JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengumuman nama-nama menteri Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (Jk) yang dijanjikan pada hari ini ditanggapi pesimis beberapa pihak. Pasalnya, presiden baru Indonesia ini mewacanakan pula mengubah nomenklatur atau postur kementerian dan menyeleksi ulang nama-nama yang telah ditandai Korupsi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Kabarnya dalam kabinet Jokowi-JK ini ada rencana pemecahan nama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementerian Pendidikan serta Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset. Hingga kini, Jokowi masih merahasiakan postur kabinet dan figur yang akan mengisi posisi menteri tersebut. Ia baru menyatakan bahwa kabinetnya akan diisi oleh 33 kementerian dengan empat menteri koordinator. Dari jumlah tersebut, sebanyak 15 kursi menteri akan diberikan untuk partai politik.

Nah lantaran ada perubahan postur kementerian maka menurut Pasal 19 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) menyatakan, pengubahan yang merupakan akibat dari pemisahan atau penggabungan kementerian dilakukan dengan pertimbangan DPR. Ayat 2 pasal ini memberi waktu tujuh hari untuk DPR dalam memberikan pertimbangan yang diminta, sesuai ayat 1 tersebut.

Ayat 3 dari Pasal 19 UU Kementerian Negara melanjutkan ketentuan ayat sebelumnya, dengan menyatakan bahwa bila lewat dari tujuh hari dan tak memberikan pertimbangan, maka DPR dianggap telah memberikan pertimbangan. "Kalau berubah dan harus meminta pendapat DPR kan paling tidak DPR harus berembuk lagi. Belum nanti berkas kembali lagi ke Presiden, paling tidak seminggu lagi lah paling cepat. Saya pesimis hari ini," ucap pengamat politik, Medrial Alamsyah kepada Gresnews.com, Rabu (22/10).

Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah pun berharap, pengumuman tidak terlalu terburu-buru, karena presiden perlu mempertimbangkan masak-masak individu yang pantas, berkredibel, bersih dan akuntabel untuk mendampinginya selama 5 tahun ke depan. "Kami berharap pada semua pihak
tidak lagi memberikan tekanan pada Pak Jokowi untuk segera umumkan kabinetnya. Pak Presiden bisa jadi masih terus memilah-milah, dalam menentukan pembantunya yang benar-benar memenuhi syarat," ujarnya Senayan, Rabu (22/10).

Ia menyadari kesulitan dikala harus menempatkan kabinet dengan orang-orang yang tepat dan kredibel, karena penempatan ini diharapkan bisa direspon positif oleh publik dengan gairah baru di sektor ekonomi, sehingga benar jika Jokowi harus berhati-hati dalam penyusunan kabinetnya.

Sesuai Pasal 16 ayat 1 UU Kementerian Negara, Presiden terpilih memiliki batas waktu hingga 14 hari dalam menentukan dan menyusun kabinet. Dengan waktu dua pekan itu, menurut wakil ketua DPR itu, sudah cukup bagi Presiden dalam menimbang dan menyeleksi calon menterinya.

Namun menurut mantan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra Jokowi tak perlu minta pertimbangan DPR atas modifikasi kabinet yang dilakukannya. "Sesuai Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008, presiden harus membentuk kabinet dalam waktu 14 hari. Soal bagaimana susunan kabinetnya, itu kebijakan presiden sendiri," kata Yusril, Rabu (22/10).

Ia mengatakan UU Kementerian Negara tak merinci nama-nama kementerian yang harus dibentuk oleh seorang presiden. Oleh karenanya, Jokowi bebas membentuk kabinetnya tanpa harus ada pertimbangan DPR. Pertimbangan atau persetujuan DPR hanya diperlukan jika Jokowi melakukan perubahan kabinet ketika pemerintahannya sudah berjalan. Jokowi bebas mengubah kabinetnya, asal jumlah maksimalnya tetap 34 kementerian.

"Kalau dia mengubah kementeriannya di tengah jalan, baru perlu ke DPR. Ada yang harus dimintakan pertimbangan, ada yang harus dengan persetujuan DPR, seperti kementerian luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan, itu harus persetujuan DPR," papar Yusril.

Surat yang dikirim Presiden Jokowi ke DPR dianggap tak perlu oleh Yusril. Jokowi bisa mengumumkan kabinetnya hari ini. "Jadi kalau Jokowi-JK mau mengumumkan kabinetnya sekarang ini, silakan saja," imbuhnya. (dtc)

BACA JUGA: