja memang perlu ada fokus dan orientasi khusus dari pemerintah untuk pemberdayaannya.

Ia menyatakan produksi dalam negeri hanya bermasalah soal jumlah dan waktu, produksi nasional tak bisa langsung siap, tapi butuh bertahap. "Yang terpenting ada perhatian dari pemerintah dan TNI sendiri untuk gunakan produk dalam negeri, selama ini dirasa masih sangat kurang," ujarnya.

Untuk memenuhi kebutuhan pesawat angkut dan militer pun, menurut Hanafi tak terlampau sulit. Hal ini lantaran Indonesia sedang tak menghadapi situasi perang atau darurat lain. Operasional hanya digunakan sebagai rutinitas TNI saja. "Asal ada pengelolaan yang bagus dan prioritas peremajaan," katanya.

Hal senada juga disampaikan pengamat penerbangan Saman Parthaonan. Untuk mengatasi masalah pengadaan alutsista ini, selain memberikan anggaran lebih kepada TNI, pemerintah juga harus mendukung industri alutsista dalam negeri.

"PT Pindad hingga saat ini juga sudah dapat membuat panser, program mantan presiden Habibie CN 235 pun dapat didukung sebagai pesawat militer," katanya kepada Gresnews.com, Rabu (1/7).

Jika hanya membuat pesawat angkut, kata Saman, PT DI pun dianggap sangat mampu memproduksinya. "Ada industri dan SDM yang mumpuni tapi tak digunakan, ujung-ujungnya kembali lagi ke masalah politik elit-elit kita," katanya.

Pengembangan industri militer dalam negeri ini, kata Saman, menjadi penting mengingat jika kita tergantung dari asing, khususnya Amerika Serikat, Indonesia sering menjadi korban kebijakan politik. Misalnya saja, Indonesia pernah diembargo oleh AS terkait suku cadang peralatan militer termasuk pesawat Hercules atas nama isu pelanggaran HAM di Aceh, pada era Presiden Gus Dur dan Megawati.

Imbasnya, untuk perawatan, terpaksa spare part pesawat-pesawat militer ini dikanibalisasi alias mengambil bagian dari pesawat yang sudah kadung rusak. "Perawatan saya kira bagus, tapi spare partnya yang dipertanyakan," ujar Saman.

Menyoal anggaran yang kurang maksimal bagi alutista TNI, ia pun setuju dengan Hanafi. Anggaran sejumlah Rp120 triliun dianggap kurang bagus, lantaran biaya peremajaan satu pesawat tua saja dapat mencapai jutaan dolar AS.

MOMENTUM PEMBARUAN ALUTSISTA NASIONAL - Peristiwa jatuhnya pesawat Hercules di Medan ini, menurut Oresiden Joko Widodo memang harus dijadikan momentum untuk melakukan pembaruan alat utama sistem persenjataan (alustsista) nasional.

"Saya perintahkan kepada Menteri Pertahanan (Menhan) dan Panglima TNI untuk melakukan perombakan yang mendasar tentang manajemen alutsista TNI. Sistem pengadaan alutsista harus diubah, ini momentum," kata Presiden Jokowi kepada wartawan usai upacara peringatan HUT Bhayangkara ke-69, di Markas Komando (Mako) Brimob, Kelapa Dua, Depok, Rabu (1/7) seperti dikutip setkab.go.id.

Menurut Presiden Jokowi, industri pertahanan kita harus terlibat mulai dari rancang bangun, produksi, operasional, latihan pemeliharaan hingga pemusnahan alutsista yang sudah tua.

Presiden meminta agar pengadaan alat utama sistem senjata diarahkan pada kemandirian industri pertahanan dalam negeri. "Agar kita bisa sepenuhnya mengendalikan kesiapan alutsista," katanya.

Presiden juga memerintahkan TNI untuk memperkuat sistem nol kecelakaan dalam penggunaan alutsista. "Pesawat tempur, angkut, kapal perang, kapal selam, hingga helikopter serta prajurit TNI yang menggunakannya harus berada dalam kesiapan operasional yang tinggi," tegasnya.

Terkait hal ini, Hanafi Rais mengatakan, hibah alutsista seperti pesawat dari luar negeri perlu distop. Indonesia perlu mengadakan alutsista baru dengan sistem yang canggih sesuai anggaran. Pemerintah dalam hal ini kementerian keuangan juga perlu memprioritaskan anggaran untuk alutsista.

"Kami DPR mendorong betul supaya kebiasaan kita memburu barang bekas hibah dievaluasi, lebih baik prioritas membeli alutsista yang baru dengan harga pasar yang jelas spesifikasinya, sesuai kebutuhan pertahanan RI," tutur wakil ketua umum PAN itu.

Hanafi menduga pesawat Hercules yang jatuh di Medan disebabkan karena dua faktor, yaitu kondisi pesawat yang sudah tua sehingga tak laik jalan atau maintenance yang tidak cermat. "Komisi I DPR akan mendorong Menkeu supaya betul-betul perhatian pada masalah alutsista supaya kejadian serupa tidak terulang," tegasnya. (dtc

BACA JUGA: