JAKARTA, GRESNEWS.COM - Panitia Khusus Kasus Pelindo II akhirnya mengungkap adanya penggelapan saham dalam kerjasama pengelolaan Pelabuhan PT Jakarta International Container Terminal (JICT) antara PT Pelindo II atau  Indonesia Port Corporation II (IPC) dengan Hutchison Ports Holding (HPH). Penggelapan saham itu terungkap setelah Pansus Pelindo II DPR meminta keterangan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI).

BPUI atau Bahana Securities merupakan konsultan Pelindo II yang menilai kelayakan kelanjutan kerjasama pengelolaan pelabuhan JICT dengan PT Hutchison.  Bahana ditunjuk oleh dewan direksi dan dewan komisaris IPC guna memberi pendapat profesional dan final atas perbedaan hasil review dari Deutsche Bank dan FRI.

Kepada Pelindo II,  Bahana menyatakan bahwa proposal Hutchison kepada Pelindo II terkait perpanjangan kontrak layak untuk dipertimbangkan. Namun pemaparan perhitungan Tim Gabungan (Bahana bersama FRI) yang turut ditandatangani Bahana  pada 23 November 2015 menyatakan justru memuat pernyataan yang terkesan menegasikan kajian yang mereka lakukan sendiri pada 27 April 2015.

Pernyataan berbeda ini mengusik PT Pelindo II untuk melayangkan  somasi kepada Bahana atas penilaiannya terhadap kontrak kerjasama Pelindo dengan Hutchison. Sebab Pelindo II menilai ada inkonsistensi pernyataan Bahana dalam menilai kontrak Hutchison.

Namun, berdasar keterangan Bahana  di depan Pansus Pelindo II ini semakin menguak sandiwara penetapan saham pemerintah di JICT yang dilakukan oleh RJ Lino.

Pengamat Ekonomi Politik, Hendrajit menyatakan, ada kemungkinan Bahana benar melakukan inkonsistensi dan melakukan kebohongan di depan Pansus Pelindo. Untuk itu, agar tidak terkecoh, ada dua hal yang harus menjadi catatan.

"Pertama, tidak lepas dari dampak privatisasi JICT pada 1999 dimana Bahana terlibat sebagai financial advisor," katanya kepada gresnews.com, Jumat (27/11).

Padahal Privatisasi BUMN jelas merupakan arahan dari IMF berdasarkan Letter of Intent dimana Presiden Suharto dipaksa menandatanganinya pada tahun 1997. Kedua, semua ini berakar pada dua hulu penyebab menyusul terjadinya reformasi Mei 1998 karena momen itulah terciptanya sistem koruptif di semua tingkatan, baik pusat maupun daerah.

Produk hukum dan perundang-undangan telah dibelokkan dari kepentingan nasional menjadi kepentingan pro asing. Kisruh antara Pelindo dan Bahana, harus dibaca sebagai dampak langsung dua hal tersebut. Sebab privatisasi, merupakan buah dari perkawinan antara skema korporasi asing yang memaksa adanya privatisasi BUMN.

Apalagi ditambah dipayungi oleh UU, dan dikolaborasikan dengan para pejabat yang rentan korupsi. "Sistemnya memang diciptakan agar semua pejabat di semua tingkatan, harus mau diajak kongkalingkong. Maka, terjadilah perkawinan antara korporasi dan kleptokrasi," katanya.

ADA PENGGELAPAN SAHAM JICT - Anggota Pansus Pelindo II Masinton Pasaribu menyatakan meminta presiden untuk memerintahkan agar Pelindo II tak melakukan manuver apa pun saat pansus berjalan. "Kita lihat ada intimidasi ke Bahana dan orang-orang yang dipanggil ke pansus, disomasi, diteror," ujarnya di Gedung DPR RI, Kamis (26/11).

Intimidasi ini berimplikasi pada kekhawatiran orang-orang yang pernah diperiksa di pansus, baik oleh ancaman maupun gugatan di kemudian hari. Padahal, seharusnya, subjek pemberi keterangan mendapatkan perlindungan dan rasa aman.

"Ketika Bahana berikan keterangan, ini semakin jelas ada skandal besar di Pelindo II. Menyangkut kepentingan nasional yang digadaikan," katanya.

Dimana menurutnya terdapat kebohongan publik yang selama ini disembunyikan.  Sebelumnya dinyatakan saham Indonesia di JICT sebesar 51 persen, kenyataannya hanya 48 persen. Selama ini, saham sebesar 48 persen ini dikonversi dan setara dengan US$215 juta. Namun, penghitungan ulang menyatakan US$215 juta hanya setara dengan 18,7 persen saham.

"Jadi dari 48 persen ke 18,7 persen ada selisih 30 persen saham yang digelapkan. Oknumnya kini sedang kita dalami," katanya.

Ditambahkan anggota Pansus Pelindo II Teguh Juwarno dari Fraksi PAN pembagian persentase, dimana Pelindo mendapat hanya 48 persen sudah berlangsung dari awal kontrak di tahun 1999. Pada Juni 2015 saat Lino membuat perpanjangan kontrak, ia menyatakan saham ini telah diubah posisinya.

"Komposisinya terbalik, kita jadi yang 51 persen, tapi dalam dokumen itu, ternyata bohong," ujar Teguh kepada gresnews.com, Jumat (27/11).

Mengacu pada dokumen persetujuan perpanjangan kontrak, Lino mengaku jumlah saham ini mulai terbalik pada Juni 2015. Namun, direksi JICT menyatakan perubahan nilai saham diklaim mulai berjalan pada 6 Juli 2015.

Penuturan lebih lanjut juga menyatakan, alasan bahwa dari tanggal perpanjangan kontrak hingga sekarang belum dilakukan rekomposisi saham lantaran masih mengurus perubahan dokumen. Padahal dari Kementerian Hukum dan HAM menyatakan perubahan dokumen hanya memerlukan waktu 7 menit.

"Masak dari Juli sampai sekarang sudah lebih dari lima bulan mereka masih urus perubahan dokumen," ujarnya.

SALAHI ATURAN - Seharusnya, dalam mekanisme perpanjangan kontrak, Pelindo II harus berpatokan pada Pasal 344 Ayat 22 UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang menyatakan setiap kerjasama atau kontrak bisnis harus mendapat persetujuan dari otoritas pelabuhan yakni, Kementerian Perhubungan sebagai regulator pelabuhan. Tak hanya itu, UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1 Tahun 2004 Perbendaharaan Negara pun harus dijalankan.

"Perpanjangan itu harusnya di tahun 2019, tapi kenapa buru-buru Menteri BUMN acc perpanjangan kontrak? Ini dia juga harus tanggung jawab," ujarnya.

Sebab kenyataanya saat Menteri BUMN dijabat Dahlan Iskan, permohonan perpanjangan kontrak HPH dan JICT ditolak. Langkah senada pun dilakukan Mantan Menteri Perhubungan EE Mangindaan dan Ignasius Jonan yang juga berkeberatan atas perpanjangan kontrak tersebut. Namun, Lino malah membuat penandatanganan kontrak dengan menabrak kaidah-kaidah tersebut.

"Belum lagi, HTC kalau dari hitungan valuasi harusnya hanya dapat 26 persen, nah di kontrak mereka dapat 48, aslinya dapat 51 persen," katanya.


MASIH DALAM PROSES - Sementara itu pengacara RJ Lino, Frederic Yunadi yang dikonfirmasi terkait  temuan Pansus Pelindo II tentang posisi saham pemerintah yang tak berubah dalam perpanjangan kontrak menampiknya.

”Tidak benar itu, karena pansus kan tak mengerti hukum," katanya kepada gresnews.com, Jumat (27/11).

Ia menjelaskan, segala pengurusan yang melewati Kemenkumham memang memungkinkan dilakukan dengan waktu singkat lantaran telah menggunakan sistem online. Namun, sebelumnya pendaftaran ini haruslah melewati Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang memakan waktu cukup lama.

Saat ini, yang telah dilakukan Pelindo II adalah membuat kesepakatan komposisi saham. "Ini sudah dilakukan. Tapi, alurnya jika BKPM sudah setuju maka baru diadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atas akta perubahannya," katanya.

Setelah itu, baru akta tersebut dibawa ke Kemenkumham untuk didaftarkan. Jika sudah, alurnya akan kembali ke BKPM. Ia menjelaskan, mekanisme ini tak bisa memakan waktu hanya satu-dua hari saja.

"Yang jelas akta kesepakatan jual beli saham ini kan ada, ya sudah sah. Tapi prosesnya masih di BKPM dan itu di luar kewenangan kita," ujarnya.

Namun, ketika ditanya mengenai rata-rata waktu pengurusan di BKPM dan sudah berapa lama Pelindo II mengurus, Frederic mengaku  tak tahu. Lantaran informasi tersebut tak masuk ranahnya melainkan ranah Biro hukum internal JICT.

"Tapi Pansus Pelindo II ini keliru, mereka bukan ahli dari administrasi hukum, jadinya asal. Penanaman modal asing tak bisa langsung seperti beli tahu goreng di pinggir jalan," jawabnya.









BACA JUGA: