JAKARTA, GRESNEWS.COM - Terpilihnya Setya Novanto menjadi Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar menyisakan pertanyaan publik. Pasalnya rekam jejak mantan ketua DPR itu penuh dengan kontroversi. Masih belum lepas dari ingatan publik kasus "papa minta saham" yang sempat mengguncang parlemen.

Skandal makelar pengurusan izin tambang Freeport, hingga pencatutan nama Presiden Jokowi, yang berakibat Setya harus dilengserkan dari kursinya sebagai ketua DPR, ternyata tak membekas dalam ingatan kader Golkar. Kasus yang mencederai etika dan moral seorang negarawan tersebut tak menjadi rambu bagi kader Golkar untuk menentukan pimpinannya. Kenyataannya Golkar secara mayoritas justru memilih Setya dibanding calon ketua umum lainnya.

Terpilihnya Setya menjadi Ketua Umum Partai Golkar pun dikhawatirkan akan mencederai citra partai berlambang beringin itu.  Sehingga akan berdampak pada semakin terpuruknya partai yang didirikan Orde Baru  tersebut.

Menurut peneliti Divisi Korupsi ICW Donal Fariz, pandangan publik yang luas terhadap Setya terkait beberapa kasus yang masih segar dalam ingatan akan membuat Partai Golkar cenderung turun dalam ukuran kekuatan politik.  "Dari pemilu ke pemilu kekuatan politik Golkar selalu turun, ditambah terpilihnya Setya Novanto," ujar Donal kepada gresnews.com, Selasa (17/5).

Donal mengaku tidak mengetahui pasti penyebab 277 pemilik suara dalam Munas Golkar memilih Setya Novanto. Apakah para kader yang memiliki hak suara tersebut lupa atau malah tidak memikirkan citra buruk sang ketua umum pilihan mereka. Jika benar bahwa mereka lupa atau tidak memikirkannya, tentu sangat mengkhawatirkan bagi Golkar dan demokrasi di Indonesia.

Berdasarkan informasi tentang jalannya Munaslub, laporan dari Ketua Dewan Etik Golkar Fadel Muhammad menyatakan informasi politik uang banyak diterima oleh komite etik. Bahkan diduga bahwa yang melakukan politik uang bukan cuma satu kandidat. Jadi sangat mungkin bahwa politik uang menjadi kuasa di pemilihan partai Golkar.

"Saya melihat bahwa orang yang punya uang, punya kesempatan menang yang sangat kuat dalam pemilihan Ketum Golkar," ungkapnya.

Jalannya pemilihan Ketua Umum Golkar putaran pertama, terjadi saling susul jumlah suara antara Ade Komarudin dan Novanto, walaupun akhirnya Novanto dinyatakan memenangkan putaran pertama dengan suara 277 (lebih 50%) dari 554 pemilik suara yang memberikan hak pilihnya. Dengan rekapitulasi suara sebagai berikut: Ade Komarudin 173 suara, Setya Novanto 277 suara, Erlangga Hartarto 14 suara, Mahyudin 2 suara, Priyo Budi Santoso 1 suara, Aziz Syamsuddin 48 suara, Indra Bambang Utoyo 1 suara dan Syahrul Yasin Limpo 27 suara. Sedangkan jumlah suara yang tidak sah sebanyak 11. Sehingga Ade Komarudin dan Setya Novanto berhak maju ke putaran kedua karena keduanya berhasil mengumpulkan 30% suara. Namun setelah salah satu Calon Ketua Umum Syahrul Yasin mengusulkan kepada Ketua SC agar Ade dan Setya melakukan diskusi untuk musyawarah.

Saat Ketua SC Munaslub Nurdin Halid memberikan kesempatan kepada Ade Komarudin untuk memberikan tanggapan,  Ade Komarudin justru menyatakan mendukung Setya Novanto menjadi Ketua Umum dan tidak melanjutkan pilihan putaran kedua. Akom menyatakan akan memberi dukungan penuh bagi kepengurusan Novanto yang terpilih memimpin Golkar pada periode 2014-2019.

Penilaian yang sama disampaikan pengamat politik Hendrajit. Menurutnya terpilihnya Setya menjadi Ketua Umum Partai Golkar maka Golkar akan lumpuh dari dalam. Jika partai politik berbendera kuning ini ingin melakukan manuver dalam tanda kutip "aneh", maka dengan mudah manuver tersebut dapat dilumpuhkan dengan membuka perkara di kejaksaan Agung.

"Pertanyaannya apa yang gini mau serius melakukan penegakan hukum? Berarti pemerintah dan oposisi sama-sama setali tiga uang. Sepakat melestarikan kawinnya feodalisme dan kapitalisme yang menjadi neoliberalisme," katanya kepada gresnews.com, Selasa (17/5).

Hendrajit menambahkan, setelah Novanto menjadi nahkoda Golkar publik  akan menyaksikan suguhan politik antara Golkar dengan Presiden Jokowi. "Kita lihat siapa yang lebih berhasil, men-Jokowikan Golkar atau meng-Golkarkan Jokowi," katanya

HARUS KEMBALIKAN KEPERCAYAAN PUBLIK - Namun pengamat politik Emrus Sihombing justru melihat proses demokrasi Munaslub Golkar di Bali sangat luar biasa. Para pemilik hak suara memberikan pilihannya secara bebas dan rahasia ke kotak suara.

Hasilnya,  Golkar menentukan pilihan kepada Setya Novanto. Proses perhitungan suara sebagai bukti bahwa Golkar menjunjung tinggi kerahasiaan sebagai salah satu nilai penting dalam berdemokrasi. Selain itu, dukungan yang diberikan oleh pemilik hak suara dan caketum yang lain untuk tidak melakukan putaran kedua dianggap sebagai modal luar bisa bagi Setya Novanto.

"Ini membawa Golkar ke depan sebagai partai petarung pada Pilkada 2017, serta Pileg dan Pilpres 2019. Karena itu, Munaslub kali ini menjadi titik balik bagi Golkar untuk bersatu dan solid seperti sediakala," katanya kepada gresnews.com, Selasa (17/5).

Ia mengingatkan terdapat beberapa hal yang harus dikerjakan Setya Novanto yaitu segera mengembalikan kepercayaan publik kepada Golkar dengan membuat agenda politik operasional yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Misalnya, membangun pusat-pusat pelayanan publik di tingkat DPC Golkar (Kecamatan) yang secara real nyata rakyat dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi rakyat.

Atau berperan aktif menyelesaikan konflik di tengah masyarakat, dan membantu rakyat bila mendapat pelayanan publik kurang baik dari aparat birokrasi di daerah. Strategi ini dipastikan segera dan mampu membangun kepercayaan rakyat kepada Golkar. "Tak luput penyelesaian konflik internal, bila salah kelola bisa membuka "luka" lalu," katanya.

Penyelesaian konflik, menurutnya, dapat ditempuh dengan kompromi politik di internal Golkar. Hal tersebut dengan syarat jangan  sampai melibatkan kekuatan politik di luar Golkar. Misalnya, Setya Novanto merangkul berbagai faksi untuk duduk di kepengurusan Golkar. Selain itu, bila ada reshuffle dan Golkar berkesempatan duduk di kabinet, sebaiknya Novanto menyodorkan tokoh Golkar yang kredibel di mata mayoritas kader Golkar, sebagai simbol perekat.

Ketiga, perlunya mendukung pemerintah secara tulus dan maksimal dalam rangka mempercepat meningkatkan kesejahteraan rakyat, utamanya bagi kaum Papa. "Dukungan pada pemerintah sangat produktif, sebab ada dua kader Golkar yang berada di posisi penting dan strategis di pemerintahan Jokowi, yaitu Jusuf Kalla (Wapres) dan Luhut Binsar Pandjaitan (Menkopolhukam)," tutupnya.

BACA JUGA: