JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kisruh pemecatan Arcandra Tahar sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Gloria Natapradja Hamel sebagai pasukan pengibar bendera terjadi lantaran polemik dwikewarganegaraan. Hal itu memunculkan wacana revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2016 tentang Kewarganegaraan. Hal itu untuk memungkinkan para putra-putri terbaik bangsa tetap berpijak di tanah air Indonesia.

Di seluruh dunia, diketahui terdapat setidaknya ada 44 negara yang telah menerapkan kebijakan dwikewarganegaraan. Sasarannya, agar negara dapat memperoleh banyak keuntungan dari penerapan dwikewarganegaraan, misalnya saja tak kehilangaan putra-putri terbaiknya karena harus memilih salah satu kewarganegaraan.

Walau begitu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Firman Soebagyo menyatakan banyak hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan undang-undang agar tidak bertentangan dengan asas konstitusi. Pertama, harus benar-benar mengedepankan kepentingan nasional dan kedua, tidak bertentangan dengan asas konstitusi.

"Jangan karena di luar negeri menerapkan dwikewarganegaraan kemudian kami ikut. Setiap bangsa berbeda karakteristik dan tata kelola pemerintahannya," kata Firman.

Ia menyatakan kasus dwikewarganegaraan sangat mungkin masih banyak terjadi di Indonesia, Arcandra dan Gloria hanya sedikit dari sekian orang yang diperlakukan secara tidak adil. Mereka merupakan cerminan lemahnya sistem administrasi Indonesia. Padahal di sisi lain terdapat naturalisasi para pemain sepakbola asing yang ada di Indonesia.

"Revisi undang-undang ini penting untuk segera dilakukan, untuk membandingkan sesuatu harus seimbang atau apple to apple," katanya.

Ia menyatakan akan terdapat kecemburuan sosial apabila para Warga Negara Indonesia (WNI) yang mempunyai kualitas tidak diakui negara. Sedangkan sisi lain, terdapat WNA yang dinaturalisasi menjadi pemain sepakbola. "Pertanyaannya, dimana rasa keadilannya?" tanyanya.

Jika nantinya usulan revisi UU Kewarganegaraan ini dianggap penting maka jelas akan masuk pada program legislasi nasional (Prolegnas) 2016. Hanya saja terdapat masalah ketika usulan tambahan terbentur pembahasan RUU yang telah sesuai dengan DIPA pemerintah. "Akan menjadi persoalan adalah harus dibahas di Baleg atau Pansus," ujarnya.

Hal senada diungkap Dewi Fortuna Anwar sebagai pengamat hubungan internasional. Ia menyatakan pelarangan dwikewarganegaraan berawal dari adanya kekhawatiran terhadap keturunan Tionghoa terutama di era perang dingin, serta loyalitas ganda yang berefek pada keamanan nasional, sehingga Indonesia pada waktu itu sangat ketat karena banyak kepentingan asing yang bercampur di dalam negeri.

"Saat ini eranya sudah berbeda, semakin banyak WNI yang belajar dan meraih prestasi di luar negeri merupakan aset dan harus dilindungi," katanya kepada gresnews.com, Jumat (19/8).

OPTIMALISASI - Menurutnya, banyak negara yang memanfaatkannya WNI unggulan, sehingga Indonesia harus jeli melihat hal ini. Begitu juga masalah pernikahan campur, para anak dapat memiliki dwikewarganegaraan sampai berumur 18 tahun, setelahnya baru dapat memilih kewarganegaraan.

"Menurut saya tidak adil menyuruh mereka untuk mengikuti ayah atau ibu," katanya.

Jadi, menurutnya, sudah saatnya Indonesia meninjau ulang dan membuka peluang lebih besar terhadap potensi rakyatnya. Sebab iklim global sudah berubah karena semakin intensifnya hubungan antarnegara dan persaingan sehingga setiap negara ingin memanfaatkan sebaik mungkin potensi warga yang dimilikinya .

Walau begitu, Dewi juga menggarisbawahi adanya kerugian seandainya banyak warga negara lain yang ingin memiliki status dwikewarganegaraan sebagai WNI. "Oleh karena itu mekanismenya harus ketat, Amerika pun ketat dalam memberikan paspor," kata Dewi.

Tak hanya itu, pemberian dwikewarganegaraan juga harus diperketat untuk jabatan penting seperti menteri, anggota DPR atau BUMN. Mereka harus dipastikan hanya memiliki loyalitas kepada NKRI dan seandainya ditunjuk menduduki posisi tersebut tak boleh memiliki dwikewarganegaraan.

Namun, lain Dewi, lain pula pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana. Ia mengatakan masalah Arcandra tidak ada keterkaitan dengan dwikewarganegaraan. Karena di negara manapun tidak boleh menduduki jabatan politik atau pemerintahan jika memiliki dwikewarganegaraan.

"Amerika sendiri yang menganut sistem dwikewarganegaraan kalau dia menduduki jabatan itu langsung kehilangan kewarganegaraannya," katanya kepada gresnews.com, Jumat (19/8).

Aturan yang sama pun sudah tepat diterapkan kepada Arcandra. Hikmahanto bahkan mengaku bingung ketika DPR menyatakan masalah Arcandra memicu revisi UU Kewarganegaraan, padahal tidak ada kaitannya sama sekali. Menurutnya, Indonesia masih belum cocok menerapkan dwikewarganegaraan karena belum mempunyai sistem yang bagus untuk mendeteksi kewarganegaraan.

"Harus ada kajian yang komprehensif dan menyeluruh sehingga jika diterjemahkan ke undang-undang menjadi tepat," ujarnya.

Ketika ditanya masalah anak bangsa yang melepas kewarganegaraan Indonesia, ia santai saja. Sebab baginya walau kewarganegaraan telah lepas namun kebangsaan masih tetap sama. Pada prinsipnya harus ada pengakomodasian yang tepat, misal untuk naturalisasi dan pernikahan campuran.

"Tapi misal dwikewarganegaraan menyangkut Malaysia yang memberikan kewarganegaraan di Nunukan sana, nanti kami marah," katanya.

BACA JUGA: