JAKARTA, GRESNEWS.COM – Aturan mengenai definisi dan sanksi politik uang dalam undang-undang (UU) Pemilu diusulkan untuk dibenahi. Tujuannya agar tiap permainan politik uang baik oleh partai politik, calon peserta pemilu, dan pemilih bisa dikenakan sanksi. Sehingga cita-cita pemilu yang lebih bersih dan pemimpin yang baik bisa tercapai.

Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ahmad Riza Patria mengatakan politik uang memang menjadi masalah bagi Indonesia. Sebab kandidat pemilu baik dalam pilpres, pileg maupun pilkada beranggapan uang menjadi instrumen yang sangat penting dalam pemenangannya. “Ini yang salah. Sehingga ke depannya harus kita benahi,” ujar Riza kepada Gresnews.com, Minggu (31/5).

Menurutnya yang perlu dijadikan instrumen penting dalam setiap pemilu adalah visi misi dan kemampuan dari calon pemimpin untuk memperjuangkan daerah dan mensejahterakan masyarakatnya. Tapi memang tidak cukup pada visi misi dan program yang tentunya bisa dibuat sebaik mungkin. Tapi bagaimana kemampuan pemimpin tersebut bisa mengimplementasikan visi dan programnya.

Riza menjelaskan masyarakat semakin pragmatis karena sudah terlalu sering kecewa dengan gaya pemimpin yang ada saat ini. Akhirnya masyarakat berpikir materi saja. Untuk itu, reward and punishment terhadap politik uang merupakan manajemen yang sangat penting dalam pemilu.

Atas dasar pertimbangan di atas, menurutnya, sistem aturan terkait politik uang memang harus dibenahi. Misalnya perlu ada sanksi bagi pihak yang melakukan bermain politik uang dalam pemilu. Pihak yang harus diberi sanksi ketika melakukan politik uang diantaranya penyelenggara pemilu, calon yang bersangkutan, partai politik bahkan masyarakat yang menerima juga harus diberi sanksi. Harapannya dengan aturan tersebut kualitas demokrasi dan pemimpin akan semakin baik.

Terkait hal ini, Peneliti Kemitraan Wahidah Suaib menuturkan definisi politik uang dalam undang-undang yang terkait pemilu memang tidak pernah jelas.  Aturan yang ada saat ini juga tidak meliputi aturan yang diperlukan soal semua aktivitas politik uang dalam pemilu.

“Kita memaknai politik uang dari ketentuan pidana yang mengatakan bahwa setiap orang atau pelaksana kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya pada pemilih untuk memilih atau tidak memilih calon tertentu,” ujar Wahidah pada Gresnews.com pada kesempatan terpisah.

Menurutnya tidak pernah undang-undang membuat dalam ketentuan umum soal definisi politik uang. Sehingga politik uang perlu diredefinisi. Perlu ada redefinisi politik uang karena hanya mencakup aktivitas pada masa kampanye dan pungut hitung. Padahal politik uang bisa terjadi di semua tahapan pemilu.

Ia mencontohkan pada saat pendaftaran pemilih, politik uang bisa terjadi. Dalam konteks pilkada, pemilih bisa mendapatkan identitas penduduk setelah enam tahun tinggal di suatu daerah. Saat pilkada seringkali ada mobilisasi massa melalui kartu tanda penduduk. Politik uang menurutnya bisa terjadi pada masa pembuatan kartu tanda pengenal tersebut.

Lalu pada tahapan pencalonan dalam pilkada, banyak pembakaran kantor Komisi Pemilihan Umum lantaran tidak puas dengan putusan KPU daerah soal calon kepala daerah yang telah disahkan menjadi pasangan calon. Menurutnya ada yang memenuhi syarat malah tidak disahkan. Lalu ada calon kepala daerah yang dianggap tidak layak malah disahkan. Dalam sidang sengketa Mahkamah Konstitusi, ternyata memang ditemukan dugaan politik transaksional antara calon kepala daerah dengan KPU setempat.

Menurutnya hal yang dicontohkan di atas seharusnya masuk ke dalam definisi politik uang. Tapi mengacu pada definisi politik dalam undang-undang pemilu tahapan pencalonan tidak dimasukkan dalam kategori politik uang, sebab yang masuk kategori hanya kampanye dan pungut hitung. Sehingga politik uang seharusnya dimaknai tiap orang yang memberi atau menerima uang yang sifatnya transaksi untuk menguntungkan atau merugikan calon tertentu dan melanggar aturan di semua tahapan pemilu.

Lalu perlu ada standar yang sama  soal pelaku politik uang. Ia menilai pelaku politik uang tidak hanya terbatas hanya pelaksana kampanye. Masyarakat atau orang per orang bisa juga melakukan politik. Sebab berkaca pada pilpres 2014, sangat terbuka peluang politik uang yang dititipkan bukan melalui pelaksana kampanye. Sehingga hal ini akan menyuburkan politik uang.

BACA JUGA: