JAKARTA, GRESNEWS.COM - JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pemerintah menginvestasikan dana Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) untuk pembangunan infrastruktur menuai pro dan kontra. Sebagian menyebut pemerintah seharusnya meminta izin terlebih dulu kepada jemaah selaku pemilik dana hingga dugaan kesulitan menghimpun dana sementara hutang kian menggunung dan defisit APBN sudah mendekati ambang batas tiga persen yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menegaskan partainya (Partai Bulan Bintang, Red) menolak wacana Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pengelolaan dana haji. "Sebagai partai berasas Islam, PBB tegas menolak penggunaan dana tersebut secara sepihak. Apalagi tanpa perhitungan dan kompensasi yang jelas kepada umat Islam yang memiliki dana tersebut," ujar Yusril dalam keterangan tertulis yang diterima gresnews.com, Sabtu (29/7).

Mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) itu berpendapat ‎pemerintah sebaiknya dalam memutuskan wacana harus bicara dengan DPR, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas Islam. Tujuannya agar tidak menjadi polemik baru di masyarakat.

Ia bahkan menduga, Presiden Joko Widodo punya wacana menggunakan dana haji untuk infrastruktur Karena kesulitan menghimpun dana. "Pemerintah makin sulit mencari pinjaman baru, sehingga dana haji umat Islam mau digunakan," katanya.

Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa´adi menyarankan agar Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) melakukan konsultasi dulu dengan sejumlah pihak, seperti Ormas Islam, khususnya MUI, tokoh-tokoh ulama dan juga pakar finansial. Juga harus dilakukan kajian secara mendalam baik dari aspek finansial maupun dari aspek syariahnya, karena hal ini menyangkut uang umat yang jumlahnya tidak sedikit.

"Dalam kaidah fiqih disebutkan, prinsip mencegah kerusakan itu harus didahulukan dari pada membangun kemaslahatan´," kata Zainut, Jumat (28/7).

Menurut Ekonom yang juga Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional Drajad Wibowo berharap agar BPKH memperhatikan persepsi politik yang krusial mengingat dana haji ini adalah milik umat. "Selain tidak mendapatkan imbalan (return) dari dana yang mereka setor, mereka tidak ditanya apakah boleh dananya ditanam di infrastruktur. Situasi ini bisa memunculkan persepsi politik yang kontroversial. Saya rasa hal ini harus diselesaikan lebih dulu," kata Dradjad.

Wacana investasi dana haji ke infrastruktur umum ini sudah lama disuarakan dan kembali menguat pada saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan arahan pada saat pelantikan Dewan Pengawas dan Badan Pengelola Keuangan Haji. Jokowi menginginkan dana haji sekitar Rp 90 triliun bisa dioptimalkan untuk mendorong pembangunan ekonomi, seperti infrastruktur.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), memberikan penjelasan soal investasi dana haji. "Dana itu merupakan uang muka daripada jamaah yang mendaftar hari ini, tapi naik hajinya mungkin 10 tahun lagi, malah ada 30 tahun di sini, di Sulsel sampai 35 tahun," kata JK, di Universitas Muhammadiyah Makassar (Unismuh), Sulawesi Selatan, Jumat (28/7).

JK mengatakan, pembayaran ongkos naik haji yang dibayarkan dalam bentuk dolar Amerika Serikat (AS) memiliki risiko, yaitu nilai tukar uang yang sering berubah-ubah. "Kalau tidak diupayakan dia kena inflasi dan kena daya beli, karena itu harus diinvestasikan ke proyek yang menguntungkan, yang juga umumnya terkait dengan dolar, karena nanti ada bayar rupiah hari ini, anda nanti ongkosnya dolar pada 20 tahun yang akan datang," terangnya.

"Karena itu harus diinvestasikan di sawit atau jalan tol yang dibayarnya juga naik terus," tambahnya.

JK menyebut, investasi dana haji di proyek infranstruktur aman. Dia bahkan memperkirakan ada keuntungan 15% selama 1 tahun, dan juga nilainya lebih tinggi daripada inflasi.

"Harus diinvestasikan lebih tinggi dari inflasi kalau nggak ini bangkrut, orang bisa-bisa tidak jadi naik haji. Itu alasannya," ucapnya.

Dari data Kementerian Agama RI 2017, dana haji hingga tanggal 28 Februari 2017 berjumlah Rp 93,2 triliun, yang terdiri dari akumulasi setoran awal calon jemaah haji baik reguler maupun haji khusus dan nilai manfaat alias "bunga simpanan".

Sejatinya selama ini sudah ada dana haji yang digunakan untuk infrastruktur atau untuk membantu APBN pemerintah. Namun memang tidak secara langsung yakni lewat Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) atau instrumen SBSN. Jumlah dana haji yang diinvestasikan sampai saat ini berjumlah Rp 35,2 trilun.

Itu dimulai sejak 2010 dan penandatangannya dilakukan pada 2009 antara Kementerian Agama RI dengan Kementerian Keuangan RI. Saat itu Menteri Keuangannya juga dijabat oleh Sri Mulyani, Menteri yang sama dengan era saat ini.

Selain sukuk SDHI ada lagi sukuk Project Based Sukuk (PBS) senilai 400 miliar. Perbedaan antara Sukuk SDHI dan PBS adalah: Sukuk SDHI ini bersifat non-tradeablealias ada tenggat waktunya, sehingga tidak bisa di-redeem atau ditarik kembali sebelum jatuh tempo jika sewaktu-waktu dibutuhkan mendadak. Adapun sukuk PBS bisa di-redeem kapan pun melalui pasar sekunder.

Sifat lain investasi melalui instrumen SBSN atau Sukuk adalah investasi jangka panjang yang aman dan tingkat imbalannya lebih besar dari deposito, antara lima hingga sembilan persen tergantung dari masa tenor dan jarak ke masa jatuh tempo.

BERAKAD WAKALAH TAK PERLU IZIN - Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Sistem Informasi Haji Terpadu Kementerian Agama Ramadan Harisman mengatakan bahwa pemanfaatan BPIH untuk pembangunan maupun investasi lainnya tidak perlu meminta izin lagi kepada jemaah.

Sebab, selama ini, ketika pengelolaan dana haji dilakukan oleh Kementerian Agama, para calon jemaah haji telah mengisi dan menandatangani formulir akad wakalah ketika membayar setoran awal BPIH.

"Ketentuan mengenai pengisian dan penandatangan akad wakalah tersebut diatur dalam Perjanjian Kerja Sama antara Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Kementerian Agama, dengan Bank Penerima Setoran BPIH tentang penerimaan dan pembayaran BPIH," ujarnya dalam siaran pers, Sabtu (29/7).

Dalam formulir akad wakalah tersebut, calon jemaah haji selaku Muwakkil memberikan kuasa kepada Kementerian Agama selaku Wakil, untuk menerima dan mengelola dana setoran awal BPIH yang telah disetorkan melalui Bank Penerima Setoran (BPS) BPIH sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Penerapan akad wakalah juga diatur ketika keuangan haji dikelola oleh BPKH. UU Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan UU tersebut mengatur bahwa BPKH selaku Wakil akan menerima mandat dari calon jemaah haji selaku Muwakkil untuk menerima dan mengelola dana setoran BPIH.

UU 34/2014 mengamanatkan pengelolaan keuangan haji dilaksanakan oleh BPKH, badan hukum publik yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama. Organ BPKH terdiri atas badan pelaksana dan dewan pengawas yang bertugas mengelola penerimaan, pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban keuangan haji.

Nilai manfaat (imbal hasil) atas hasil pengelolaan keuangan haji oleh BPKH dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kepentingan jemaah haji. Kepentingan dimaksud antara lain dalam bentuk peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, rasionalitas dan efisiensi BPIH, serta kemaslahatan umat Islam.

Ramadan menambahkan, dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, BPKH berwenang menempatkan dan menginvestasikan keuangan haji. Sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan pelaksanaan UU 34/2014, opsi pengembangan keuangan haji oleh BPKH dapat dilakukan dalam bentuk produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung, dan investasi lainnya.

Namun demikian, dalam melakukan penempatan dan/atau investasi keuangan haji, BPKH harus senantiasa mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas serta kesesuaian dengan prinsip syariah. Hal ini mengingat dana haji adalah dana titipan masyarakat yang akan melaksanakan ibadah haji.

"Anggota badan pelaksana dan anggota dewan pengawas bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kerugian atas penempatan dan/atau investasi keuangan haji secara keseluruhan yang ditimbulkan atas kesalahan dan/atau kelalaian dalam pengelolaannya," tegasnya.

BPKH juga wajib menyusun rencana strategis (Renstra) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Berdasarkan Renstra tersebut, BPKH lalu menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan yang merupakan penjabaran secara rinci mengenai bagaimana dana haji akan dikelola pada periode itu, termasuk di dalamnya kebijakan mengenai berapa besar dana haji yang akan ditempatkan dalam produk perbankan dan/atau diinvestasikan pada surat berharga, emas, investasi langsung dan investasi lainnya.

"Renstra serta rencana kerja dan anggaran tahunan BPKH yang akan menjadi acuan BPKH dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan haji, akan ditetapkan oleh badan pelaksana BPKH setelah terlebih dahulu dibahas dan mendapat persetujuan dari DPR. Hal ini sesuai pasal 45 ayat 4 UU 34/2014 tentang pengelolaan keuangan haji," tandasnya.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menambahkan bahwa dana setoran BPIH boleh dikelola untuk hal-hal yang produktif, termasuk pembangunan infrastruktur. Kebolehan ini mengacu pada konstitusi maupun aturan fikih.

"Dana haji boleh digunakan untuk investasi infrastruktur selama memenuhi prinsip-prinsip syariah, penuh kehati-hatian, jelas menghasilkan nilai manfaat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan demi untuk kemaslahatan jamaah haji dan masyarakat luas," ujar Lukman dalam siaran pers, Sabtu (29/7).

Lukman mengutip hasil Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV Tahun 2012 tentang Status Kepemilikan Dana Setoran BPIH Yang Masuk Daftar Tunggu (Waiting List). Disebutkan bahwa dana setoran BPIH bagi calon haji yang termasuk daftar tunggu dalam rekening Menteri Agama boleh di-tasharruf-kan untuk hal-hal yang produktif (memberikan keuntungan), antara lain penempatan di perbankan syariah atau diinvestasikan dalam bentuk sukuk.

Hasil investasi itu menjadi milik calon jemaah haji. Adapun pengelola berhak mendapatkan imbalan yang wajar/tidak berlebihan. Namun demikian, dana BPIH tidak boleh digunakan untuk keperluan apa pun kecuali untuk membiayai keperluan yang bersangkutan.

Fatwa itu juga sejalan dengan aturan perundangan terkait pengelolaan dana haji. UU Nomor 34 tahun 2014 mengatur bahwa BPKH selaku Wakil akan menerima mandat dari calon jemaah haji selaku Muwakkil untuk menerima dan mengelola dana setoran BPIH.

Mandat itu merupakan pelaksanaan dari akad wakalah yang diatur dalam Perjanjian Kerja Sama antara Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Kementerian Agama, dan Bank Penerima Setoran BPIH tentang penerimaan dan pembayaran BPIH.

Akad wakalah ditandatangani setiap calon jemaah haji ketika membayar setoran awal BPIH. Melalui akad wakalah, calon jemaah haji selaku Muwakkil memberikan kuasa kepada Kementerian Agama selaku Wakil untuk menerima dan mengelola dana setoran awal BPIH yang telah disetorkan melalui Bank Penerima Setoran (BPS) BPIH sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (dtc)

BACA JUGA: