JAKARTA, GRESNEWS.COM - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai negara berpotensi dirugikan sebesar US$ 1,1 miliar akibat dua izin atau persetujuan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Dua surat izin yang ditandatangani bekas Menteri ESDM Jero Wacik itu terkait skema pembiayaan pembangunan Kilang LNG Train 3 Tangguh, Papua.

Surat pertama dengan Nomor.5165/10 MEM.M/2013 tertanggal 12 Juli 2013 yang ditujukan kepada kepala SKK Migas untuk menerapkan Trustee Borrowing Schema (TBS). TBS ini adalah bank atau lembaga keuangan menjalankan tiga fungsi sekaligus. Pertama, bertindak selaku pihak peminjam melalui perjanjian kredit dengan lender; Kedua, menerima hasil penjualan produk dari pembeli; dan ketiga, mendistribusikan hasil penjualan kepada yang berhak, termasuk lender.

Dijelaskan, skema TBS ini melanggar Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, tepatnya Pasal 6 Ayat (2.C). Pasal ini menjelaskan "modal dan risiko seluruhnya ditanggung badan usaha atau bentuk usaha tetap. Surat kedua  dengan Nomor. 0793 / BPOOOOO/2012/S, tertanggal 29 November 2012, di mana telah ditandatangani persetujuan (Plan of Development) POD II Tangguh Train 3. Surat ini ditandatangani pasca dibubarkannya BP Migas tanggal 13 November 2012.

Pada saat itu, kata Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi, Jero Wacik Menteri ESDM selaku Kepala Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minya dan Gas Bumi, yang dibentuk berdasarkan Perpres 95 tanggal 13 November 2012, untuk mengisi kekosongan hukum dalam hubungan dengan KKKS.

"Bila dijadwal pada tahun 2012 hingga 2018, negara ini akan berpotensi kehilangan sebesar US$ 1,1 miliar. Potensi kerugian negara atas pembangunan train 3 Tangguh ini disebab uangnya memang utang perbankan, tapi cara melakukan pencicilan utang dan bunga utang," tutur Uchok Sky Khadafi dalam surat elektronik yang diterima Gresnews.com," Senin (22/9).

Pihak BP Berau Ltd, lanjutnya, membebankan atau diambil dari bagian pendapatan atau keuntungan  untuk  negara yang akan diberikan dari  Train 1 dan Train 2 Tangguh. "Sekali lagi hal ini merupakan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah atau PP NO.79/2010 pasal 13," tegasnya. Pasal ini mengatakan bahwa bunga pinjaman untuk pembangunan investasi tidak boleh di-cost Recovery-kan.

Selain potensi kerugian US$ 1,1 miliar, menurutnya,  dua surat tersebut juga akan berdampak pada penetapan alokasi gas Tangguh untuk kepentingan domestik hanya 40%. Padahal kalau melihat neraca gas nasional 2012-2030, seharusnya alokasi gas untuk domestik harusnya  diatas 50%.

Ia berpendapat, ketika alokasi gas hanya 40% maka akan mengancam matinya beberapa pabrik pupuk di lumbung gas. Seperti Pabrik Pupuk PIM 2, Pabrik Pupuk Asean dan Kertas Kraf Aceh, yang total nilai  ketiga investasi pabrik tersebut sekitar US$ 1,2 miliar.

Karena itu, ia mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera memeriksa Jero Wacik dan memanggil pihak-pihak perusahaan yang terkait.

"Jero hanya dituduhkan melakukan pemerasan sebesar Rp9,9 miliar untuk menambah dana operasional menteri tidak begitu memuaskan. Seharus KPK juga masuk dan fokus  pada pemberian izin atau persetujuan Kementerian ESDM atas  skema pembiayaan pembangunan Kilang LNG Train 3 Tangguh," jelasnya.

KPK seharusnya juga memanggil British Petroleum (BP) bertindak sebagai pimpinan dengan saham sebesar 37% selaku pengelola BP Tangguh. Selanjutnya CNOOC yang memiliki saham sebesar 17% dan Mitsubishi Corporation 16,3 persen. Alasan pemanggilan ini adalah untuk mendalami adanya dugaan kerugian negara atas skema TBS ini, dan pada satu sisi lagi, pihak investor  dalam pembangunan train 3 diduga tidak memiliki apa-apa. "Seharusnya, investor itu harus memiliki 2 kemampuan yaitu kemampuan keuangaan, dan kemampuan teknologi untuk pembangunan train 3 Tangguh," pungkas Uchok.

BACA JUGA: