JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tak lekang dari ingatan, rusuh di Tolikara, Papua, yang terjadi pada 17 Juli 2015, bertepatan dengan Idul Fitri lalu. Sebuah masjid dan belasan kios yang berada di sana dibakar oleh warga setempat yang melarang pelaksanaan salat Idul Fitri.

Kasus Tolikara bisa terulang kembali jika tak diantisipasi sejak dini. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar menegaskan kerukunan antar umat beragama harus terus ditegakkan untuk menghindari terjadinya konflik. Pemerintah daerah (Pemda) Tolikara beserta seluruh jajaran sebaiknya duduk bersama membahas agar peristiwa serupa tak lagi terulang.

"Pemda sudah ditugaskan dengan membudayakan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Jadi FKUB inilah yang terus memelihara kerukunan di Tolikara," kata Boy beberapa hari lalu.

Boy mengatakan, polisi dibantu TNI akan melakukan pengamanan saat pelaksanaan salat Idul Fitri di Papua. Tak hanya itu, pendekatan kemanusiaan juga dilakukan. "Sampai hari ini, bisa saya katakan cukup kondusif," terang Boy.

Perlu diketahui, saat kejadian itu, Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti mengatakan kerusuhan berawal dari adanya surat dari Badan Pekerja Wilayah Tolikara Gereja Injili di Indonesia (GIDI). Surat itu berisi larangan bagi umat Muslim untuk mengadakan salat Idul Fitri di Tolikara.

Komnas Hak Asasi Manusia telah menurunkan tim investigasi. Manager Nasution, Komisioner Komnas Hak Asasi Manusia, mengatakan pihaknya menemukan empat pelanggaran HAM dalam kerusuhan itu.

Kasus pelanggaran HAM itu pertama adalah kasus intoleransi, berupa pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama seperti dijamin dalam Pasal 22 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Kedua, pelanggaran terhadap Hak untuk Hidup sebagaimana dijamin dalam Pasal 9 Ayat (1) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Faktanya, ada korban pemembakan yang menyebabkan seorang meninggal dunia yakni Enis Wanimbo dan beberapa orang terluka.

Ketiga, pelanggaran terhadap Hak atas Rasa Aman sebagaimana dijamin dalam Pasal 9 Ayat (2), 29 Ayat (1), 30 dan Pasal 31 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Peristiwa Tolikara telah mengakibatkan ketakutan dan hilangnya rasa aman warga negara, khususnya warga Muslim dan warga pendatang di Tolikara.

Keempat, pelanggaran terhadap Hak atas Kepemilikan sebagaimana dijamin dalam Pasal 36 UU 39 tahun 1999 tentang HAM. Faktanya, adanya pembakaran yang menyebabkan terbakarnya kios/sentra ekonomi warga, rumah ibadah muslim, dan rumah warga/properti.

PETA RAWAN KONFLIK - Indonesia Police Watch (IPW) menyatakan pemerintah dalam hal ini Polri harus dapat melakukan tindakan pencegahan agar kerusuhan seperti di Tolikara tak lagi terulang. Apalagi Mabes Polri sebenarnya sudah memiliki peta daerah rawan konflik di seluruh Indonesia tersebut.

Meletusnya kerusuhan di Tolikara, Papua, adalah gambaran betapa tidak pekanya pimpinan kepolisian di sana. Mereka juga dinilai tidak peduli terhadap dinamika sosial di daerahnya setelah kapolri mengatakan sudah memetakan daerah rawan konflik.

Tak hanya pemetaan rawan konflik, yang perlu juga dilakukan kepekaan pejabat Kepolisian. "Pemetaan daerah rawan konflik ini tidak akan ada gunanya, jika kapolri tidak menekankan kepada para pimpinan kepolisian di daerah, terutama kapolsek, kapolres, dan kapolda agar meningkatkan kepekaan serta mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap dinamika sosial di tempatnya bertugas," kata Ketua Presidium IPW Neta S Pane.

Dia menambahkan ketika pemetaan daerah rawan itu sudah dipaparkan, kinerja jajaran kepolisian di daerah rawan tersebut pun sudah harus disiagakan. Tidak ada celah, kerawanan itu meletus menjadi kerusuhan, seperti di Tolikara dimana mesjid dibakar saat jamaah sedang salat Idul Fitri. Jika ada kapolsek, kapolres, dan kapolda tidak komit, kapolri jangan segan-segan untuk mencopotnya.

"Masih banyak anggota Polri yang mau menjadi kapolsek, kapolres maupun kapolda, yang mampu menjaga keamanan wilayahnya. Kapolsek, kapolres, dan kapolda bukan raja kecil tapi pelayan masyarakat dan penjaga keamanan," imbuhnya.

Peta daerah rawan konflik politik di Indonesia tersebut juga digunakan pegangan saat menghadapi pemilihan umum kepala daerah (pilkada) serentak pada Desember 2015 lalu. "Yang rawan konflik kita beri perkuatan lebih sehingga kita bisa mengantisipasi," ujar Kapolri Jenderal Badrodin Haiti di kompleks Mabes Polri, Jumat (10/7/2015) pagi.

Ia menjelaskan jika penebalan personel dirasa belum mampu meredam kerusuhan, Badrodin mengaku telah mempersiapkan skenario kontijensi di mana kekuatan personelnya berasal dari satuan-satuan khusus di Mabes Polri, Polda setempat dan sekitarnya.

Badrodin menambahkan, suatu daerah dikategorikan sebagai rawan konflik, dilihat berdasarkan beberapa hal. Pertama, pada pilkada sebelumnya sering terjadi konflik. Kedua, ada partai dengan kepengurusan ganda di daerah itu. Ketiga, daerah memiliki sejarah konflik sosial di masa sebelumnya. Keempat, berdasarkan karakter masyarakat daerah itu.

BACA JUGA: