JAKARTA, GRESNEWS.COM - Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat tampaknya pantang menyerah untuk menggolkan pembangunan 7 megaproyek di kawasan kompleks DPR, Senayan, Jakarta. Proyek yang bakal menelan Rp2,7 triliun itu mencakup alun-alun demokrasi, museum, perpustakaan, jalan akses tamu, visitor center, pusat kajian, pembangunan ruang anggota, serta integrasi tempat tinggal anggota DPR.

Gara-gara proyek ini, hubungan antara DPR dengan Presiden Joko Widodo sempat memanas. DPR merasa dipermainkan Jokowi lantaran, menurut pihak DPR, Jokowi sudah merestui proyek tersebut. Karena itu, dalam acara pidato kenegaraan tanggal 14 Agustus, DPR sudah menyiapkan prasasti pembangunan proyek 7 gedung baru DPR.

Sayangnya, Presiden Jokowi lagi-lagi tak menandatanganinya. Jokowi meminta proyek ini dikaji kembali. Wapres Jusuf Kalla juga mengatakan pemerintahan masih menghitung seluruh anggaran yang akan dikeluarkan untuk proyek ini.

"Belum ada pembahasan pemerintah dan DPR di dalam rapat komisi, berarti belum ada restu dari pemerintah," kata Jusuf Kalla.

Toh, meski belum direstui, pihak DPR tetap ngotot menyuarakan pembangunan proyek ini. Fraksi-fraksi di DPR yakin pemerintah akan menggolkan megaproyek ini. Ada 10 fraksi yang ingin agar proyek ini diteruskan. Hanya dua fraksi yaitu Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat yang meminta proyek ini dikaji ulang.

Fraksi PPP menilai, dari ketujuh proyek itu, pembangunan ruang kerja anggota DPR lah yang mendesak untuk dikerjakan.

"Kalau bicara 7 tahapan proyek itu maka saya lebih utama setuju adalah ruangan bagi anggota DPR yang sekarang tidak memadai. Itu prioritas," kata ketua Fraksi PPP Hasrul Azwar, Selasa (25/8).

Hasrul menilai, ruangan kerja anggota DPR saat ini sesak karena ada penambahan tenaga ahli dan staf bagi tiap anggota DPR. Mereka berbagi ruangan di gedung Nusantara I bersama anggota DPR.

"Ya bolehlah (pembangunan gedung), tapi yang mendesak. Kalau alun-alun demokrasi saya kira belum mendesak, museum juga saya kira belum. Yang mendesak menurut Fraksi PPP adalah kantor ruang kerja anggota DPR yang sudah tidak memadai," tegasnya.

Hasrul mengatakan, Fraksi PPP perlu mengkaji lebih dalam lagi soal 7 mega proyek DPR itu, belum bisa disikapi setuju atau tidak.

Sementara itu, Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini menilai agar tak mengganggu kebutuhan rakyat maka pembangunan Rp2,7 triliun itu dilaksanakan secara tahun jamak.

"Ekonomi lagi sulit, maka bisa juga secara multiyears supaya tidak berbenturan dengan kepentingan rakyat," tutur Jazuli.

Ia menyatakan ruang kerja anggota DPR sudah tidak mencukupi sehingga sudah mendesak untuk diperbaiki. Hal ini karena ada penambahan tenaga ahli dan staf. "Urgen tidak bila Tenaga Ahli tidak punya tempat duduk?" ucapnya.

GEDUNG DPR MIRING - Alasan utama para pengusung proyek gedung baru DPR ini adalah gedung DPR yang ada sekarang, sudah miring. Alasan ini sudah dimunculkan sejak tahun 2010 silam dan kini dimunculkan lagi.

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Ahmadi Noor Supit usai rapat Banggar soal APBN 2016 di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (25/8), mengatakan, dia khawatir bila nantinya gedung tempat ruang anggota dewan yang sudah miring itu bakal roboh.

"Apa yang dibilang rakyat apabila tiba-tiba Gedung DPR runtuh hanya gara-gara rakyat meminta bahwa itu rumah rakyat dan tidak boleh dibatasi? Bebannya begitu menyulitkan, tiba-tiba terjadi, malu di dunia kalau itu terjadi," kata Supit.

Anggota DPR Fraksi Partai Golkar sejak era Orde Baru ini menyatakan rata-rata gedung DPR dikunjungi oleh 5 ribu orang per hari. Bila kelebihan muatan, dikhawatirkan gedung Nusantara I yang digunakan sebagai ruang fraksi-fraksi itu bakal runtuh.

"Dulu pernah dilaporkan miring. Kalau bebannya tidak diatur, ini rumah rakyat. Kalau di luar negeri orang yang masuk parlemen itu diatur nggak boleh lebih dari kapasitasnya," tuturnya.

Gedung Nusantara I DPR itu dibangun tahun 1997. Belakangan, gedung itu disebut miring. Permasalahan overkapasitas kini dikemukakan Supit. Menurut Supit, gedung itu sudah salah bangun sejak awal.

"Ya kesalahan dari awal tidak diprediksi. Saya dulu tahun 1992 jadi anggota DPR. Karena dulu kan pertama satu ruangan di Nusantara III itu berisi 11 orang. (Saat membangun Nusantara I) Tidak memprediksikan membangun Gedung di situ, karena dulu satu ruangan untuk satu orang," kata Supit.

Dulu, kata Supit, DPR tak berpikir bakal ada staf ahli hingga tenaga ahli fraksi. Beban Gedung menjadi bertumpuk. Terlepas dari itu, Supit menyatakan Kementerian Pekerjaan Umum perlu mengaudit Gedung DPR.

"Mestinya memang harus dilihat lagi konstruksinya. Karena kita takut juga kalau itu terjadi sesuatu," tuturnya.

Dia lantas membandingkannya dengan Gedung Kedutaan Besar RI di Jepang yang pernah dinyatakan tak tahan gempa. Daripada merenovasi dengan biaya mahal, lebih baik dibangun gedung baru yang tahan gempa.

Rencana pembangunan Gedung DPR pernah muncul pada tahun 2010 silam. Wacana pembangunan berawal dari laporan Kementerian PU yang menyebutkan bahwa Gedung Nusantara I mengalami kemiringan 7 derajat, meski kemudian Kementerian PU membantah pernah melaporkan hal tersebut.

CARA DPR "PAKSA" JOKOWI DISAYANGKAN - Sebagian pihak memang memaklumi kebutuhan DPR untuk membangun gedung baru. Hanya saja, cara DPR yang dianggap ingin "menjebak" Jokowi dengan penandatanganan prasasti proyek tersebut dinilai tak pantas.

Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan, niat DPR "menjebak" Jokowi untuk mendapat legitimasi persetujuan pembangunan gedung DPR itu tak pantas secara ketatanegaraan.

Apalagi hal itu dilakukan saat rencana itu belum siap sama sekali. Bahkan prototipe bangunannya sekalipun belum diumumkan sehingga dilihat dari sisi ketatanegaraan sangatlah tidak etis.

"Presiden bisa dikatakan dijebak, seharusnya DPR tak melakukan tindakan tersebut," kata Refly kepada gresnews.com, Selasa (26/8).

Apalagi, kata Refly, langkah "penjebakan" ini dilakukan melalui tindakan dalam acara formal yakni saat pimpinan sidang paripurna mempersilakan presiden untuk menandatangani prasasti. "Proyek ini belum rampung dari sisi anggaran dan pembicaraan," ujarnya.

Ia menyatakan, pembentukan tim peresmian atau pun penandatanganan prasasti tak perlu melibatkan presiden. Cukup ditandatangani oleh ketua DPR saja, sebab jika presiden menandatangani prasasti maka dapat diklaim ikut menyetujui proyek tersebut.

Padahal, isu pembangunan gedung DPR ini amat sensitif di masyarakat. "Internal DPR saja belum solid, toh tak ada kewajiban presiden menandatangani, tak elok presiden dilibatkan," katanya.

Terlebih, kata Refly, penandatanganan prasasti tak ada pengaruhnya dengan persetujuan pemerintah. Lantaran tahap pembicaraan persetujuan pembangunan gedung harus diadakan secara formal setelah melalui mekanisme pembahasan anggaran di badan anggaran DPR.

"Jika ditandatangani pun maka tak berpengaruh, harus ada tahapannya, namun tak etis saja di sisi Jokowi," ujarnya.

Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor 45/PRT/M/2007 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Gedung Negara, disebutkan persyaratan administrasi pembangunan gedung negara harus melalui kelengkapan administratif baik pembangunan maupun pemanfaatan.

"Setiap pembangunan gedung negara harus dilengkapi ketersediaan anggaran, persetujuan pejabat berwenang yang dapat berupa Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau dokumen lain yang dipersamakan," kata Refly.

Sementara itu, Politisi Demokrat Ruhut Sitompul mengatakan DPR sedang menunggu lobi-lobi untuk meloloskan proyek ini. Sebab diketahui kondisi ekonomi dan pemerintahan pun sedang dalam keprihatinan.

"Apalagi anggarannya belum ada, jadi menurut Banggar harus dilobi dengan baik," ujarnya kepada gresnews.com, Selasa (26/8).

Ia sendiri mengusulkan pembangunan dilakukan hanya untuk sisi-sisi tertentu saja, seperti misalnya ruang anggota di Gedung Nusantara I DPR RI. Hal ini lantaran juga berkaitan dengan muatan tenaga ahli dan staf.

"Itu memang sudah tak muat, sempit. Tapi kalau rencana yang lain kita lihat dulu bagaimana kebutuhan dan masyarakat," katanya.

Ketika disinggung mengenai usulan penandatanganan prasasti, ia menyatakan hal tersebut merupakan urusan para pimpinan DPR. Pun begitu juga saat desain proyek diadakan secara sayembara bukan berdasar tender sesuai yang diamanatkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor 45/PRT/M/2007 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Gedung Negara.

"Aku tak tahu, itu urusannya Fahri sama Novanto, sayembara juga aku tak enak mau ngomongnya. Yang jelas tak pernah ada omongan sayembara dengan anggota DPR lainnya," ujarnya.

DIKAJI ULANG - Sekretaris Fraksi PAN sekaligus Anggota Komisi II DPR RI Yandri Susanto mengatakan, fraksinya akan mengkaji ulang proyek pembangunan gedung DPR ini. Mengkaji di sini, kata dia, bukan sama sekali menolak, namun menempatkan proyek mana yang perlu dijalankan terlebih dahulu.

"Di antara tujuh itu, mana yang mendesak. Ruangan anggota DPR saya kira paling urgen," katanya kepada gresnews.com, Selasa (25/8).

Ia juga mengeluhkan hal yang sama dengan Ruhut. Ruang anggota DPR sudah tidak layak lantaran luasnya hanya 4x6 meter per anggota harus ditempati bersama beberapa staf.

Dalam ruangan gedung tersebut juga hanya terdapat satu toilet yang digunakan bersama-sama sedangkan total pemakainya bisa mencapai 60 orang.

"Yang ada tinggal ditambah luasnya, termasuk yang lain mana paling urgen didahulukan, apa perpustakaan, sehingga manfaat dari keperluan DPR bisa terpenuhi," katanya.

Lain dalam penerapan gedung DPR modern, walaupun tak dilakukan saat ini namun perencanaan dapat mulai dilakukan sedini mungkin. Namun, karena melihat keadaan ekonomi yang sulit maka perencanaan harus dilakukan se-detail dan se-transparan mungkin.

"Saya juga tak setuju ketika apapun yang diajukan DPR ditolak, itu juga tak baik. Tapi jika membebani APBN maka saya kurang setuju," katanya.

Ia yakin apabila anggaran gedung ini dibuat detail, menyesuaikan kebutuhan, dan transparan kepada masyarakat maka pembangunan juga akan dimaklumi. Toh, gedung DPR juga merupakan lambang kenegaraan.

Menyoal masalah batalnya penandatanganan prasasti peresmian, ia merasa hal tersebut juga lantaran kurang matangnya persiapan pihak DPR. Memang seharusnya anggaran dirampungkan dan dimatangkan bersama Banggar baru kemudian dengan pemerintah terlebih dahulu.

"Pak Jokowi belum mau tanda tangan itu wajar, tapi bukan berarti menolak karena ini belum melewati perencanaan matang dan lelang," katanya.

Ia menyatakan saat ini proyek masih dalam tahap pengumpulan desain gedung melalui sayembara. Ditegaskannya, sayembara hanya dilakukan dalam bentuk pembuatan gambar gedung saja, adapun pembangunannya juga akan melalui tender.

"Kan itu biasa gambar disayembarakan, setelahnya baru tender. Tapi semua proyek ini satuan kerjanya ada di Kesetjenan DPR," katanya.

Rencana pembangunan gedung DPR ini memang sudah pernah diusulkan pada zaman Presiden SBY tahun 2010 lalu. Namun kemudian, Presiden SBY mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2011 pada 15 Maret 2011 yang menginstruksikan jajaran kementerian atau lembaga negara agar melakukan penghematan secara konkret. Itu termasuk pembatasan pembangunan gedung-gedung kantor, rumah dinas, baik di tingkat pusat maupun di daerah.

DPR yang kala itu dipimpin Marzuki Alie menganggarkan Rp1,6 triliun untuk gedung baru seluas 157 ribu meter persegi atau setara Rp10 juta per meter persegi. Lantaran penolakan keras dari masyarakat anggaran ini sempat diturunkan menjadi Rp800 miliar atau setara Rp5 juta per meter persegi.

ANGGARAN DARI DANA OPTIMALISASI? - Perlawanan publik atas rencana pembangunan gedung DPR ini terus menggema meski DPR ngotot merealisasikannya.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai pembangunan gedung DPR yang menelan biaya Rp2,7 triliun berpotensi merugikan rakyat. Karena itu Fitra meminta Presiden Jokowi menolak 7 megaproyek DPR itu.

"Pertanyaannya, dari alokasi APBN, dana pembangunan sebenarnya diambil dari mana? Ternyata Fitra menemukan, dugaannya pembiayaan gedung akan diambil dari dana optimalisasi setiap tahun," kata Sekjen Fitra Yenny Sucipto, dalam siaran pers, Rabu (26/8).

Padahal dana ini seharusnya diperuntukkan untuk cadangan risiko fiskal. Jika dana ini diambil maka berdampak pada daerah khususnya terhambatnya peningkatan kesejahteraan rakyat di pelosok.

"Rakyat menjadi tetap miskin. Jadi ini bukti politik anggaran DPR sungguh menyakiti rakyat," kata Yenny.

"Selain itu, alokasi Rp2,7 triliun tidak sesuai dengan perencanaan dan pembahasan yang transparan. Hingga saat ini belum jelas Rp2,7 triliun itu untuk pembiayaan apa saja. Potensi mark-up pembangunan 7 proyek gedung DPR ini diprediksi sangat tinggi," katanya.

Saat ekonomi nasional sedang lemah, menurut Yenny, maka tidak layak sebenarnya DPR ngotot mengambil alokasi Rp2,7 triliun dari APBN. Hal ini semakin menambah defisit negara kita yang mencapai Rp278 triliun.

"Daripada untuk membangun 7 proyek lebih baik untuk meminimalisir defisit negara dan mengurangi utang luar negeri di saat rupiah melemah dan dolar AS naik tinggi," katanya.

"Ruang fiskal APBN kita sempit sehingga belanja publik kecil. Tidak layak jika DPR menutup mata dan membiarkan masyarakat tidak menikmati jaminan kesehatan dan pendidikan, namun justru DPR bermewah mewah dengan proyek pembangunan gedung," imbuhnya.

Untuk itu Fitra meminta pemerintah khususnya Kemenkeu untuk menolak secara tegas rencana pembangunan 7 proyek DPR karena merugikan rakyat dan tidak sesuai dengan kondisi perekonomian yang melemah.

"Meminta Presiden untuk menegaskan kembali penolakan terhadap rencana pembangunan 7 proyek angkuh DPR. Jika dipaksakan dan batal, maka seperti 2010. Anggaran negara untuk pra perencanaan kisaran senilai Rp7-15 miliar akan menguap sia sia," pungkasnya.

ANGGARAN TERLALU BESAR - Pihak Kementerian Keuangan sendiri dalam pembahasan anggaran untuk proyek ini mengakui anggaran yang diajukan sebesar Rp2,7 triliun terlalu besar. "Gedung DPR kegedean untuk masuk buku APBN," kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Selasa (25/8).

Ketika ditegaskan apa maksud "kegedean" alias terlalu besar itu bermakna anggaran Rp2,7 triliun untuk proyek DPR tak akan diakomodir oleh pemerintah dalam APBN 2016, Bambang menjawab santai.

"Apa sih? Belum ada di dalam APBN," jawabnya sambil berusaha melalui kerumunan belasan wartawan yang bertanya.

Dia menyatakan pemerintah dan DPR belum benar-benar membahas proyek itu. Saat ini, pembahasan APBN 2016 baru memasuki tahap awal. Dia tak memastikan saat ditanya apakah postur APBN bisa memenuhi keinginan DPR.

"Orang belum dibahas, belum ada di nota keuangan!" tegas dia.

Pernyataan Bambang ini berbeda dengan pernyataan Ketua Banggar Ahmadi Noor Supit. Dia bilang pimpinan Banggar dan Menteri Keuangan sudah bertemu membahas proyek itu, Senin (24/8) kemarin malam. Disepakati bahwa proyek itu akan dibiayai secara multiyears dengan nilai total Rp2,7 triliun.

"Dari perencanaan yang ada, anggaran yang dibutuhkan hampir Rp2,3 atau Rp2,7 triliun untuk multiyears sampai tahun 2018 kalau tidak salah," kata Ahmadi.

Supit mengatakan, dalam rapat konsultasi tadi malam, turut dibahas apakah 7 mega proyek DPR itu sudah masuk dalam nota keuangan RAPBN 2016. Ternyata belum terakomodir karena kajian teknisnya belum selesai.

"Jadi pengusulannya sudah, dari sekian prioritas yang diusulkan oleh sekjen DPR, (7 proyek DPR) itu belum termasuk karena persoalan kajian teknisnya belum sempurna," ujar politisi Golkar itu.

"Kajian teknis dilakukan Kementerian PU, secara teknis itu belum selesai. Karena belum selesai tentu tidak bisa dinilai dari sisi apakah ini sudah memenuhi kriteria untuk dimasukkan dalam APBN," kata Ahmadi. (dtc)

 

BACA JUGA: