JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta membatalkan putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) yang mengharuskan pemerintah untuk menyampaikan hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir Said Thalib kepada publik. Dengan putusan ini, Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) tidak wajib membeberkan hasil TPF Munir kepada publik.

"Menyatakan batal putusan KIP RI 025/IV/KIP-PS/2016 tanggal 10 Oktober 2016 sebagaimana dimohonkan keberatan permohonan," kata ketua majelis hakim Wenceleus, dalam sidang putusan di PTUN Jakarta, Kamis (16/2/).

Majelis hakim juga menyatakan bahwa Setneg tidak punya kewenangan untuk membeberkan pada publik hasil pemeriksaan TPF lantaran Setneg tidak memiliki dokumen tersebut. "Alasan pemerintah belum mengumumkan hasil TPF kasus meninggalnya Munir sebagaimana Keppres No 111/2004 tentang tim pencari fakta karena (dokumen—red) tidak ada pada pihak pemohon keberatan (Setneg)," ujar Wenceslaus.

Banding ke PTUN diajukan oleh Tim Biro Hukum Kementerian Setneg yang merasa tidak puas atas putusan KIP yang menyatakan hasil TPF Munir harus segera diumumkan Kementerian Setneg. Setneg mengajukan banding dengan dalih tidak memiliki dokumen mengenai hasil TPF Munir sehingga tidak bisa mengumumkannya kepada masyarakat.

"Dari awal itu sudah kami sampaikan semenjak di KIP dan juga di dalam permohonan keberatan kami dan fakta-fakta hukumnya di dalam persidangan kita buktikan bahwa Kemensetneg itu tidak memiliki, menguasai, atau mengetahui keberadaan dokumen tersebut," ujar Kepala Bidang Pengelolaan Informasi Publik Setneg, Faisal Fahmi, Kamis (16/2/).

Diminta keterangan mengenai keberadaan dokumen tersebut, Faisal menjawab bahwa banding yang diajukan pihaknya ke PTUN Jakarta tidaklah menyoal hal itu. "Itu hal yang berbeda. Ini kan terkait sengketa informasi. Soal subtansi di mana dokumen itu, bukan kewenangan kami untuk menjawab itu," katanya.

Senada dengan Faisal, Kasubdit Litigasi Hukum Kemensetneg, Yudi Sugaran menerangkan, hasil TPF Munir tidak dikembalikan kepada Setneg setelah dokumen tersebut diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Jadi begitu setelah diserahkan kepada presiden, tidak ada. Tadi dibilang hakim, yang menyimpan dan mengelola dari presiden diperintahkan untuk mengarsipkan dokumen tersebut," tambah Yudi.
LANJUT KASASI - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) berencana mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) terkait putusan PTUN di atas. "Tentunya kita masih memiliki upaya hukum kasasi yang akan dilayangkan dalam waktu 14 hari ke depan," kata Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil Politik Kontras, Putri Kanesia, Kamis (16/2/).

Menurut Putri, ada kejanggalan di dalam putusan PTUN tersebut. Terlebih setelah KontraS mengajukan jawaban atas banding Setneg pada 29 November 2016, Kontras tidak lagi mendapatkan informasi apa pun terkait proses persidangan. Barulah beberapa hari lalu KontraS dipanggil untuk menghadiri sidang putusan pada Kamis (16/2). Terkait hal itu, Putri menyebut akan melaporkan Majelis Hakim PTUN kepada Komisi Yudisial.

"Majelis hakim melanggar peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 karena menggelar peradilan secara tertutup. Selain itu, majelis hakim tidak bisa membedakan mana yang menjadi kewajiban Pemerintah secara keseluruhan dengan kewajiban Kementerian Sekertariat Negara sebagai lembaga," paparnya.

Putri menerangkan, sejak awal pihaknya sudah menyampaikan secara lisan maupun tulisan bahwa dalam konteks gugatan yang diajukan ke KIP, Kontras tidak menggugat Setneg dalam kapasitasnya sebagai lembaga semata. Gugatan Kontras sebenarnya dilayangkan ke presiden. Namun sebagaimana disebut dalam UU KIP bahwa presiden bukanlah badan publik, maka menggugat presiden secara langsung amat tidak mungkin dilakukan.

"Yang bisa mewakili presiden dalam hal ini adalah Setneg karena Setneg bertanggung jawab sebagai lembaga negara untuk urusan kesekretariatan presiden. Masalah kita adalah dengan presiden," tegas Putri.

Putri mengatakan, dokumen TPF penting untuk diungkap ke publik karena hal itu masih menyisakan tanda tanya. Bahwa hingga saat ini Kontras dan LBH terus memperjuangkan kasus tersebut agar diungkap ke publik, hal itu bukan demi kepentingan Kontras atau LBH. Bukan pula demi kepentingan istri almarhum Munir, Suciwati, maupun keluarganya.

"Ini terkait hak setiap warga negara Indonesia atas keadilan dan kepastian hukum. Semua harus tahu kalau ada orang yang terlibat suatu pembunuhan harus ada yang bersalah dan harus tahu sejauh mana keterlibatan orang-orang tersebut," katanya.

Putri menyayangkan bahwa setelah 12 tahun berlalu, penyelesaian kasus Munir masih terkesan jalan di tempat. Aktor intelektual di balik kasus pembunuhan itu bahkan masih berupa tanda tanya. "Hanya aktor-aktor pelaku lapangan sajalah yang diadili. Walaupun kita sama-sama tahu hasilnya seperti apa. Makanya saya pikir ini jelas penting dan dokumen tersebut menjadi kunci kita untuk membuka dan membongkar kembali kasus Munir yang setelah 12 tahun masih begitu-begitu aja," papar Putri.
BURUKNYA ADMINISTRASI NEGARA - Senada dengan KontraS, Praktisi Hukum Bahrain menyayangkan putusan PTUN Jakarta yang mengabulkan banding pihak Setneg. Menurut Bahrain, dilihat dari aspek hukum, dokumen hasil pemeriksaan TPF itu sebetulnya ada.

"Secara hukum dokumen itu ada. Karena TPF sudah menyerahkannya kepada presiden. Kalau PTUN mengabulkan banding yang diajukan Kementerian Kesekretariatan Negara (Setneg), itu sama dengan PTUN menguatkan keterangan bahwa dokumen itu tidak ada," kata Bahrain kepada gresnews.com, Kamis (16/2).

Lantaran dokumen itu ada, kata Bahrain, maka sudah semestinya pemerintah, dalam hal ini Setneg, mencari berkas dokumen tersebut. Bukan menyatakan tidak ada jika memang pihaknya tidak memiliki atau menyimpan dokumen itu. "Ini bukan persoalan Setneg punya atau tidak punya, tapi produk TPF itu ada. Tinggal cari saja di dokumen-dokumen negara," katanya. Jika kemudian dokumen itu sama sekali tidak ada, Bahrain menilai hal itu bisa menjadi bukti untuk menyatakan betapa bobroknya persoalan administrasi dalam konteks ketatanegarara jaan di Indonesia.

Menurut Bahrain, Setneg bisa mencari sekaligus meminta dokumen itu kepada pihak Polri maupun Jaksa Agung karena masing-masing lembaga tersebut sudah diberi salinan dokumen TPF oleh SBY. "Kalau Setneg bilang tidak punya, ini kan persoalan tafsir saja. Putusan itu jadinya mengolah kata-kata, bukan mengolah fakta. Pemerintah kan bukan hanya Setneg," katanya.

Terakhir, Ketua Divisi Advokasi YLBHI periode 2011-2016 tersebut menerangkan, Kontras dan aktivis HAM lain memperjuangkan dokumen TPF diungkap ke publik agar proses mencari keadilan dan penegakkan HAM di negeri ini berjalan. Saat putusan PTUN menyatakan gugatan Setneg atas putusan KIP dikabulkan, Bahrain menyebutnya sebagai preseden buruk dunia peradilan. "Negara sudah bertindak abai dan PTUN mengaminkan, lantas, mau ke siapa lagi kita mencari keadilan dan menegakkan HAM?" tukasnya.

Terlepas dari putusan PTUN di atas, pada Selasa (25/10/16/) lalu, di Puri Cikeas SBY menyebut pihaknya memiliki salinan dokumen TPF itu. Di saat yang sama, Menteri Sekretaris Negara di era SBY, Sudi Silalahi, membacakan hasil rekomendasi TPF kepada pemerintahan SBY. Berikut isi rekomendasi tersebut.

1. TPF merekomendasikan kepada Presiden RI untuk meneruskan komitmen Presiden dalam pengungkapan kasus pembunuhan Munir secara tuntas hingga mencapai keadilan hukum. Untuk itu perlu dibentuk sebuah tim baru dengan mandat dan kewenangan yang lebih kuat guna menindaklanjuti dan mengembangkan temuan-temuan TPF, serta mengawal seluruh proses hukum dalam kasus ini, termasuk dan terutama yang dapat secara efektif menindaklanjuti proses pencarian fakta di lingkungan BIN.

 2. TPF merekomendasikan kepada Presiden RI untuk memerintahkan Kapolri melakukan audit atas keseluruhan kinerja tim penyidik kasus meninggalnya Munir dan mengambil langkah-langkah konkrit untuk meningkatkan kapasitas penyidik Polri secara profesional dalam mengusut tuntas permufakatan jahat dalam jangka waktu yang wajar.

3. TPF merekomendasikan kepada Presiden RI untuk memerintahkan Kapolri agar melakukan penyidikan yang lebih mendalam terhadap kemungkinan peran Indra Setiawan, Ramelga Anwar, AM Hendropriyono, Muchdi PR, dan Bambang Irawan dalam permufakatan jahat melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: