JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi selama ini selalu diidentikkan dengan melonjaknya angka inflasi. Hal itu menurut pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati adalah cara berpikir yang salah. Sebab, kenaikan harga BBM bersubsidi sebenarnya tidak selalu berdampak signifikan terhadap kenaikan angka inflasi.

Enny juga meminta masyarakat agar jangan menjadikan inflasi sebagai suatu momok yang menyeramkan bagi perekonomian Indonesia. "Inflasi memang bisa juga dianggap sebagai suatu penyakit bagi ekonomi, tapi penyakit tersebut masih bisa dikelola," kata Enny kepada Gresnews.com, Selasa (2/9).

Inflasi kata Eny dalam kondisi tertentu diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tanpa adanya kenaikan harga, kata Enny, produsen juga kehilangan insentif untuk melakukan ekspansi usaha."Ekonomi itu kan masalah manakemen, yang penting pengelolaan inflasi. Yang penting juga inflasi bisa memacu mendorong ekonomi," katanya menegaskan.

Enny mengatakan, yang terpenting ketika terjadi inflasi adalah tidak mengakibatkan terjadinya biaya tinggi. Jika pemerintah mampu menekan biaya tinggi ekonomi dari sisi produksi, dapat dipastikan tidak akan mempunyai multiplier efek yang berkepanjangan.

Kedua, kalau naik harga tentunya pemerintah harus bisa memastikan masyarakat bisa mengakses dan bisa membeli. "Jadi yang penting jangan ciptakan high cost ekonomi dari sisi produksi," kata Enny.

Enny menjabarkan hal tersebut menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung yang menyebut, permasalahan inflasi tidak menjadi dasar dalam menentukan kebijakan untuk menurunkan atau mengurangi BBM subsidi. Menurutnya inflasi memiliki banyak variannya dan jenis inflasi yang perlu dijaga adalah inflasi terkait bahan pangan atau stabilisasi harga bahan pangan.

Dia menjelaskan alasan pemerintah perlu menjaga inflasi bahan pangan karena untuk orang yang miskin dan hampir miskin rata-rata pengeluarannya untuk kebutuhan makanan. Jika kebijakan pemerintah mengakibatkan harga pangan menjadi naik, tentunya akan membuat orang miskin dan hampir miskin menjadi semakin tenggelam.

Artinya, inflasi yang disebabkan di luar bahan makanan tidak terlanggu mengganggu. Inflasi yang menjadi patokan adalah inflasi bahan makanan. "Dia (orang miskin) dalam jurang kemiskinan," kata CT.

CT mengatakan pemerintahan SBY pernah menaikkan harga BBM subsidi disaat bulan Ramadhan di tahun 2008. Artinya inflasi tidak bisa dijadikan patokan dalam membuat kebijakan. Menurutnya kenaikan BBM subsidi paling tidak berpengaruh terhadap inflasi khususnya bahan makanan.

Untuk mencabut subsidi khusus untuk kendaraan pribadi dapat menghemat 60 persen dari anggaran tetapi dampaknya terhadap inflasi sangat kecil sekali. "Kendaraan umum tetap disubsidi, motor tetap disubsidi, angkutan barang tetap disubsidi. Jadi penghematan dampaknya signifikan tetapi efeknya kecil," kata CT.

Sebelumnya, Deputi Neraca Statistik dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo memprediksi kenaikan harga BBM subsidi akan berdampak terhadap melonjaknya angka inflasi. Hanya saja dampak kenaikan itu tidak signifikan. Pengaruhnya, kata Sasmito, hanya akan berlangsung selama satu tahun. "Kemudian akan berangsur normal di bulan November, tahun depan," ujarnya.

Sasmito mengatakan jika kebijakan kenaikan harga BBM dilakukan pada bulan Oktober atau November maka dampak inflasi tidak terlalu signifikan. Dia mencontohkan jika kenaikan harganya sebesar Rp1000 per liter maka dampak inflasi sebesar 0,38 persen. Jika kenaikannya mencapai Rp2000 per liter maka dampak terhadap inflasi sebesar 0,76 persen. "Jadi dampaknya tidak terlalu signifikan," kata Sasmito.

BACA JUGA: